Cut Nyak Dien, Muslimah yang Bersumpah Menghancurkan Penjajah

Cut Nyak Dien, Muslimah yang Bersumpah Menghancurkan Penjajah

Cut Nyak Dien, Muslimah yang Bersumpah Menghancurkan Penjajah
Ilustrasi Cut Nyak Dien. (Ils: Novitasari/Siswi SMK Muhammadiyah 2 Surabaya)

Suaramuslim.net – Suatu saat Masjid Raya Baiturrahman Aceh pernah dibakar oleh Belanda. Melihat itu, pejuang perempuan dari tanah rencong mengobarkan semangat juang masyarakat untuk mengusir penjajah. Ia bersumpah akan menghancurkan Belanda. Dialah Cut Nyak Dien.

Ia pun berseru, “Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita menjadi budak Belanda?”

Pada saat itu, 8 April 1873, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya menguasai, Kohler dan pasukannya pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat Aceh. Semangat juang dan perlawanan Cut Nyak Dien bertambah kuat saat kejadian itu. Dengan semangat menyala, beliau mengajak seluruh rakyat Aceh untuk terus berjuang. Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap.

Kendati berhasil memenangkan perang pertama dan menewaskan pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler, pertempuran belum berakhir. Di bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han van Swieten, daerah VI Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien, berhasil dikuasai Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal itu membuat Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada Desember 1875.

Siapa tak kenal Cut Nyak Dien. Pejuang perempuan dari Tanah Rencong. Sejak Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Ia memimpin dengan tangguh melawan pasukan sekitar 3.198 prajurit. Namanya dikenang abadi dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia berkat keberanian dan kegigihannya melawan pasukan kolonial Belanda.

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848. Ia merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten) di VI Mukim.

Cut Nyak Dien lahir dari kalangan bangsawan, keluarganya dikenal sebagai keluarga yang sangat taat melaksanakan perintah atau syariat Islam. Oleh sebab itu, sejak dini Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu agama oleh keluarganya. Masa perjuangan Cut Nyak Dien dimulai sejak 26 Maret 1873.

Cut Nyak Dien Terima Pinangan Teuku Umar

Suami Cut Nyak Dien, Ibrahim Lamnga, kala itu gugur dalam pertempuran melawan Belanda ketika sedang berupaya merebut kembali VI Mukim  pada 29 Juni 1878. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Pada momen ini, Teuku Umar yang juga pejuang rakyat Aceh, melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar mengizinkan dan mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan Belanda, Cut Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan Belanda.

Mereka kembali berjuang melawan pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat melakukan siasat dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama dengan Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang Belanda.

Siasat itu berhasil dilaksanakan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun,  Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda harus terus menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas, pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh pasukan Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.

Kepergian Teuku Umar sangat memukul perasaanya dan anaknya. Ia sempat berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang sudah syahid.”

Perang terus berlanjut usai kepergian teuku umar. Namun saat itu kondisi Cut Nyak Dien memang semakin renta. Matanya pun mulai rabun. Melihat kondisi demikan, sisa pasukan yang dipimpinnya merasa sangat iba dan tak tega padanya. Pang Laot Ali, sebutan untuk pemimpin pasukan, akhirnya memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama Cut Nyak Dien kepada Belanda dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien, bahkan ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap dalam kondisi rabun pun masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Beliau marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Namun, walaupun di dalam tawanan, Cut Nyak Dien masih terus melakukan kontak dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga beliau akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1906.

Ia diserahkan pada bupati sumedang pada saat itu. Ia tiba dalam kondisi lusuh dengan tangan tak lepas memegang tasbih. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Pangeran Aria  selaku bupati Sumedang tidak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Masjid Besar Sumedang. Perilaku beliau yang taat beragama dan menolak semua pemberian Belanda menimbulkan rasa hormat dan simpati banyak orang yang kemudian datang mengunjungi membawakan pakaian atau makanan.

Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di Sumedang. Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959. Pencarian makamnya dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh. Beliau dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan Sumedang, tak jauh dan pusat kota. (muf/smn)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment