Suaramuslim.net – Upah atau yang sering disebut dengan ijarah seringkali menjadi pembahasan tersendiri dari aspek hukumnya. Berapa banyaknya, syaratnya dan seterusnya. Pemahaman tentang ijarah sangat dibutuhkan.
Selain jual-beli, Islam juga mengenal sewa-menyewa dan jasa. Kedua hal itu, terkait erat dengan upah atau yang sering disebut dengan ijarah. Bahkan dalam kasus tertentu, seseorang melibatkan lembaga keuangan syariah (LKS) untuk membiayai ijarah tersebut.
Secara bahasa, ijarah berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna imbalan atau upah, sewa, jasa. Secara istilah, ijarah adalah transaksi pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang atau jasa melalui sewa/upah dalam waktu tertentu, tanpa adanya pemindahan hak atas barang tersebut. Menurut Imam Syafi’i, ijarah adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dengan imbalan tertentu.
Prinsip ijarah sama halnya dengan jual beli, yang membedakan hanya objeknya. Dalam jual beli objeknya adalah barang. Namun dalam ijarah objeknya adalah barang yang disewa maupun jasa.
Dalam Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebutkan bahwa pembiayaan itu boleh dilakukan dengan ketentuan dan syarat berlaku.
Fatwa ini merujuk sejumlah dalil, antara lain QS al-Qashash ayat 26, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ayat lain juga menegaskan tentang bolehnya praktik sewa-menyewa itu, “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS al- Baqarah [2]: 233).
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri juga menjadi landasan fatwa ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” Selain hadis ini, ada riwayat lain juga menyebutkan legalitas pembiayaan itu seperti hadis Abu Dawud dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Hal ini menguatkan hukum bolehnya ijarah.
Rukun dan Syarat Ijarah
Soal rukun dan syarat, republika.co.id pernah memuatnya. Pertama, harus terdiri dari ijab kabul, baik secara verbal maupun dalam bentuk lain. Kedua, terdapat pihak-pihak yang berakad, baik dari kubu penyewa maupun pemberi sewa atau jasa. Unsur ketiga adalah keberadaan manfaat barang dan sewa atau manfaat jasa dan upah.
Terkait ketentuan objek ijarah, fatwa ini menerangkan beberapa ketentuan penting, di antaranya bahwa objek tersebut adalah adanya manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. Selanjutnya, manfaat tersebut mesti termasuk kategori yang halal.
Meski demikian, dalam ijarah harus ada kesepakatan tentang besaran dan takaran secara spesifik. Hal ini untuk menghindari ketidakjelasan yang bisa memicu sengketa, misalnya jangka waktu atau identifikasi fisik.
Demikan pula dengan nominal upah. Seberapa besar upah tersebut harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh penyewa atau lembaga yang memberikan pembiayaan. Namun, kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai syariat. Demikian ulasan tentang ijarah, semoga bermanfaat.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir