Gerhana dan Keyakinan

Gerhana dan Keyakinan

foto: detik.com

Suaramuslim.net – Gerhana bulan dan matahari adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Tak mungkin terbantahkan. Allah Swt berfirman,”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya. Jika Ialah yang kamu hendak sembah,” (QS. Fushilat: 41). Berangkat dari sini adanya gerhana terlepas dari sebuah fenomena alam periodik, juga ada nilai yang semestinya ditanam pada masyarakat. Mengingat keyakinan yang tidak tepat seringkali menyertainya.

Bulan dimakan buto, naga yang menelan bulan, kematian tokoh dan semisalnya. Beberapa keyakinan ini diikuti dengan sebuah tindakan. Ramai-ramai memukul lumpang dan lesung agar buto mengeluarkan kembali.

Islam datang untuk menetralisir keyakinan saat gerhana terjadi akan menuntut tumbal. Baik berupa kematian seorang anak atau musibah yang mengakibatkan kematian lebih banyak.

Kematian Ibrahim putranya Rasulullah Saw, oleh masyarakat Arab Jahiliyah diyakini sebagai penyebab gerhana bulan. Seketika itu Rasulullah membantah dalam sabdanya,”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang.” (HR. Bukhari Muslim).

Rasa syukur dengan adanya gerhana tersebut dibuktikan dengan melakukan ketaatan kepada Allah Swt. Salat adalah bentuk nyatanya. Dalam tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, menyeru kepada seluruh manusia agar berkumpul dalam satu tempat (masjid) kemudian salat berjamaah. Dua rukuk dan dua sujud dalam satu rakaat. Rakaat kedua juga demikian. Setelahnya ada khutbah untuk mengingatkan manusia jika gerhana adalah salah satu tanda dari keagungan Allah Swt.

Manusia tetap saja akan berlebihan atau ekstrem ke kanan dan ke kiri. Yang ke kanan tadi menganggap gerhana adalah tanda kematian seseorang. Sedang yang ke kiri menganggap gerhana adalah sebuah gejala alam yang biasa terjadi seperti siang dan malam.

Tipe manusia yang kedua ini hendak melepaskan kejadian gerhana dari nilai-nilai ibadah. Kejadian alam dapat dihitung dengan ilmu astronomi. Dapat dinikmati sambil ngopi atau karaokean. Juga ada ketika bulan tertutup total ciuman bersama. Intinya tidak ada sangkut paut dalam peribadatan. Ini juga bahaya. Ujungnya menganggap Allah Swt. tidak ada sangkut paut dalam pengaturan gerhana. Rusak nilai ketauhidan seseorang.

Seorang muslim yang tengah-tengah meyakini gerhana adalah kejadian alam periodik namun sebagai bentuk rasa syukur kita gunakan ibadah dengan salat gerhana. Juga sebagai bentuk mengingat siapa kita dan untuk apa kita ada di dunia ini.

Apakah cukup sampai di sini saja? Tentu saja tidak. Ada tugas tambahan yang tidak kalah penting. Mengingat di masyarakat keyakinan ekstrem kanan dan kiri ada. Di desa akan didapati orang-orang membunyikan lesung kalau di kota dijadikan objek wisata dengan melihat pakai teleskop. Kedua kegiatan ini tidak jadi masalah jika tidak ada keyakinan yang menyertainya.

Undangan untuk meramaikan masjid guna salat gerhana lebih gencar. Memanfaatkan segala media yang ada. Pamflet, media sosial dan jika ada dana media cetak dan media digital. Seakan-akan gerhana ini merupakan peristiwa relijius yang memiliki nilai spiritual tinggi.

Membuat gerakan-gerakan serupa gerakan salat subuh berjamaah juga perlu ditiru. Gerakan salat gerhana digaungkan. Bagi yang muda tidak gaul jika gerhana tidak ke masjid. Generasi old (tua) juga perlu pemahaman yang tepat. Harapannya mengenai di semua lapisan dan tempat. Keyakinan dua ekstrem tadi lambat laun terkikis.

Oleh Muslih Marju,
Penulis adalah penyuka tumpukan kata. Tinggal di Tulungagung. Aktif di LSBO PDM Tulungagung.
Editor: Oki Aryono

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment