Empat karakter teman, kamu termasuk yang mana?

Empat karakter teman, kamu termasuk yang mana?

Mendudukkan (Kembali) Makna Toleransi
Ilustrasi perbedaan.

Suaramuslim.net – Seorang mukmin adalah orang yang tidak pernah lelah dalam memperhatikan kebaikan berupa anugerah yang sudah Allah berikan, baik yang lahir maupun yang batin.

Siapapun yang tidak pernah memperhatikan anugerah itu, dia tidak bisa menangkap kebaikan yang sudah Allah berikan, sehingga merasa hidupnya susah terus menerus.

Di antara anugerah itu adalah hati. Ia adalah investasi, karena manusia akan dibangkitkan sesuai tujuan hidupnya (niat di hati) selama ia hidup di dunia.

Menjaga hati itu penting, namun yang tidak kalah penting lagi adalah ilmu untuk menjaga hati. Sebab, agama ini didasarkan pada ilmu dan sanad bukan khurafat.

Untuk menjaga hati, kita harus tahu apa saja yang menjadi racun hati

Banyak bicara; hati akan dimasuki banyak penyakit jika mulut selalu terbuka. Kita diminta untuk tidak banyak bicara alias diam, tapi diam bukan bengong, yang dimaksud adalah diam untuk mencari ridho Allah. Jadi diam dengan tujuan, bukannya diam gak ngapa-ngapain.

Bukankah tanda kepahaman seseorang dalam agama adalah mampu menahan lisan dan berkomentar pada situasi yang tepat?

Banyak makan; saat ini kuliner jadi tren primer, padahal dia hanya mubah (boleh).

“Pembeda antara orang beriman dan orang kafir, orang mukmin makan pakai satu usus, orang kafir makan dengan tujuh usus.” (Al-Bukhari). Artinya seorang mukmin itu makan dengan bersahaja, sedangkan orang kafir tidak pernah puas.

Makan itu mubah, bisa jadi pahala dan ketaatan ketika diniati dengan benar. Misalnya, makan untuk bertenaga dalam menjalankan ketaatan, ini jadi bernilai ibadah.

Supaya makanan kita tidak jadi racun hati, pastikan takarannya tidak berlebihan, sumbernya dari harta halal, zat/komposisi makanan harus halal. Jangan jadikan rasa sebagai tujuan. Rasa itu boleh tapi hanya perantara, tujuannya adalah makanan yang mendapatkan berkah.

Banyak bergaul; hukum asal muamalah adala mubah selama tidak mengandung mudharat. Bergaul/muamalah bisa jadi sunnah jika diniatkan menguatkan iman dan dakwah. Kita adalah makhluk sosial yang perlu bertemu orang. Beriman itu tidak bisa sendirian. Nabi bergaul dengan orang-orang yang menjadi pendukungnya dalam mengusung kebenaran.

Ulama terdahulu, saat mereka merasa lemah semangat (futur), mereka akan saling mendatangi dan berinteraksi dengan ulama lain. Biasanya datang kepada yang lebih dimuliakan. Setelah itu, dia akan mendapatkan booster iman dari energi orang saleh (ulama) yang ia datangi tadi.

“Bertemunya orang mukmin dengan orang mukmin lainnya itu membersihkan hati,” kata Fudhail bin Iyad.

Sekuat apapun manusia, dia perlu teman. Dia pasti punya kekurangan, dan org lain yg bisa melihat kekurangan tersebut, dia perlu org lain untuk melihat blind spot dirinya.

Jadi silakan bermuamalah, tapi sesuai porsinya. Hati-hati, semakin banyak yang kita kenal, akan menghadirkan keinginan untuk terkenal. Ini bisa jadi racun bagi hati.

Hati kita akan kelelahan merespons semua keinginan orang yang kita temui, dia akan letih, dan rawan berujung jadi racun hati. Contoh kehidupan artis, kehilangan privasi karena selalu disorot, kalau tidak ditanggapi dia akan dibully sampai akhirnya depresi, paling mudah merek akan lari pada narkoba.

Terlalu banyak bergaul akan menimbulkan permusuhan dan menghilangkan nikmat. Sebaliknya, berinteraksi yang bersahaja akan jadi nutrisi/vitamin bagi hati.

Ragam karakter teman

Teman yang jika bergaul dengan mereka seperti mengonsumsi makanan bergizi

Ini adalah orang-orang yang taat, berilmu dan saleh. Mereka punya komitmen dalam kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Ini harus dicari dan dijadikan ring 1 pertemanan.

Kita butuh mereka. Namun perlu dicatat, mereka tidak ma’shum lho ya, yang ma’shum atau terbebas dari dosa hanya para Nabi. Jadi harus siap dengan kekurangan mereka. Kita harus sabar dengan orang saleh seperti ini. Kesabaran dalam berinteraksi dengan mereka jauh lebih baik dibanding menyendiri tanpa ada yang menasihati.

Teman yang jika bergaul dengan mereka seperti mengonsumsi obat

Ini adalah teman yang jadi obat, kita hanya temui ketika ada perlu. Ya karena obat kita konsumsi hanya saat sakit. Misal kita lagi ada masalah, maka akan datang ke teman ini untuk minta solusi atau sekadar mendengarkan curhat. Teman ini ditemui saat butuh bantuan penting.

Teman seperti penyakit

Tiap bergaul dengan mereka grafik keimanan melemah, komitmen meninggalkan dosa jadi menurun, ibadah jadi malas.

Selama mereka masih memberi pengaruh buruk, kita harus menjaga jarak, kecuali mereka sudah komitmen berbuat baik. Di sisi lain, kita punya kewajiban untuk berdakwah kepada mereka.

Ini dilakukan bukan karena kita merasa lebih baik dari mereka, tapi karena hati kita lemah. Kita tidak tahu akhir seseorang. Ini bukan untuk merendahkan tapi mengklasifikasi supaya memudahkan bergaul.

Teman berkarakter racun

Misalnya dia membawa ajaran agnostik, dan mati-matian mendakwahkannya. Jika bertemu teman seperti ini, kita akan tersengat racunnya. Pemikirannya sudah menyimpang.

Kalau sudah jadi racun begini, berarti semakin baik untuk dijauhi, tentu tanpa meninggalkan upaya dakwah kepada mereka.

Wallahu a’lam.

Catatan Nashir
Surabaya, 5 Jumadil Awwal 1443 H

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment