Beginilah Cara Mengukur Haji Mabrur | Suaramuslim.net

Beginilah Cara Mengukur Haji Mabrur | Suaramuslim.net

Beginilah Cara Mengukur Haji Mabrur

Suaramuslim.net – Menggapai haji mabrur merupakan impian banyak orang muslim. Ini tak mengherankan karena Nabi sendiri menjamin dalam haditsnya, “Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya kecuali surga” ( HR. Ahmad). Namun, bagaimana mengukur kemabruran haji seseorang?

Para ulama dengan penelitian mereka -berdasarkan dalil yang kuat- mencoba untuk menyampaikan indikator-indikatornya. Dengan indikator ini, umat Islam bisa mengukur apakah haji seseorang mabrur atau tidak.

Ahmad Muhibbuddin dalam buku “al-Qira li Qaasidi Ummi al-Qura” (34) ketika mensyarah hadits keutamaan haji mabrur, menyebutkan beberapa pandangan ulama mengenai haji mabrur.

1. Tidak terkandung riya

Tidak terkandung sum’ah artinya ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala. Keikhlasan memang menjadi kunci utama pada segenap ibadah. Tanda ini tentu hanya bisa diketahui oleh Allah dan yang orang yang melaksanakan haji. Itulah mengapa salah satu doa Nabi dalam haji adalah:

اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لَا رِيَاءَ فِيهَا وَلَا سُمْعَةَ

“Ya Allah, (jadikanlah haji ini) haji yang suci, tanpa riya dan mencari kemasyhuran.” (HR. Ibnu Majah)

2. Sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Beliau pernah memerintahkan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا

“Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim)

Dalam hadits Muslim yang lain disebutkan bahwa amalan ibadah yang tak ada contoh dari Nabi bisa tertolak. Imam Al Qurthubi -sebagaimana dikutip oleh Abul Hasan Mubarakfuri (Abul Hasan Mubarakfuri, 1984:VIII/300)- juga menyatakan bahwa haji mabrur adalah yang memenuhi hukum-hukum yang telah ditetapkan atas mukallaf dengan pelaksanaan sesempurna mungkin. Artinya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

3. Tidak bercampur dosa

Karena itulah Imam An Nawawi -sebagaimana dikutip oleh Abul Hasan Mubarakfuri dalam “Mir’aat al-Mafaatiih” (1984:VIII/390-menguatkan bahwa haji mabrur adalah haji yang tak bercampur dengan dosa. Karena kata “birr” (yang merupakan derivasi kata mabrur) bermakna taat. Ketaatan tentu tidak bercampur dengan dosa.

4. Tidak terkandung rafats (perkataan jorok) dan kefasikan

Ini sesuai dengan kandungan surah Al Baqarah ayat 197, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi , barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats , berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”

Dengan demikian, orang yang hajinya mabrur, mulut dan tindakannya terjaga dari dua hal tercela tersebut. Sepulang dari haji, omongan dan perbuatannya ke orang lain sejuk di dengar, membuat nyaman dan tak menyakitkan.

5. Bertambah baik selepas haji, amal kebaikannya berkesinambungan dan tak mengulangi kemaksiatan.

Dalam kitab “Mir’aat al-Mafaatiih” (VIII/300) disebutkan bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Sedangkan di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah bertambah baik sepulang haji dan tidak kembali berbuat maksiat.

Kebersinambungan kebaikan selepas haji juga menjadi tanda yang sangat kuat kembaruran haji seseorang. Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa beramal kebaikan kemudian diikuti dengan kebaikan berikutnya, maka itu sebagai tanda diterimanya amal kebaikan yang pertama. Sementara orang yang melakukan amal keburukan setelah kebaikan, itu sebagai tanda amal tak diterima.”

Ibnu Rajab Rahimahullah juga berkata dalam “Lathaa`if al-Ma’aarif” (1999: 221, 222 dan 224), “Barangsiapa yang mengamalkan beberapa ketaatan dan menyelesaikannya, maka tanda amal itu diterima adalah ketika berlanjut (bersambung) dengan ketaatan yang lain. Sedangkan tanda amal tertolak ketika beriring maksiat setelahnya.”

Haji mambrur tentu adalah haji yang diterima oleh Allah. Haji yang diterima tentu berlanjut kebaikannya selepas haji. Jadi, untuk mengukur kemabruran haji seseorang bisa –minimal– dengan 5 indikator:

  • Ikhlas,
  • Menjalankan sesuai petunjuk (arahan agama),
  • Tak bercampur dosa,
  • Bisa terbebas dari perkataan keji dan kefasikan,
  • serta bertambah lebih baik sepulang dari haji (dan berkesinambungan).

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment