Fatwa MUI tentang Air Daur Ulang  

Fatwa MUI tentang Air Daur Ulang  

Fatwa MUI tentang Air Daur Ulang  
Ilustrasi laki-laki mengambil air dari kran.

Suaramuslim.net – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah:

MENIMBANG:

  1. Bahwa perkembangan teknologi memungkinkan daur ulang air yang semula berasal dari limbah yang bercampur dengan kotoran, benda, najis, dan komponen lain yang mengubah kemutlakan air.
  2. Bahwa penggunaan air daur ulang dalam masyarakat seiring dengan peningkatan pesat kebutuhan air dan penurunan kualitas sumber air akibat dari peningkatan jumlah penduduk laju urbanisasi dan perkembangan industri.
  3. Bahwa selama ini belum ada standar baku kehalalan dalam pemanfaatan air daur ulang sehingga muncul pertanyaan seputar hukum pemanfaatannya.
  4. Bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang pemanfaatan air daur ulang guna dijadikan pedoman.

 

MENGINGAT:

  1. Firman Allah SWT:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّن السَّمَاء مَاء لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ

Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu…” (QS Al-Anfal: 11).

Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak” (QS Al-Furqan: 48-49).

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya” (QS. Al-Ma’idah: 88).

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan” (QS. Al-Isra: 26-27).

  1. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

“Dari Umar ra ia berkata: Nabi SAW pernah ditanya tentang air dan yang terkena binatang ternak serta binatang buas maka beliau bersabda: “Apabila air telah mencapai dua kullah maka tidak mengandung najis.” (HR. Al-Hakim).

Dari Abi Hurairah ra, ia berkata: Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, kami naik kapal laut, dengan persediaan air sedikit. Jika kami gunakan untuk berwudhu maka kami akan kehausan, apakah kami dibolehkan wudhu dengan air laut?” Rasul menjawab: “laut itu suci airnya, halal bangkai (binatang laut) nya” (HR. Ibn Hibban dan Al-Hakim).

“Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra berkata, ditanyakan kepada Rasulullah: Apakah kami berwudhu dari sumur budha’ah yaitu sumur yang digunakan orang-orang membuang darah haid, bangkai anjing dan kotoran? Lantas Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya air itu suci menyucikan, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (Dishahihkan oleh Imam Ahmad).

“Sesungguhnya air itu suci dan tidak ada yang menajiskannya kecuali sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan warnanya.” (HR. Ibn Majah).

  1. Kaidah Fiqhiyyah

ﺍﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻲْ ﺍﻷَﺷْﻴَﺎءِ ﺍﻹِﺑَﺎﺣَﺔُ ﺍﻟﻀﱠﺮَﺭُ ﻳُﺰَﺍﻝُ

“Hukum asal dalam hal-hal (di luar ibadah) adalah boleh. Kemudaratan harus dihilangkan.”

 MEMPERHATIKAN: 

  1. Pendapat ulama terkait masalah tata cara penyucian air yang terkena najis, sebagaimana pandangan Imam Al-Syirazi dalam kitab Al-Muhazzab.

Apabila hendak menyucikan air yang najis maka harus dilihat, jika najisnya karena berubahnya sifat air dan jumlahnya lebih dari dua kullah maka bisa disucikan dengan (i) menghilangkan penyebab berubahnya sifat air (bau, rasa, warna) (ii) menambahkan air, atau (iii) mengambil sebagiannya (menjadi suci)  karena yang menyebabkan air tersebut najis adalah karena berubah dan sudah dihilangkan (karenanya menjadi suci).

Jika dimasukkan debu atau gamping di dalam air yang najis tersebut kemudian hilang perubahannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Imam Syafii menyatakan dalam kitab Al-Umm bahwa yang seperti itu tidak suci, sebagaimana kasus menyucikan air dengan memberi kapur atau minyak wangi yang menyebabkan hilangnya bau yang menyebabkan najis.

Pendapat kedua sebagaimana dalam kitab Al-Harmalah menyatakan yang seperti itu tidak suci. Pendapat kedua ini yang lebih benar, karena berubahnya air telah hilang sehingga menjadi seperti sedia kala sebagaimana seandainya hilang berubahnya air dengan sendirinya atau dengan air lainnya. Hal ini berbeda dengan kasus air najis yang ditambahi kapur barus dan minyak wangi karena bisa jadi baunya masih tetap, tapi tidak sucinya karena kapur dan minyak wangi lebih kuat.

Jika jumlah airnya dua kullah maka menjadi suci dengan proses penyucian sebagaimana disebutkan kecuali dengan proses pengambilan sebagiannya, proses ini tidak bisa menyucikan karena mengurangi jumlah air menjadi kurang dua kullah dan mengandung najis.

Jika air yang najis sedikit, misalnya kurang dari dua kullah maka bisa disucikan dengan cara menambahkan air ke dalamnya hingga menjadi dua kullah, dan bisa juga dengan cara mukatsarah, yaitu menambahkan air walaupun kurang dari dua kullah seperti tanah yang terkena najis jika disiram air sehingga hilang najisnya.

Salah satu ulama Syafi’iyah berpendapat yang seperti itu tidak bisa menjadi suci karena kurang dari dua kullah dan di dalamnya ada najis. Pendapat yang menyatakan menjadi suci lebih kuat, karena air menjadi najis jika terkena najis. Dan di sini air datang maka tidak najis, karena jika (hal itu dihukumi) najis maka tidak menjadi suci juga baju yang najis jika disiramkan air di atasnya. (As-Syirazi, Al-Muhadzab Juz 1 Halaman 5).

  1. Hasil Workshop tentang Air Daur Ulang yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI pada 17 Maret 2009.
  1. Keterangan ahli dari Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB mengenai penerapan air daur ulang di beberapa negara, ahli dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta mengenai sistem pengelolaan air di PDAM, ahli dari Departemen Kesehatan mengenai standar air sehat dan layak minum, dan ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengenai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air dan daur ulang air.
  1. Makalah tentang hukum air daur ulang daalam kajian fikih yang disajikan oleh Ahmad Munif Suratmaputra, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
  1. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam sidang Komisi Fatwa pada Rapat Komisi Fatwa 27 Januari 2010.

MENETAPKAN: FATWA TENTANG AIR DAUR ULANG

Ketentuan Umum

  1. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan air daur ulang adalah air hasil olahan (rekayasa teknologi) dari air yang telah digunakan (musta’mal), terkena najis (mutanajjis) atau yang telah berubah salah satu sifatnya, yakni rasa, warna, dan bau (mutaghayyir) sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
  1. Air dua kullah adalah air yang volumenya mencapai paling kurang 270 liter.

Ketentuan Hukum

  1. Air daur ulang adalah suci menyucikan (thahir muthahhir). Sepanjang diproses sesuai dengan ketentuan fikih.
  1. Ketentuan fikih sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hukum nomor 1 adalah dengan salah satu dari tiga cara berikut:
  • Thariqat an-Nazh: yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya.
  • Thariqah al-Mukatsarah: yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi menyucikan (thahir muthahhir) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mutaghayyir) tersebut hingga mencapai volume sehingga kurang dari dua kullah; serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang.
  • Thariqhah Taghyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi menyucikan (thahir muthahhir), dengan syarat: Volume airnya lebih dari dua kullah; Alat bantu yang digunakan harus suci.
  • Air daur ulang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 boleh dipergunakan untuk berwudhu, mandi, menyucikan najis dan istinja, serta halal diminum, digunakan untuk memasak dan untuk kepentingan lainnya, selama tidak membahayakan kesehatan.

Rekomendasi

  1. Meminta Pemerintah untuk memasukkan standar kehalalan air dalam penetapan ketentuan mengenai standar air bersih dan standar air minum di samping standar kesehatannya, sesuai dengan ketentuan fatwa ini.
  1. Meminta PDAM dan pihak yang mengelola daur ulang air serta seluruh pemangku kepentingan diharapkan meningkatkan mutu dan kualitas kecanggihan alat yang dipergunakannya sejalan dengan kemajuan zaman dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment