Demokrasi dan Nasib Suatu Bangsa

Demokrasi dan Nasib Suatu Bangsa

Demokrasi dan Nasib Suatu Bangsa
Ilustrasi Democrazy. (Ils: hunterellenbarger/dribble)

Suaramuslim.net – Seorang teman mengirim postingan yang berbunyi:
“Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya ‘How Democracy Dies’ (2019) menarik dijadikan cermin apakah pesta demokrasi Indonesia sedang sekarat dan menuju kematiannya. Demokrasi abal-abal berpotensi memantik gerakan people power dan apabila direspons secara berlebihan dengan represif aparat dan senjata maka yang akan terjadi democrazy. Berakhir ke demokrasi yang sekarat menuju kematiannya.”

Masalah Intinya: Demokrasi Itu Apa?

Memang inti utama demokrasi adalah “cara memilih pemimpin negeri” lalu dikembangkan menjadi cara mengurus/mengelola negeri dan ujungnya akhir-akhir demokrasi menjadi “slogan politik tanpa kendali.” Tanpa kendali!

Mari kini ditilik lebih rinci dan utuh. Jika tidak menggunakan cara pemilu dalam memilih pemimpin negeri lalu apa alternatifnya? Jawabnya mudah: “kerajaan,” dengan segala macam penamaannya.

Suatu negeri bisa memakai cara seperti itu. Pemimpin jika berganti ya tidak banyak repot, hanya oleh keturunan langsung (anak) atau keturunan tidak langsung (saudara-keponakan, dll) dari penguasa sebelumnya. Sesudah itu negeri diurus/dikelola dengan selera penguasa baru, dan ujungnya negeri bisa jadi hebat atau bubar, tergantung kebijakan apa yang dibuat oleh si penguasa.

Pada hakikatnya demokrasi juga berpola sama bukan? Pemilu – pemimpin baru – kebijakan baru – negeri jadi hebat atau bubar (dikooptasi asing).

Jadi kapan demokrasi bisa disebut mati? Jawabnya jelas: “jika negerinya bubar/dijajah asing atau negeri berubah menjadi kerajaan.”

Kapan demokrasi bisa menghasilkan negeri hebat? Jika demokrasi mampu memproduksi pemimpin hebat, lalu membuat kebijakan-kebijakan yang hebat. Bagaimana agar arah itu yang terjadi? Jika demokrasi dilakukan dengan cara yang benar:

1. Tidak ada politik uang
2. Tidak ada penekanan/pemaksaan oleh yang sedang berkuasa
3. Prosesnya dilakukan dengan jujur, tanpa kecurangan.

Mengapa politik uang membuat negeri jadi rusak bahkan bubar? Karena akan terpilih pemimpin yang bermutu rendah: penyuap, mencari kekuasaan bermodal materi, berujung nanti memperoleh laba menjadi kian kaya. Membuat rakyat kian bodoh, tidak paham hakikat kekuasaan dan memberikannya begitu mudah pada orang dengan harga murah.

Mengapa tekanan/pemaksaan dari penguasa yang sedang memimpin membuat demokrasi berdampak negeri rusak atau bubrah atau dijarah asing? Karena demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang egois, merasa jadi manusia yang terbaik di negeri, prototipe diktator yang intinya bukan orang baik. Praktik ini juga membuat rakyatnya jadi lemah, penakut, tidak siap menghadapi tantangan.

Mengapa demokrasi merusak negeri jika pemilunya dilaksanakan dengan kecurangan-kecurangan seperti manipulasi data, curang dalam entry data, tabulasi, kalkulasi dll? Karena ujungnya akan terpilih pemimpin yang rusak dan merusak bangsa oleh proses manipulasi apa saja termasuk penyelenggaraan pemilunya.

Dilema yang sering diungkap terkait demokrasi adalah tuduhan bahwa demokrasi tidak akan terbebas dari ketiga cacat tersebut sehingga demokrasi akan meluncur ke arah kehancuran bangsa. Alur pikirannya terasa rasional dengan mekanisme sebagai berikut:

Demokrasi akan selalu disertai money politics, political pressure, untrusty process. Maka via demokrasi dengan kelemahan-kelemahan yang tidak terhindarkan tersebut maka akan dihasilkan pemimpin buruk, yang akan membuat kebijakan salah, yang berdampak bangsa menjadi kian lemah, lalu kembali akan terbentuk pemilu yang kian banyak kecurangannya, terpilih pemimpin yang makin buruk, kebijakan nasional yang kian salah, dst, dst, berujung bubarnya negara. Proses ini disebut sebagai spiraling down.

Lalu Bagaimana Cara Mengatasinya?

Sebenarya letak kesalahan bukan pada demokrasinya sendiri, tapi pada keberadaan tiga cacat yang tertempel pada demokrasi itu. Jika suatu bangsa mampu membuang cacatnya tersebut maka demokrasi malah potensial bisa membawa bangsa ke arah yang baik secepatnya dan disebut sebagai spiraling up.

Pemilu yang baik akan memproduksi pemimpin berkualitas terbaik yang tersedia pada bangsa itu (tidak dibatasi oleh faktor keturunan seperti dalam dinasti). Pemimpin berkualitas akan menghasilkan kebijakan berkualitas, terhindar dari eksploitasi-kooptasi kepentingan subyektif-materialistik personal penguasa dan kepentingan asing, berdampak pada pemberdayaan penduduk dari kelemahan akhlak/moral, intelektual/iptek, berujung pada kualitas bangsa yang menguat statusnya.

Berikutnya akan menyelenggarakan Pemilu yang lebih baik, memilih pemimpin yang lebih berkualitas, membuat kebijakan yang semakin baik, dst.

Di sanalah sesungguhnya peran ajaran Islam dalam membawa suatu bangsa-negara berproses menjadi kian membaik, berujung membawa kehadiran rahmat bagi umat manusia yang plural dan alam semesta.

Islam menuntut perbaikan akhlak-moral umat manusia, tidak materialistik, altruis tidak egois, tidak ambisius merasa menjadi terhebat karena keturunan namun juga berkesadaran agar kepemimpinan berada di tangan manusia yang benar keimanannya dan matang kepribadian dan keilmuannya (bukan sekadar beritual dan beramal sosial).

Demokrasi yang benar, tanpa money politics, personal ambition, untrusty process telah ditunjukkan di era Khulafaur Rasyidin.

Demokrasi menjadi merusak karena diterapkan dalam arena Materialisme-Hedonisme-Kapitalisme yang sarat politik uang, tekanan penguasa oleh ambisi kekuasaan dan kekayaan, kecurangan dalam proses karena rusaknya moral pelaksananya.

Bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia? Apakah dalam panduan tuntunan Islam atau terperangkap menjadi alat/instrumen Sekularisme-Hedonisme?

Jangan lupa yang dipertaruhkan adalah bangsa-negara Indonesia, apakah menjadi mercusuar dunia atau akan menjadi negara gagal/bubar.

Fuad Amsyari, Ph.D (Ketua Umum Syarikat Islam Politik)
Surabaya, 26 April 2019

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment