Habis Terang Menuju Gelap

Habis Terang Menuju Gelap

Kartini, Habis Terang Menuju Gelap
Ilustrasi cahaya terang lampu menghalau kegelapan.

Suaramuslim.net – Ketika Kartini menggoreskan catatan kegelisahannya, ia berharap apa yang dilakukannya kelak bisa menjadi jalan terang bagi kegelapan yang dialami kaumnya. Meski menyandang sebagai putri bangsawan, tidak menyurutkan Kartini untuk berjibaku di tengah lumuran ketakberdayaan perempuan pada saat itu.

Kartini berupaya menaikkan martabat kaumya di hadapan laki-laki. Masih ada anggapan bahwa perempuan tak perlulah mengenyam pendidikan tinggi, perempuan tak lebih berposisi “swargo nunut neroko katut” apa kata laki-laki.

Masa-masa kegelapan itu perlahan tapi pasti bisa disibakkan, perempuan semakin berdaya dengan balutan tata krama yang mewarna. Meski kesempatan belajarnya semakin terbuka lebar menganga, perempuan saat itu tetap menjaga nilai-nilai budaya dan agama sebagai kaum perempuan. Tetap harus menghormat suami, melayani dan menjadi teman dalam membangun rumah tangganya.

Bagi Kartini perempuan harus cerdas, perempuan harus pandai, perempuan harus tetap perempuan meski menyandang pendidikan dan jabatan yang tinggi. Ia ibu dari anak-anaknya dan istri bagi suaminya. Sehingga masih ada tugas sebagai istri dan ibu.

Masa-masa pencerahan yang dilakukan Kartini, mendatangkan berkah, perempuan semakin berdaya, ruang belajar terbuka lebar, berada dalam posisi yang sama untuk meraih apa yang diinginkan.

Bagi Kartini meski semuanya sudah mendapatkan kesempatan yang sama, tapi perempuan adalah perempuan, tetap harus menjaga kodratinya sebagai sebagai perempuan. Perempuan mengalami masa-masa terang.

Menjaga Martabat Menanamkan Nilai

Terang dalam perspektif Kartini adalah ketika nilai-nilai yang berlaku sebagai perempuan tetap terjaga meski kesempatan berada di puncak tetap masih ada. Itu artinya bagi Kartini bahwa menjungkirbalikkan nilai-nilai yang seharusnya berlaku bagi wanita dengan kebebasan yang tak bertanggung jawab, emansipasi tanpa batas adalah kegelapan yang menerpa.

Bagi Kartini, Pendidikan merupakan jalan menempatkan perempuan pada posisi yang sebenarnya. Pendidikan yang dimaknai proses menjadikan tidak tahu menjadi tahu, tertindas menjadi bermartabat, bebas tanpa batas menjadi bertanggung jawab akan membawa kemartabatan perempuan.

Menjadi Ibu Adalah Kemartabatan Tertinggi

Masih ingatkah kita bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Keberadaan ibu menjadi sangat penting dan strategis ketika berada bersama anak-anaknya. Ketika perempuan menjadi ibu, maka dia akan menjadi panutan dan tauladan bagi anak-anaknya. Dia adalah sekolah bagi anaknya.

Sehingga bagi Kartini, perempuan harus berpendidikan, perempuan harus cerdas, dan perempuan harus pandai. Perempuan harus cerdas adalah sebuah keniscayaan ketika dia menjadi madrasah bagi anak-anaknya.

Bagaimana mungkin dia bisa mencerdaskan kalau dia tidak cerdas, bagimana mungkin dia bisa menanamkan nilai-nilai kebenaran kalau dia tak tahu nilai-nilai kebenaran, bagaimana mungkin dia bisa menyampaikan pengetahuan kalau dia tak berpengetahuan.

Menjadi ibu sejatinya mengantarkan perempuan pada kedudukan yang bermartabat. Karena pada diri ibu itulah kesempurnaan perempuan akan didapat.

Dari Terang Menjadi Gelap

Nilai-nilai kemartabatan yang diwariskan Kartini sebagai kaum perempuan, perlahan tapi pasti tergerus oleh semakin berdayanya perempuan. Pendidikan semakin tinggi kadangkala juga membawa pemahaman baru tentang perempuan. Nilai-nilai kebebasan menjadi hal baru menempatkan perempuan pada posisinya.

Bagi Kartini, terang adalah ketika perempuan bisa menjaga kodratinya sebagai perempuan, yaitu bertahan dalam nilai-nilai budaya yang dianut serta standar keagamaan yang diyakini.

Manusia berbudaya adalah manusia yang bisa menjaga cipta karsa dan rasa. Itu artinya kemartabatan seseorang termasuk di dalamnya perempuan adalah ketika mampu mendaya gunakan cipta karsa dan rasanya di tengah modernitas yang dijalaninya.

“Telah terjadi banyak kerusakan di darat dan di lautan, akibat dari perbuatan manusia”. (QS. Ar Ruum: 41).

*Ditulis di Surabaya, 7 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment