Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan (2)

Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan (2)

Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan

Lanjutan dari artikel “Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan (1)”

Suaramuslim.net – Pelajaran pertama merupakan pokok sekaligus menjiwai butir-butir pelajaran selanjutnya. Juga pada tujuh falsafah pelajaran akan tampak kekhasan gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid pembaharu, yaitu menolak sikap taqlid buta.

Fatwa Kyai Dahlan, “Kita manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh. Sesudah mati, akan mendapat kebahagiaan kah atau kesengsaraan kah?” Kebanyakan manusia tidak memikirkan nasibnya sesudah mati karena tergila-gila merasakan kesenangan dan tidak benar-benar menyiapkan bekal untuk kehidupan setelahnya.

Padahal menurut ajaran Islam, bahwa manusia itu ada asal-usulnya, sesudah mati akan menerima akibat tingkah lakunya, akan diusut kelakuannya, akan ada pembalasan, pahala ataupun hukuman. Terhadap orang-orang yang berbuat salah, buruk tingkah lakunya akan mendapat hukuman siksa yang sangat pedih. Kalau hidupnya yang sekali itu sampai sesat, keliru, sampai salah keyakinannya dan amalannya, pasti akan salah terka, akan rugi, celaka dan sengsara selama-lamanya.

Sering setiap teman-teman Kyai Dahlan berkumpul, beliau memberi nasihat demikian: “Lengah, kalau sampai telanjur terus-menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan akhirat. Maka dari itu jangan sampai lengah, kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya, tidak bersungguh-sungguh, tidak akan berhasil; Apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil.”

Di dekat meja tulis Kyai Dahlan, kedapatan papan tulis yang berisi untaian kalimat berisi peringatan tentang kejadian besar setelah kehidupan dunia yang pasti akan dihadapi, agar selalu ingat adanya peradilan, hisab, pemeriksaan, surga dan neraka.

Tentu saja orang mukmin yang takut akan bahaya maut, takut akan diusut perbuatannya, takut akan diputus perkaranya, takut akan adanya pembalasan berupa siksa atau hukuman, pasti merasa khawatir lalu berusaha mencari cara untuk memperoleh keselamatan. Pada buku ini jamak kalimat “Hanya sekali hidup di dunia untuk bertaruh” terus diulang-ulang, memandang urgennya bersiaga mengambil bekal untuk kehidupan selanjutnya.

Pada pelajaran kedua, nasihat beliau agar menjauhi watak angkuh, takabbur dan sombong. Watak demikian melazimkan sikap menolak kebenaran, karena apa yang sudah dipunyai dianggap paling benar dan ringan untuk menyalahkan orang lain.

Bertalian pula dengan pelajaran ketiga sekaligus pelajaran keempat, bahwa sebab munculnya sikap angkuh karena perilaku taqlid (ikut-ikutan dengan membabi buta) sehingga pemikirannya tidak terbuka. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi tabiat juga adat namun dikerjakan karena ikut-ikutan tanpa menimbang dengan akal dan kesesuaiannya dengan syariat menjadikan padanya sikap bebal dan kolot.

Manusia itu biasanya kalau menerima fatwa orang yang dianggap guru besar, lalu taqlid, menurutinya tanpa mengetahui dalil (hanya ikut-ikutan) dan tergesa-gesa menolak fatwa lain yang bisa jadi malah mendekati kebenaran. Penulis menganjurkan untuk mempergunakan akal pikirannya yang jernih dengan timbangan syariat, lalu dipikir dalam-dalam, disaring, dikoreksi dan dipilih mana yang benar.

Manusia harus mempergunakan akal pikirannya untuk mengoreksi i’tiqad (aqidah) dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati. Hanya sekali hidup di dunia kalau sampai salah akan celaka.

Setelah manusia mengetahui kebenaran yang sejati dan menetapkannya, mereka dituntut keberaniannya untuk melaksanakan kebenaran yang didapatkannya, itulah inti dari pelajaran kelima. Ada orang-orang yang dia sudah tahu kebenaran namun tidak mau melaksanakan kebenaran itu, karena khawatir akan terpisah dengan teman-temannya, berwalang hati berputus dengan apa-apa yang menjadi kesenangan sebelumnya.

Fatwa Kyai Dahlan: “Manusia tidak menuruti, tidak memedulikan barang yang sudah terang benar bagi dirinya. Artinya dirinya sendiri, pikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar, tapi tidak mau menuruti barang yang benar, karena takut mendapat kesukaran, takut berat dan macam-macam yang dikhawatirkan karena nafsu dan hatinya sudah telanjur rusak, berpenyakit akhlak (budi pekerti), hanyut dan tertarik oleh kebiasaan buruk”.

Kyai juga sering menukil syair: “Dalam agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu (menuruti kesenangan) merajalela dimana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta.”

Agama Islam adalah agama fitrah. Artinya, ajaran yang mencocoki kesucian manusia. Sesungguhnya agama bukanlah amal lahir yang dapat dilihat. Amal yang kelihatan itu hanyalah manifestasi dan daya dari ruh agama. Sesungguhnya agama itu ialah “condongnya nafsu ruhani naik kepada kesempurnaan tertinggi yang suci dan luhur, bersih dari pengaruh kebendaan”.

Jadi orang yang menetapi agama ialah orang yang condong kepada kesucian iman kepada Allah, bersih dari pengaruh yang bermacam-macam. Manusia harus mengadakan kebersihan diri dari kotoran-kotoran yang ada dalam hati. Setelah hatinya jernih, baru dapat menerima ajaran-ajaran para rasul, kemudian baru sanggup meningkat naik ke alam kesucian. Manusia itu asal mulanya suci.

Pelajaran keenam berisi nasihat yang ditujukan khusus kepada para pemimpin rakyat. Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta-benda dan jiwanya untuk berusaha memasukkan umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.

Poin terakhir, nasihat yang ingin disampaikan terbagi pada dua hal. Pertama, anjuran untuk belajar ilmu (pengetahuan atau teori). Kedua, belajar amal (mengerjakan atau mempraktikkan). Dalam pelaksanaan semua pelajaran harus dengan cara sedikit-demi sedikit, setingkat demi setingkat, setahap demi setahap.

Keterangan tentang falsafah ajaran Kyai Dahlan, saya cukupkan sekian saja. Semoga bermanfaat dan mampu menjadi modal dan pegangan untuk bangkit. Semoga Allah merahmati kedua sosok ini, Kyai Dahlan dan Kyai Hadjid.

Penulis: Muhammad Fisabilillah
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment