Haji itu harus bawa bekal, jangan bonek!

Haji itu harus bawa bekal, jangan bonek!

Rukun-Rukun Haji yang Harus Kamu Ketahui
Ilustrasi kabah. (Ils: PENS/Elmanita Kirana)

Suaramuslim.net – Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-Jâmi’ ash-Shahîh nomor hadis 1426.

“Abdullah bin Abbas berkata: “Dahulukala orang-orang Yaman berhaji tidak membawa bekal; mereka (orang-orang Yaman) berkata: “Kami (orang-orang Yaman) adalah orang-orang yang bertawakkal.” Apabila mereka (orang-orang Yaman) tiba di kota Makkah, mereka (orang-orang Yaman) malah meminta-minta (mengemis) kepada orang-orang. Maka Allah SWT menurunkan surat Al-Baqarah ayat 197, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”

Al-Bukhari berkata, ini juga diriwayatkan pula oleh Sufyan bin Uyaynah dari Amru bin Dinar dari Ikrimah, secara mursal.

So… Ayat di atas dan asbabun nuzul-nya memerintahkan yang berhaji atau umrah harus berbekal tidak boleh bonek!

Seorang yang berhaji atau umrah perlu berbekal dengan M3

1. Mental keimanan dan ketakwaan

A. Mental keimanan

Mental ini bisa disingkat dengan ITS yaitu ikhlas, tawakkal dan sabar. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah di atas, yaitu sebaik-baik bekal adalah takwa.

a. Ikhlaskan jiwa kita dalam beribadah haji/umrah

Ikhlas itu adalah memurnikan atau membersihkan hati, baik yang terkait dengan niat ibadah maupun dosa dosa.

Pertama, yang dimaksud dengan ikhlas adalah memurnikan hati dari niat yang tidak benar.

Artinya dalam beribadah umrah/haji, harus membersihkan hati dari niat yang tidak sesuai dengan ibadah itu. Tidak boleh hati/jiwa ini dalam beribadah niatnya sudah kotor. Seperti sejak awal sudah menganggap umrahnya sebagai wisata, atau ingin belanja sesuatu di tanah haram, atau mau berbisnis rokok dengan membawa rokok yang banyak. Atau ibadahnya untuk menaikkan harga dirinya di kalangan tetangga dan koleganya.

Dari sahabat Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang suatu masa orang kaya di zaman itu berhaji untuk tamasya, kelompok menengahnya berhaji untuk berbisnis, kebanyakan mereka berhaji untuk riya dan sum’ah, dan orang-orang fakirnya berhaji untuk mengemis.” (Riwayat Al-Khatib).

Itulah kenapa dalam Al-Qur’an keikhlasan untuk haji dan umrah sangat ditekankan, sehingga satu-satunya ibadah yang perintah ikhlas dengan menyebut lafaz ‘Lillah” ya hanya haji dan umrah.

Lihat firman Allah di Surat Al Baqarah 196;

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.”

Dan juga di Surat Ali Imran ayat 97;

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

So, kalau ada orang yang berhaji masih ada keinginan untuk dipuji manusia, maka sesungguhnya ikhlasnya kurang.

Kedua, arti lain ikhlas adalah memurnikan hati dari segala dosa, baik yang nampak atau tersembunyi, baik yang sengaja atau tidak sengaja, baik yang kecil atau yang besar.

b. Tawakkal dengan berserah diri baik perasaan maupun pikiran kepada Allah ketika haji

Caranya dengan yakin akan jaminan keamanan Allah bagi siapapun yang menjadi tamu Allah.”Siapa yang memasuki kota Makkah maka ia aman.” (Ali Imran: 97). Yakin dicukupi Allah dengan berbagai hidangan dari-Nya (orang berhaji adalah tamu Ar-Rahman).

c. Sabar dalam melaksanakan ibadah haji

Sabar inilah kunci utama dalam meraih kemabruran dalam haji/umrah. Untuk menggapai mabrur dalam ibadah umrah atau haji, maka seseorang harus bersabar dengan level-level sebagai berikut.

  • Sabar standar yaitu sabar ‘ngempet’ atau menahan diri meski emosi bergejolak di dada. Menahan diri dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang buruk. Atau kalau mau dikeluarkan maka pilihlah kalimat yang baik, seperti istigfar, shalawat dan lainnya. Dalam haji, sabar ini dibutuhkan, mulai dari menunggu antrean, kenyamanan kendaraan, kenyamanan tenda, hotel dan lainnya yang mengundang ketidakpuasan sebisa mungkin ditahan emosinya, atau katakan dengan perkataan yang baik dan santun.
  • Sabar medium yaitu sabar menerima (nrimo) keadaan dan meridainya. Inilah hati yang ‘plong/lega’ dengan keadaannya karena meyakini sebagai takdir Allah.
  • Sabar excellent yaitu dengan melihat setiap musibah yang terjadi atau segala hal yang kurang menyenangkan sebagai hal positif untuk kemajuan diri.

B. Mental ketakwaan dengan selalu menjauhi 3 hal dan melakukan 3 hal lainnya

Menjauhi 3 hal yaitu;

  1. Rafats (perkataan yang mengandung unsur seksual, yang ujungnya adalah hubungan seksual).
  2. Fusuq yaitu perbuatan maksiat, baik yang merusak hati seperti sombong, takabbur, hasud dan lainnya. Serta yang lahir seperti menzalimi orang lain atau mengambil hak orang lain, seperti suka menyerobot antrean, menganggap diri hebat dan lainnya.
  3. Jidal yaitu berbantah-bantahan atau memunculkan emosi diri atau orang lain. Berdiskusi yang membuat emosi hingga berakibat fusuq seperti membandingkan fasilitas yang didapat dan lainnya.

Semua hal itu harus dijauhi sebagaimana Al-Baqarah ayat 197:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berdebat di dalam masa mengerjakan haji.”

Menjalankan 3 hal yaitu;

  1. Suka memberi makan, suka berbagi, baik sebelum dan selama di Tanah Haram. Artinya harus memiliki kepedulian sosial.
  2. Suka menebarkan kedamaian.
  3. Suka berkata yang baik.

Ini semua tertera dalam riwayat Imam Ahmad, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.”

Riwayat lainnya; “Rasulullah ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.” Al-Hakim berkata bahwa hadis ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

2. Materi yang halal

Di antara diterimanya amalan ibadah haji dan umrah, adalah terkait akan halal ONH (ongkos naik haji) dan ONU (ongkos naik umrah) yang digunakannya.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa.” (Al Maidah: 27).

Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna muttaqin (orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262.

Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.

Sekalipun yang dijadikan bekal materi itu halal, tetap tidak boleh berlebihan dan melanggar aturan. Misal karena khawatir tidak makan dengan masakan Indonesia sampai membawa minyak goreng, wajan, pisau, ulek batu hingga magic jar. Ini tentu berlebihan dan bisa melanggar aturan maskapai.

3. Mengaji ilmu tentang haji dengan sungguh-sungguh dan jangan sok tahu

Ibadah apapun yang tidak berdasarkan ilmu yang benar pasti akan tertolak. Belajar terlebih dahulu untuk beribadah haji adalah bekal yang tidak bisa ditawar lagi.

So, berbekal dalam haji itu adalah sebuah keniscayaan agar ibadahnya menjadi tenang dan sempurna. Karena bagaimanapun juga dalam beribadah untuk mendapatkan kemuliaan akhirat, haruslah dipersiapkan urusannya sejak di dunia. Inilah bekal yang diperintah ayat di atas. Wallahu A’lam.

Muhammad Junaidi Sahal
Disampaikan dalam Kajian Fajar Motivasi Al-Qur’an
Radio Suara Muslim Surabaya
16 Juni 2022-16 Dzulqo’dah 1443H

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment