Suaramuslim.net – Obligasi Syariah yang telah diterbitkan melalui fatwa DSN-MUI adalah Obligasi Syariah Mudharabah, dibutuhkan instrumen obligasi lain berdasarkan prinsip Syariah untuk membiayai transaksi sewa-menyewa, sehingga diperlukan fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah, sebagai berikut.
Mengingat
- Firman Allah SWT
“Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Al-Maidah: 1).
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26).
- Hadis-Hadis Nabi
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Tiga kelompok yang Aku memusuhi mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual budak belian, lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu tidak membayarkan upahnya.” (Hadis qudsi riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (Hadis qudsi riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah).
“Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” (Abu Daud dari Sa’ad Ibnu Abi Waqqash).
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Al-Tirmidzi dari Amr bin Auf).
- Ijma’ ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah al-Zuhaili).
- Kaidah fikih
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
Memperhatikan
- Pendapat para ulama antara lain
- Al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:
“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat.”
- Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII /7:
“Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda.”
- Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/54:
“Penyewa boleh menyewakan benda yang disewa jika ia telah menerima benda tersebut.”
- Al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, XV/308; al-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj, II/332; dan al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin, III/108:
“Kebutuhan orang mendorong adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu, ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda.”
- Al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzah, XV, h. 383:
Jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima, maka mengenai kebolehan penyewaan (kedua) tersebut terdapat tiga pendapat.
Pertama, tidak boleh, sebagaimana tentang benda yang dibeli; artinya, tidak boleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima; sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli (bai’) sebagaimana keterangan terdahulu.
Kedua, penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnya boleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat; sedangkan manfaat tidak dipandang telah diterima hanya dengan pemberi sewa menyerahkan benda yang disewakannya. Oleh karena itu, penyerahan benda tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat.”
Ketiga, boleh hukumnya menyewakan benda yang disewa kepada pemberi sewa, karena benda itu berada pada tangannya; namun tidak boleh menyewakannya kepada selain pemberi sewa (orang lain), karena benda itu tidak berada pada tangannya.”
- Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, VIII/56:
“Penyewa boleh menyewakan benda yang disewanya dengan sejumlah bayaran (sewa) yang sama atau lebih tinggi. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Imam Ahmad. Pendapat yang sama dikemukakan pula ‘Atha’, al-Hasan, dan al-Zuhri; demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibn al-Munzir.”
- Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII, 113:
“Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti).”
- Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz 3, Cet. Ke-4, h. 208:
Penyewa (musta’jir) boleh menyewakan barang sewaan. Ia (penyewa) boleh pula menyewakan kembali dengan harga yang serupa pada saat ia menyewa, atau lebih banyak atau lebih sedikit.
- Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4 Juz 5; h. 3842:
“Jika seseorang menyewa rumah, toko atau tempat lainnya, ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik ditempati sendiri atau dengan menempatkan orang lain ke dalamnya melalui akad sewa menyewa atau dengan cara meminjamkan; ia (penyewa) boleh juga menaruh (memasukkan) benda orang lain di dalam tempat tersebut.”
- Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; Fatwa DSN-MUI nomor 10/DSN- MUI/IV/2000 tentang Wakalah; Fatwa DSN-MUI nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang PRKS; Fatwa DSN-MUI nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; Fatwa DSN-MUI nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
- Pendapat para peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 12 Muharram 1425/4 Maret 2004.
- Surat dari PT. Mandiri Sekuritas No.062/MS/DIR/II/04 perihal permohonan Fatwa Obligasi Syariah Ijarah.
Menetapkan Fatwa tentang Obligasi Syariah Ijarah
Pertama: Ketentuan Umum
- Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
- Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
- Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa).
- Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Kedua: Ketentuan Khusus
- Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
- Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
- Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
- Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk aset yang telah ada maupun aset yang akan diadakan untuk disewakan.
- Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil.
- Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
- Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
- Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
- Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad
Ketiga: Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat: Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.