Din Syamsudin Sebut Pemilihan Menag dan Mendikbud Abaikan Persoalan Historis dan Sosiologis

Din Syamsudin Sebut Pemilihan Menag dan Mendikbud Abaikan Persoalan Historis dan Sosiologis

Din Syamsuddin Apresiasi Seruan Ketum PBNU Untuk Menghormati Habib Rizieq
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsudin (Foto: SMNET/Ali Hasibuan)

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof M Din Syamsuddin menyebut Presiden Jokowi mengabaikan persoalan historis dan sosiologis dalam menentukan kabinet barunya periode 2019-2024.

“Yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan,” ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (25/10).

Presiden Jokowi menempatkan mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama dan eks CEO Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Keduanya dilantik pada Rabu (23/10) lalu.

Din menjelaskan, Kementerian Agama/Kemenag, erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk mengakomodasi aspirasi golongan Islam.

Kementerian Agama, jelasnya, juga berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa.

Sedangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), terikat erat dengan amanat Konstitusi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building).

“Agaknya, keputusan yang ada bersifat ahistoris dan asosiologis,” imbuhnya.

Di samping itu, menurut Din, penilaian terhadap kabinet tentu sebaiknya tidak diarahkan kepada pribadi seseorang menteri, tapi pada proses dan faktor-faktor kenegarawanan yang seyogianya dipertimbangkan oleh pemilik hak prerogatif.

Di antara faktor-faktor kenegarawan tersebut, sambungnya, adalah pertimbangan kesesuaian penempatan seseorang (the right person in the right place), derajat akomodasi kemajemukan bangsa atas dasar agama dan etnik, akomodasi kekuatan aspiran riil dalam masyarakat seperti organisasi masyarakat madani yang punya peran kebangsaan, dan tentu arah kebijakan sesuai dengan visi strategis bangsa dalam Konstitusi.

“Dalam kaitan ini, memang dapat ditengarai rendahnya derajat kenegarawanan, lebih mengedepankan rasa superior/ketakabburan, pendekatan “keluar kotak” semu, dan cenderung jalan sendiri (kurang akomodatif terhadap elemen pendukung dan pendamping),” kata Din.

Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment