Gempa Lombok Duka Nasional

Gempa Lombok Duka Nasional

Gempa 6,5 Skala Richter Guncang Lombok, Perbukitan di Rinjani Longsor
Warga yang mengungsi dan berhamburan keluar ke jalan akibat gempa terakhir di Lombok Timur (Foto: Suaramuslim.net/Ahmad Jilul)

Suaramuslim.net – Gempa bumi belum berhenti mengguncang Lombok. Pada Ahad (19/8) terhitung total lima kali gempa terjadi. Seluruh gempa berpusat di Lombok Timur. Dua gempa terjadi pada siang hari disusul tiga gempa pada malam harinya, demikian seperti dikutip dari laman Suaramuslim.net (19/8/18).

Dari pantauan reporter Suara Muslim yang berada di kaki gunung Rinjani di Sembalun, Lombok Timur, warga berhamburan menuju ke jalanan dan tanah lapang diiringi tangis anak-anak.

Akibat gempa, banyak perbukitan yang mengalami longsor dan mengakibatkan debu tebal. Di antara bukit tersebut yakni bukit Pegasingan dan bukit Nanggi.

Dr. Amien Widodo, M.Si., Ketua Kelompok Kajian Bencana Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya dalam talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM (20/08/18) mengatakan, gempa di Indonesia tepatnya di Lombok tidak bisa cepat terdeteksi karena alat deteksi gempa baru dipasang sekitar tahun 2000 dengan jumlah yang terbatas.

Hal ini berbeda dengan Jepang yang sudah memasang sekitar tahun 1970 di berbagai tempat rawan gempa dengan jumlah ribuan sehingga memudahkan untuk memprediksi kejadian gempa.

“Karakter gempa diibaratkan papan yang didorong akhirnya terpecah, pada saat pecah selesai, jika masih didorong akan terjadi pecahan kecil, mestinya seperti itu, namun tidak demikian yang terjadi di Lombok, gempa berikutnya sama besarnya malah tambah besar”, ujarnya melalui sambungan telepon.

Menurut Amien tentang status bencana nasional adalah kewenangan Presiden Joko Widodo, yang membedakan status bencana nasional hanyalah siapa yang memegang komando dalam penanganan, apakah pemerintah daerah atau pusat.

“Jika pemerintah daerah (pemda) masih ada atau berfungsi, penanganan bencana menjadi tanggung jawab pemda sebagai pemegang otoritas di daerah,” ucapnya.

Namun yang terpenting meski belum ditetapkan sebagai bencana nasional, Amien berharap bantuan yang tersalurkan bisa adil. Sehingga tidak ada daerah yang berlebih dan mengurangi jatah bantuan di tempat lain.

Ia juga menyebut, gempa beruntun kali ini bisa menjadi laboratorium bagi para ilmuwan untuk mendapatkan teori dan ilmu baru tentang gempa yang selama ini belum pernah terjadi di Indonesia.

Respons Pendengar

Talkshow bertema Gempa Lombok Bencana Dunia di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM ini mendapat beragam respon dari pendengar.

Sai dari Surabaya, ia mengatakan seharusnya tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak menetapkan gempa bumi di Nusa Tenggara Barat sebagai bencana nasional.

Menurut Sai, dengan ditetapkannya gempa bumi Lombok, NTB sebagai bencana nasional, penanganannya pun diyakini akan lebih baik lagi. Khususnya pemulihan psikologis masyarakat yang menjadi korban gempa bumi.

Pendengar lain, Dewa dari Surabaya. Ia merasa miris di saat saudara-saudara di Lombok  terdampak gempa dan longsor yang tentu membutuhkan bantuan tidak hanya doa namun finansial, tapi tidak ada kepedulian dari pemerintah pusat di Asian Games dalam bentuk video singkat yang harusnya bisa dipertontonkan saat pembukaan.

Dewa menilai, tanggap bencana harus diperpanjang dengan memberikan rentang waktu sebanyak satu hingga satu setengah bulan. Pemerintah tidak seharusnya mudah memberi status aman padahal masih banyak kebutuhan yang harus tetap berjalan. Di antaranya sumbangan untuk rekonstruksi bangunan yang masih berdiri bahkan roboh.

“Jangan mudah memberi angin surga kepada masyarakat untuk melupakan bencana di Lombok”, kata Dewa.

Status Penanganan Bencana

Senior Manajer Penghimpunan dan Komunikasi Laznas Lembaga Manajemen Infaq (LMI), Guritno, mengatakan masa tanggap darurat penanganan gempa di Lombok seharusnya berakhir 25 Agustus, tapi karena ada gempa susulan, rencana ini mungkin akan berubah.

Guritno berharap pemerintah pusat segera mengubah status bencana di Lombok.

“Pengalaman di lapangan seharusnya penanganan yang terbaik adalah tangung jawab pemerintah baik provinsi dan pusat, kalau pemerintah daerah tidak mampu maka pusatlah yang harus mengambil alih”, tutur Guritno.

“Yang terjadi saat ini bantuan menumpuk karena kekurangan relawan. Persoalannya yaitu penetapan status bencana yang harusnya beralih ke skala nasional sehingga seluruh elemen turut bergerak membantu. Kalau sekarang sifatnya masih daerah dan tidak ada kepedulian nasional”, lanjutnya.

Guritno menjelaskan, meskipun masyarakat ikut bahu membahu membantu tetapi dalam kondisi tertentu bantuan itu terbatas, berbeda dengan kemampuan pemerintah yang mempunyai dana tidak terbatas.

Guritno menyebut, bantuan yang mereka terima untuk disalurkan kepada korban gempa Lombok juga datang dari warga Palestina dan India.

“Posko-posko bantuan kami beri nomor bertujuan untuk memaksimalkan potensi meratakan bantuan ke masyarakat. Meski demikian kemampuan kami terbatas. Terlepas pemerintah akan menetapkan status bencana nasional atau tidak, kami tetap bekerja”, pungkas Guritno.

Kondisi di Lapangan

Ketua Relawan Nasional Peduli Bencana Laznas LMI, Susanto, mengungkapkan, hingga gempa terakhir kondisi masyarakat merasa cemas, namun para relawan tetap tidak boleh panik namun tetap waspada.

“Rekan-rekan kami saat kondisi gempa terakhir, beberapa mengalami kepanikan sehingga terjatuh saat berada di kamar mandi“, ceritanya.

Susanto menyebut sebagai relawan, koordinasi dilakukan melalui Forum Zakat, dan sudah tertata pekerjaan apa dan kapan hendak bertugas.

Berbeda dengan pekerja kemanusiaan yang harus menunggu dari pemerintah terlebih dahulu, sehingga terkadang para relawan ini disalahkan karena terlalu tanggap menindaklanjuti laporan bencana.

Meski demikian, menurut Susanto para relawan yang tergabung dalam Forum Zakat merasa kesulitan untuk membantu di titik titik tertentu dan bahaya, maka perlu pemerintah menaikkan status bencana daerah menjadi nasional.

“Kami bekerja 24-7. Artinya 24 jam selama 7 hari, namun masih membutuhkan relawan lebih banyak lagi agar tim bisa bergantian dengan baik“, lanjutnya.

“Kalau hanya mengandalkan BPBD dan relawan, kami rasa sangat kurang”, pungkas Susanto.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment