Nabi Isa pun memuji Nabi Muhammad, bagaimana dengan kita?

Nabi Isa pun memuji Nabi Muhammad, bagaimana dengan kita?

Ustad Junaidi Sahal
Ustadz Muhammad Junaidi Sahal dalam program Motivasi Al-Qur'an Suara Muslim Radio Network.

Suaramuslim.net – Nabi Isa putra Maryam alaihis salam suka dan selalu memuji Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Hal itu terjadi saat Nabi Isa memberikan kabar gembira akan waktu kedatangan Nabi terakhir setelah beliau yang diabadikan dalam surat Ash-Shaff ayat 6.

وَإِذۡ قَالَ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ يَٰبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ إِنِّي رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيۡكُم مُّصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيَّ مِنَ ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَمُبَشِّرَۢا بِرَسُولٖ يَأۡتِي مِنۢ بَعۡدِي ٱسۡمُهُۥٓ أَحۡمَدُۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ قَالُواْ هَٰذَا سِحۡرٞ مُّبِينٞ

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.”

Dari ayat di atas Nabi Isa alaihis salam selalu meluruskan tugas kenabian beliau dengan selalu berkata kepada kaumnya dalam tiga hal;

  1. Beliau selalu berkata bahwa dirinya adalah hanya seorang rasul, bukan tuhan apalagi anak tuhan.
  2. Beliau membenarkan Taurat yang dibawa saudaranya yaitu Musa alaihis salam.
  3. Beliau sebagai pembawa gembira dengan membawa berita gembira (mubasysyir) kepada kaumnya akan kedatangan seorang rasul yang datang setelahnya.

Sudah tentu beliau selalu berekspresi gembira ketika menyampaikan berita akan kelahiran sosok nabi terakhir.

Padahal kebiasaan seseorang itu bergembira dengan kelahiran di saat lahirnya sang bayi, bukan sebelum kelahirannya. Apalagi masih 600 tahun sebelum kelahiran Sang Rasul.

So… Bagaimana dengan kita? Yang sudah merasakan nikmat dari kelahiran Sang Rasul itu. Nikmat kehidupan di bawah naungan Al-Qur’an yang tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya Sang Rasul itu.

Ini adalah mukzijat Al-Qur’an, yang telah memberitakan bahwa setelah Nabi Isa dalam bentangan 600 tahun tidak ada Nabi lagi kecuali Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Itulah rahasianya bahwa Nabi Isa diskenario Allah dengan tidak memiliki keturunan, supaya tidak ada klaim setelah Nabi Isa ada Nabi lainnya. Karena Allah telah membuat Nabi Isa sebagai Nabi terakhir dari kalangan Bani Israil.

Itulah pula yang membuat kalangan Bani Israil tidak pernah ada yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Isa. Karena Nabi Isa telah membuat kriteria Rasul yang tersurat dan tersirat dari kata ‘Ahmadu’, yang nanti akan kami jelaskan.

Begitu seringnya Nabi Isa memberitakan kepada kaumnya sehingga membuat mereka mengenal banget kriteria yang melekat kepada sosok Rasul yang akan datang setelah Nabi Isa. Bahkan kenalnya mereka melebihi kenalnya dengan anak mereka sendiri. Hanya saja mereka menyembunyikan kebenaran berita kenabian itu.

ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ وَإِنَّ فَرِيقٗا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 146).

Di antara kriteria itu adalah bahwa sosok Nabi itu selalu diikuti awan putih jika berjalan di terik matahari. Kriteria ini belum pernah muncul selama 600 tahun, baru muncul dalam penglihatan seorang Rahib Nashara yang bernama Buhaira pada sosok anak remaja berusia 12 tahun ketika diajak pamannya Abu Thalib. Dialah Muhammad.

Coba kita kembali ke ayat di atas, Nabi Isa dengan ekspresi gembira mengungkap sosok Rasul setelahnya dengan ungkapan, “Ismuhu Ahmadu,” namanya Ahmad.”

Kata Ahmadu di ayat itu memiliki beberapa pengertian;

Ahmadu sebagai ism (nama). Yang artinya memang itu adalah nama bagi Nabi Muhammad.

Dalam sebuah riwayat Nabi bersabda, “Aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad dan aku juga Ahmad. Aku adalah Al Mahi karena Allah menghapuskan kekufuran dengan perantara diriku. Aku adalah Al Hasyir karena manusia dikumpulkan di atas kakiku, dan aku adalah Al ‘Aqib, karena tidak ada lagi nabi setelahku.” (Al-Bukhari dan Muslim).

Bisa jadi kata Ahmadu itu ism tafdhil (superlatif) yang berarti lebih terpuji.

Maka bisa diartikan ungkapan Nabi Isa itu yang berbunyi, “ismuhu Ahmadu”, namanya Ahmad, dengan terjemahan, “namanya lebih terpuji (daripada nama saya).”

Ini memang benar terbukti, karena nama atau diri Nabi Muhammad memang lebih terpuji dari nama Nabi Isa.

Hal itu bisa terjadi karena faktor sebagai berikut.

  1. Allah, semua malaikat dan semua orang beriman setiap saat selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad.

Setiap saat nama Nabi Muhammad juga selalu disebut dalam semua ibadah Islam. Seperti dalam adzan, sholat, haji, doa, dll.

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

Bahkan begitu terpujinya Nabi Muhammad, sehingga lafaz Muhammad itu tertulis di kubah-kubah, dan daun-daun yang ada di surge. Itu tidak terjadi pada lafaz nama Isa. (Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hâwî li al-Fatâwî, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2015, juz 2, h. 137).

  1. Nabi Muhammad adalah manusia yang paling berpengaruh di dunia.

Ini dibuktikan oleh kaum Nashrani sendiri, cendekiawan Barat yang bernama Michael H Hart, dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.

Buku itu terbit tahun 1978 dan posisi Nabi Muhammad ada di nomor pertama dan Nabi Isa di posisi ketiga setelah Isaac Newton. Allahu Akbar!

Bukankah orang yang paling berpengaruh dalam peradaban dunia ini seringkali menunjukkan yang paling terpuji pribadinya?

Kembali kepada pengertian kata Ahmadu, dalam ungkapan Nabi Isa itu bisa jadi merupakan fi’il mudhori’ atau present continous.

Kata Ahmadu, bisa berasal dari hamida-yahmadu, yang berarti memuji, dan Ahmadu berarti ‘saya selalu memuji(nya)’.

Maka ungkapan Nabi Isa yaitu “ismuhu Ahmadu” namanya Ahmad. Jika itu dianggap sebagai kata kerja present continous atau fi’il mudhari’ maka berarti ‘Saya selalu memuji (namanya).’

So… Kalau Nabi Isa saja yang tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad selalu memuji namanya, maka sudahlah tentu merupakan keniscayaan bagi kita yang umat Nabi Muhammad ini dan sudah pula merasakan nikmat akan kehadiran Nabi Muhammad dalam perubahan hidup ini akan jauh lebih memujinya.

Bagaimana cara memuji Nabi Muhammad?

  1. Menjadi pengikut setianya dengan keyakinan penuh untuk selalu menjalankan ajarannya, meneladani akhlaknya dan menghidupkan sunnahnya.
  2. Selalu bershalawat dan mengucapkan salam kepadanya.

Ada keterangan bahwa mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi sekalipun dalam kondisi tidak khusyu’ tetap akan sampai kepada Rasulullah. Inilah amazingnya shalawat.

Hal ini didasari oleh riwayat dari Abu Darda, “Semua amal manusia itu adakalanya ditolak dan adakalanya diterima kecuali shalawat kepadaku, karena itu selalu diterima.”

Kalau tidak khusyu’ saja bisa diterima dan sampai kepada Rasulullah, bagaimana jika diucapkan secara khusyu’?

So… Memuji Nabi jangan takut dianggap berlebihan atau kultus, karena justru Nabi Muhammad meminta kita untuk mencintainya secara berlebihan kok.

Bukankah ketika seseorang memujinya itu bagian dari ekspresi cintanya? Perhatikan perintah Nabi ini yang meminta kita mencintainya melebihi siapapun dan apapun.

“Tidak beriman kalian (dengan iman yang sempurna) sampai aku (Nabi Muhammad ﷺ) lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh umat manusia.” (Muslim).

Wallahu A’lam

M Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
4 November 2021/28 Rabiul Awwal 1443 H

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment