Demi Kebenaran Rela Diuji dalam Jeruji Besi

Demi Kebenaran Rela Diuji dalam Jeruji Besi

Suaramuslim.net – Hukuman jeruji besi tak mesti identik dengan kejahatan. Dalam sejarah, ada banyak tokoh besar yang harus mendekam di penjara gara-gara berpegang teguh dengan kebenaran yang diyakini. Di sini, justru sel berperan besar dalam menguji kebenaran yang diperjuangkan.

Saat Nabi Yusuf ‘Alaihissalam diajak istri Aziz berbuat serong, tanpa ragu beliau menolaknya. Penolakan ini berujung ancaman. Di hadapan para undangan wanita, sang ratu dengan tegas memperingatkan, “sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan.” (QS. Yusuf [12]: 32)

Ancaman yang ditujukan kepada Yusuf ‘Alaihissalam justru membuat keyakinannya pada kebenaran semakin mendalam. Perhatikan jawaban anak Nabi Ya’qub ‘Alahissalam ini, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf [12]: 33).

Ancaman penjara ternyata membuatnya semakin dekat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan lebih rela dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan dari pada kebenaran harus dikorbankan. Di samping itu, di dalam penjara ia tak berputus asa. Malah, tempat yang begitu dibenci orang ini dijadikan wahana untuk mendakwahkan kebenaran.

Pada surah Yusuf ayat 37 sampai 40 menunjukkan bahwa dalam kondisi sesusah apapun -seperti dalam penjara- tidak ada alasan untuk berhenti berdakwah kebenaran yang diyakini. Pada kesempatan itu, kepada kedua penghuni sel, beliau mengingatkan keimanan kepada Allah dan akhirat, bahaya syiritk, pentingnya syukur serta kebenaran lainnya.

Selain berdakwah, beliau juga tak lupa berbagi manfaat. Keahliaannya dalam mentakwilkan mimpi, tidak dibiarkan begitu saja. Ia rela berbagi keistimewaan ini tatkala ada dua orang penghuni penjara yang memintanya memecahkan rahasia mimpi. Demikianlah orang yang berpegang pada kebenaran. Yang tercermin adalah kebenaran dan kemaslahatan.

Walau harus meringkuk di bui selama tiga sampai sembilan tahun, namun kekohannya dalam memegang kebenaran berujung manis. Tidak hanya bebas dari penjara, tapi juga menjadi pejabat teras di istana. Keluarganya yang tadinya berpisah, bisa dipertemukan kembali dengan penuh suka cita.

Ada contoh-contoh lain yang tak kalah menawan. Imam Abu Hanifah –pada era Dinasti Abbasiyah- harus mendekam di penjara, lantaran tak mau diangkat menjadi Hakim oleh Abu Ja’far Al-Manshur. Imam Syafi’i di masa Harun Ar-Rasyid diborgol gara-gara tuduhan keji ideologi Syi’ah. Imam Ahmad dipenjara bahkan disiksa pada masa Ma’mun. Semuanya tegar dan tabah. Penjara tak merubah sedikit pun keyakinan akan kebenaran.

Cerita tentang Syekh Ibnu Taimiyah juga tak kalah menarik. Demi membela kebenaran yang diyakini, akhirnya ia diringkus dan dijebloskan ke dalam penjara oleh para pembencinya. Namun, apakah penjara membuatnya tak berdaya? Sama sekali tidak. Justeru magnum opusnya berjudul “Majmuu’ Al-Fataawa” lahir di dalam bui.

Para ulama dan tokoh pergerakan di bumi pertiwi juga pernah merasakan jeruji besi. Imam Diponegoro, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, M. Natsir, Isa Anshari, Syafruddin Prawiranegara, Prawoto, Hamka dan lain sebagainya juga mendekam di penjara. Karya besar Hamka “Tafsir Al-Azhar” justru lahir dari jeruji besi.

Demikianlah berlaku dalam sejarah orang-orang besar. Demi kebenaran mereka rela menjadi tahanan. Meski begitu penjara malah membuat mereka menghasilakan karya, bui dijadikan oase untuk instrospeksi diri, jeruji besi tak menghalangi mereka untuk berbagi, dan sel tak membuat mereka lelah dan jengkel untuk memegang teguh kebenaran.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.