Suaramuslim.net – Hampir mayoritas seluruh masjid di Indonesia dibangun dari swadaya bersama. Lahannya wakaf fasum fasos dari developer, atau bahkan pembebasan dari warga. Bangunannya hasil wakaf bersama para warga. Begitu biasanya. Masjid dibangun bersama oleh umat di daerah tersebut.
Latar belakang ini membuat masjid tidak bisa disetir oleh golongan tertentu, kelompok tertentu atau paham pemikiran tertentu. Sebuah masjid harus tegak di atas prinsip kolektif kolegial, semua kebijakan harus berpijak pada keputusan bersama. Ini baik. Dan memang harusnya begitu.
Semangat kolektif kolegial adalah semangat musyawarah. Dalam Islam disebut dengan syuro. Sangat banyak kebaikan dalam sebuah syuro. Di mana sebuah keputusan bukan lahir dalam pikiran 1 orang, tetapi diputuskan bersama dengan melibatkan banyak orang.
Begitulah basis kebijakan sebuah masjid diambil. Kita harus memahami bahwa semangat kolektif kolegial adalah sifat alami dari masjid-masjid di Indonesia.
Konsep kolektif kolegial ini menjadi barrier cukup tebal bagi para reformis masjid.
“Ide antum bagus, kita harus diskusikan ke majelis takmir dahulu.”
Yang terkadang setelah ditunggu 2 bulan, tidak ada kabar apa-apa. Karena majelis takmir rapat 1 semester sekali. Hehehehe.
Sebagian juga ada yang mendapatkan respon,
“Gak bisa begitu dik, kas masjid untuk bangun masjid, gak boleh untuk gaji-gaji imam. Imam dan guru ngaji harus ikhlas. Kan dikasih tempat tinggal di masjid saja sudah syukur. Jaman bapak begitu. Kalo mau tinggal di masjid, ya jadi marbot, imam, sambil kuliah, yang penting gak bayar kost-kostan.”
Pemikiran seperti ini marak menghadang konsep masjid profesional.
Solusi Keruwetan Pengambilan Keputusan di Masjid
Kolektif kolegial ini baik. Konsep syuro ini dahsyat. Namun ketika rukun-rukun syuro ini tidak lengkap, maka pengambilan keputusan akan lambat, bahkan kebaikan akan terhambat.
Setidaknya saya akan menyampaikan beberapa solusi agar semangat kolektif kolegial ini dapat berjalan baik.
1. Memilih anggota Dewan Syuro Masjid yang definitif
Kolektif kolegial itu baik, tetapi jika sebuah keputusan harus melibatkan 150 jemaah pria muslim di masjid tersebut, itu juga masalah baru. Jemaah harus kemudian memilih dan mengutus beberapa orang untuk duduk di Dewan Syuro Masjid.
Saran kami jumlahnya tidak lebih dari 12 orang. Jumlah lingkaran kecil manajemen lapis atas yang biasa dianut oleh korporasi. Rampingnya jumlah Dewan Syuro ini akan memudahkan pengambilan keputusan.
Sekarang komposisinya. Agar sebuah Dewan Syuro efektif dan optimal dalam pengambilan keputusan, setidaknya Dewan Syuro melibatkan beberapa elemen berikut:
– Ulama yang memahami ilmu syariat, Al Quran dan hadis. Bisa dicari yang paling fakih di lingkungan masjid tersebut.
– Profesional perusahaan yang memahami kaidah manajemen.
– Pengusaha yang memahami konsep ekonomi entrepreneurship.
– Perwakilan area lingkungan sebagai perwakilan dari suara warga.
– Perwakilan dari suara anak muda. Ini yang terlupakan. Libatkan anak muda. Bukan orang tua yang di PJ kan mengurus anak muda.
– Berbagai elemen lainnya jika ada. Misalnya suara dari para dai aktivis dakwah lintas ormas dan harakah. Untuk memperkaya khazanah berpikir Dewan Syuro.
Jelasnya, keanggotaan dari Dewan Syuro ini akan memudahkan para penggerak masjid untuk melakukan perbaikan di berbagai sisi. Kebimbangan pengambilan kebijakan akan segera terselesaikan.
2. Memiliki penasihat/konsultan/konselor masjid yang berada di luar lingkaran pengurus DKM.
Kelemahan sebuah organisasi adalah kemampuannya mendengar suara baik dari dalam organisasi. Ini pun terjadi pada diri saya ketika menjadi konselor perusahaan. Di perusahaan sendiri saya harus bertarung kuat, sementara di perusahaan orang lain kami sangat didengarkan.
Begitu juga di Dewan Syuro Masjid. Masjid harus membuka diri atas lahirnya gagasan-gagasan yang baru dan segar. Dewan Syuro harus menjadi entitas yang kuat belajar, kuat mendengar, kuat berdiskusi.
Jika Dewan Syuro menjadi entitas tertutup, di sanalah letak kebuntuan sebuah masjid. Dewan Syuro yang berhenti belajar dan mendengar hanya akan menciptakan ruang resonansi internal yang biasanya berujung “ribut sendiri”. Dan ini banyak terjadi di masjid-masjid: kebuntuan gagasan.
3. Menetapkan ukuran-ukuran pertumbuhan masjid.
Yang terakhir adalah ukuran-ukuran. Jika sebuah gagasan telah dieksekusi, ukuran-ukuran pertumbuhan menjadi penting untuk didefinisikan, guna menentukan apakah gagasan tersebut efektif atau tidak.
Hari ini saya mengecek shaf shalat Subuh berjemaah di masjid perumahan. 7 shaf. 3/4 masjid penuh. Berarti ukuran kepadatan shalat Subuh berjemaah bisa menjadi ukuran-ukuran riil.
Jumlah infak juga bisa menjadi ukuran yang riil. Jumlah program. Kepadatan shalat fardhu. Lembaran survei ke jemaah. Semua bisa menjadi alat ukur yang objektif.
Alat ukur ini bisa menjadi ukuran sebuah gagasan yang tegas. Sebuah program perlu dipertahankan atau tidak. Sebuah program perlu diteruskan atau tidak. Sehingga jangan lagi mengukur pertumbuhan masjid dengan menggunakan perasaan personal. Fokus pada data. Bukan selera.
Dewan Syuro Masjid
Mungkin tulisan saya tentang masjid dirasa keras. Saya minta maaf jika banyak yang tidak siap membaca tulisan ini. Tapi inilah yang harus kita usahakan bersama.
Ada 1 juta titik masjid di Indonesia. Berdiri di atas 1 juta lahan yang diwakafkan oleh muwakif. Dibangun dengan pengorbanan sedekah umat dari satu batu ke satu bata. Ia adalah aset yang sangat berharga bagi umat.
Maka harusnya masjid bergerak memberi manfaat, memiliki program yang menjawab masalah umat. Bukan sekadar berdiri tegak, tinggi, megah, tapi diam seribu bahasa atas masalah umat yang terjadi.
Bagaimana masjid menjawab kemiskinan yang terjadi di sekitarnya? Bagaimana masjid menjawab putusnya sekolah generasi muslim? Bagaimana masjid menjawab dekadensi moral yang terjadi di sekitar?
Inilah tugas yang harus dijawab masjid. Dijawab oleh Dewan Syuronya.**
Penulis: Rendy Saputra*
*Ketua Jejaring Masjid Titik Cahaya
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net