Gerakan pemadaman cahaya Islam secara terbuka-sistematis

Gerakan pemadaman cahaya Islam secara terbuka-sistematis

Masuk Surga dengan Menepati Janji
Ilustrasi kalimat syahadat, kalimat janji kepada Allah. (Ils: Islamidia.com)

Suaramuslim.net – Persaksian Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi tentang keagungan Nabi Muhammad telah menggetarkan jiwanya. Hal itu ditunjukkan dengan penghormatan para sahabat terhadap nabinya. Hal inilah yang membuat kaum muslimin bisa menjatuhkan musuh-musuhnya.

Pengalaman Urwah sebagai pembesar yang disegani masyarakatnya, sangat terperangah dengan sikap dan perilaku para sahabat yang sangat loyal terhadap nabinya.

Realitas yang dilihatnya inilah yang membuat Urwah menyarankan kepada kaum Quraisy untuk menghentikan perlawanannya pada Muhammad. Bahkan setelah Fathu Makkah, Urwah masuk ke dalam agama Islam, karena kegagumannya terhadap para sahabatnya yang sangat loyal kepada agamanya.

Realitas saat ini sebaliknya, sebagian kaum muslimin malah kurang yakin dalam berpegang teguh pada agamanya, dan tidak sedikit yang meragukan kebenaran agamanya.

Bahkan ada elite negeri ini yang berani menyatakan semua agama sama dan syariat Islam tidak bisa menjadi rujukan memecahkan problem umat dan bangsa ini.

Pengakuan Urwah dan keagungan Islam

Urwah merupakan tokoh yang berpengaruh. Kaumnya sangat menghormati dan segan terhadapnya, serta tak ada orang yang berani meremehkannya. Dia menuturkan kalau dirinya sedang tidur, tidak ada yang berani membangunkan.

Ketokohannya diakui oleh masyarakat Quraisy hingga membuat dirinya layak menjadi tokoh yang berhak menyandang sebagai nabi.

Al-Qur’an menggambarkan pengagungan Quraisy terhadap orang yang dipandang agung, dalam hal ini Urwah, hingga Allah menggambarkan dalam firman-Nya:

“Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar (tokoh) dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (QS. Az-Zukhruf: 31).

Sebelum perjanjian Hudaibiyah, Urwah diutus oleh Quraisy menjadi diplomat untuk mengawasi Muhammad dan para sahabatnya. Saat itu, umat Islam sedang menuju Mekkah untuk melakukan umroh, dan orang kafir Quraisy berniat mencegahnya karena dianggap mau menyerbu Makkah.

Urwah memiliki pengalaman berdiplomasi hingga pernah datang ke istana Kisra, kaisar Romawi, hingga Najasyi. Dia melihat bahwa rakyat ketiga kerajaan itu sangat menghormati rajanya. Namun penghormatan mereka dinilai sebagai sesuatu yang wajar karena ingin menghormati rajanya.

Urwah melihat para sahabat sangat berbeda ketika memperlakukan orang yang diagungkannya (Nabi Muhammad).

Dia menuturkan bahwa pengikut Muhammad tidak bisa disejajarkan dengan rakyat yang menghormati tiga raja (Romawi, Persia, dan Habasyah). Urwah menyatakan bahwa pengagungan para sahabat terhadap Muhammad tidak ada duanya dan tak tertandingi.

Dia menuturkan bagaimana para sahabat memperlakukan Muhammad sedemikian istimewa, seperti merebut dahak Muhammad dan mengusapkan pada wajahnya. Bekas air wudhu utusan Allah itu dijadikan rebutan hingga terjadi pertengkaran. Jika Muhammad memerintahkan sesuatu tidak ada yang membangkang tapi langsung memenuhinya. Bahkan para sahabat tidak berani menatap wajah nabinya karena demikian sangat berwibawanya.

Melihat keagungan Muhammad yang demikian tinggi, Urwah menyarankan kepada orang Quraisy untuk membiarkan Muhammad dan para sahabatnya masuk ke Makkah. Namun karena keinginan kuat untuk menolak Islam, maka mereka tetap melarang umat Islam masuk Makkah.

Dua kubu yang sama-sama kuat untuk mewujudkan keinginannya itu, maka terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Salah satu kesepakatannya adalah membolehkan kaum muslimin melakukan umroh tahun depan.

Upaya sistematis meredupkan Islam

Pengakuan Urwah menunjukkan bahwa para sahabat sangat loyal terhadap agamanya hingga mengagungkan nabinya secara proporsional. Melihat keagungan Islam yang demikian besar, pada akhirnya Urwah memutuskan masuk ke dalam agama Islam.

Apa yang dilihat Urwah ketika para sahabat memperlakukan nabinya sedemikian agung, hingga menggetarkan jiwa orang kafir Quraisy hingga mau duduk satu meja untuk mengadakan perundingan.

Umat Islam yang selama ini diburu dan dikejar kejar, pengikutnya banyak yang diteror, disiksa bahkan dibunuh karena berpegang teguh pada agamanya.

Pengagungan para sahabat terhadap nabinya inilah yang menggerakkan hati Urwah kagum hingga masuk ke dalam Islam.

Realitas di atas berbeda dengan yang kita jumpai saat ini. Kalau kita melihat ucapan Buya Syakur yang tidak membolehkan umat Islam untuk bersikap merasa benar terhadap agamanya. Termasuk pernyataan sebagian cendekiawan muslim yang menyatakan tidak percaya kepada syariat Islam untuk menyelesaikan problem bangsa ini. Bahkan muncul pernyataan dari elite negara yang menganggap semua agama sama.

Ketika seorang beragama tidak yakin terhadap agamanya. Bahkan dengan dalih toleransi beragama, mereka berani meragukan kebenaran agamanya, maka agama bukan lagi menjadi dasar dan rujukan dalam bersikap dan berperilaku.

Dalam konteks ini, agama hanya dipakai sebagai label dan hiasan, dan tidak menjadi rujukan untuk menyelesaikan problem umat dan bangsa ini.

Demikian pula ketika menyatakan semua agama sama, maka hal itu bukan hanya menampar kerja-kerja spiritual para ulama, tetapi mereka menghinakan perjuangan Nabi Muhammad yang selama ini gigih menghidupkan cahaya Allah.

Pernyataan bahwa semua agama sama, secara tidak langsung, terbersit dalam pikirannya bahwa Nabi Muhammad merasa paling benar.

Nabi Muhammad bukan hanya berhasil menanamkan rasa percaya diri para sahabat untuk berpegang teguh pada Islam, tetapi Nabi berhasil mengangkat derajat bangsa Arab yang selama ini dilecehkan oleh Romawi dan Persia. Kalau dahulu bangsa Arab dianggap oleh Romawi dan Persia sebagai bangsa budak dan dilecehkan, maka dengan Islam, bangsa Arab justru berhasil menaklukkan dua negara besar itu.

Apa yang disaksikan Urwah bin Mas’ud ketika menyaksikan pengagungan para sahabat terhadap Nabi Muhammad, tidak akan terlihat lagi ketika umat Islam ragu terhadap agamanya dan menganggap semua agama sama.

Melarang umat Islam untuk menyatakan agama Islam sebagai agama yang paling benar, atau menganggap semua agama sama, tidak lain sebagai upaya sistematis untuk memadamkan cahaya Allah.

Hal ini selaras dengan apa yang sudah termaktub dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan muluṭ (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” (At-Taubah: 32).

Surabaya, 3 Nopember 2021

Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment