Demokrasi dan Islam Bisakah Disatukan?

Demokrasi dan Islam Bisakah Disatukan?

Demokrasi dan Islam Bisakah Disatukan

Suaramuslim.net – Wacana demokrasi dan Islam yang kerap diwarnai pro dan kontra selalu menarik untuk diperbincangkan. Demokrasi sering disebut sebagai sistem sekuler yang bersumber dari ide kufur, bahkan sistem yang menjadi penyebab rusaknya bangsa Indonesia. Benarkah demikian ? Bagaimana Islam memandang sistem demokrasi? simak ulasan berikut ini.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang demokrasi telah meluas ke berbagai negara, tak terkecuali negara-negara berpenduduk Muslim. Terlebih di beberapa negara muslim, salah satunya Indonesia.

Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat. Para pemikir inilah yang kemudian menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat dengan cara selektif.

Salah satu pemikir Islam yang menekankan hal itu adalah Muhammad Abduh (1848-1905), seorang pembaru pemikiran Islam di Mesir. Melalui Al-Manar, Abduh menekankan pentingnya penguatan moral akar rumput masyarakat Islam dengan kembali ke masa lalu, namun mengakui dan menerima kebutuhan untuk berubah, serta menghubungkan perubahan itu dengan ajaran Islam.

Abduh meyakini Islam dapat mengadopsi untuk berubah sekaligus mengendalikan perubahan itu. ”Islam dapat menjadi basis moral sebuah masyarakat yang progresif dan modern,” kata Abduh. Seabad kemudian, banyak negara Muslim di dunia yang memilih demokrasi untuk diterapkan dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Pandangan Demokrasi Islam Liberal dan Konservatif

Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World membagi pandangan umat Islam terhadap demokrasi ke dalam dua kelompok, yakni liberal dan konservatif. Para pendukung Islam liberal dipengaruhi Muhammad Abduh. Kelompok ini menyatakan bahwa agama Islam tak bertentangan dengan perspektif sekuler.

Menurut kelompok ini, Islam mendorong umatnya untuk mendirikan pemerintahan yang berbasis pada pemikiran modern. Tiga konsep yang menjadi perhatian penganut kelompok Islam liberal adalah syura (musyawarah), al-maslahah (kepentingan umum), dan ‘adl (keadilan).

Kelompok ini memandang tidak ada kesepakatan di antara ilmuwan Islam mengenai syura. Meski begitu, pada dasarnya mereka sepakat pada ayat Al-Quran yang memerintahkan Nabi untuk berkonsultasi dengan penasihatnya. Penganut paham liberal juga meyakini Muslim yang baik perlu bermusyawarah dengan orang lain untuk membangun hubungan. Bagi mereka, demokrasi tak bertentangan dengan Islam.

Sementara itu, kelompok yang memegang teguh ketauhidan dan dilabeli konservatif oleh ensiklopedia Oxford ini menyatakan kedaulatan bukan berada di tangan manusia, tetapi di tangan Tuhan. Pandangan kelompok ini banyak dipengaruhi pemikiran ulama asal Mesir, Sayyid Qutb (1906-1966). Ia menyatakan, sistem negara-negara Arab yang tak Islami sebagai bagian dari jahiliyah modern.

Menurut Sayyid Qutb, banyak aspek yang berlaku dalam kehidupan modern, termasuk institusi dan kepercayaan barat sebagai kejahatan dan bertentangan dengan Islam. Dia meyakini universalitas dan kesempurnaan Islam sangat cocok bagi setiap orang tanpa memandang tempat dan waktu. Syariah menjadi sumber aturan kehidupan.

Pemikir Islam lainnya, Hasan Al-Turabi, menyatakan sistem sosial dan politik perlu didasarkan pada tauhid. Menurut dia, syura dan tauhid bergandengan tangan. ”Syura dibutuhkan untuk menerjemahkan syariah dalam berhubungan dengan konstitusi, hukum, sosial dan masalah-masalah ekonomi,” papar Al-Turabi. Bagi kelompok konservatif, syura sangat berbeda dengan gaya demokrasi Barat. Begitulah umat Islam memandang demokrasi.

Secara sederhana, Ulf Sundhaussen, dalam karyanya bertajuk Demokrasi dan Kelas Menengah, menyebutkan beberapa kriteria demokrasi. Salah satunya, adanya jaminan hak bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala dan bebas. Kedua, setiap warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi, mendapatkan informasi, serta beragama. Ketiga, dijaminnya kesamaan hak di depan umum.

Kontroversi Pemilu dalam Demokrasi

Demokrasi dan pemilu seakan tidak bisa dipisahkan. Meskipun sebagian besar ulama tidak setuju dengan demokrasi, terkait dengan pemilu, MUI justru mengharamkan golput (golongan putih). Republika.co.id merilis fatwa MUI tentang haramnya golput (golongan putih) atau tidak mencoblos saat pemilu berlangsung.

Fatwa haram golput ini dikeluarkan MUI ini merupakan upaya agar umat Islam tidak kalah suara dengan umat lain di Indonesia. Salim Umar, selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Barat, yang dikutip dari voaindonesia.com, mengatakan bahwa keberadaan pemimpin sangat penting bagi umat Islam. Oleh karena itu pemilu untuk memilih para pemimpin yang terbaik harus didukung oleh seluruh umat Islam.

Amidhan, yang menjabat sebagai ketua MUI pada 2014, pernah mengatakan bahwa pemilu adalah strategi untuk memperbaiki nasib bangsa. Selain itu, juga memperbaiki nasib umat Islam. Atas dasar itulah, umat Islam wajib memilih. Dengan ikut memilih, maka umat Islam telah berpartisipasi mengubah nasib umat Islam juga

“Nah bagi umat Islam yang tidak bergerak atau melakukan sesuatu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka itu termasuk perbuatan dosa,” ujarnya pada republika.co.id. (muf/smn)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment