Suaramuslim.net – Judul buku ini merupakan karya anggitan S.M. Kartosuwiryo yang selesai ditulis pada awal Agustus tahun 1946 juga bertepatan dengan awal Ramadan tahun 1365 Hijriah bertempat di Malangbong, disiarkan oleh Dewan Penerangan Masyumi Daerah Priangan selaku penerbit.
Risalah ini cukup ringkas, seukuran buku saku terdiri dari tujuh bab sebanyak 42 halaman, wujud transkrip dari pidato yang disampaikan dalam salah satu rapat lengkap di Garut pada pertengahan bulan Juli 1946 yang diselenggarakan oleh Partai Politik Islam Masyumi daerah Priangan. Pada helatan rapat lengkap itu turut hadir massa dari tiap-tiap wakil cabang Masyumi seluruh Priangan, wakil dari GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), GPII Putri, Muslimat, Laskar Hizbullah dan Sabilullah.
Maksud dari dibukukannya orasi pak Kartosuwiryo adalah supaya Haloean Politik menjadi pedoman yang amat perlu bagi Masyumi dan cabang-cabang usahanya, terutama waktu itu masih dalam suasana revolusi, perubahan masyarakat dan peredaran zaman begitu cepat.
Republik Indonesia baru berumur satu tahun. Menurut tuturan pak Kartosuwiryo pada mukaddimah, bahwa sedapat mungkin risalah tersebut menjadi sederhana agar gampang dipahami. Patut diketahui bahwa ejaan pada waktu itu masih menggunakan “oe” untuk bunyi “u” dan “dj” untuk aksara “j”. Saya pribadi ketika mengeja buku kecil ini tidak begitu kesulitan untuk membacanya, memang sederhana.
Kita perlu tahu meski sekelumit tentang sosok bernama Kartosuwiryo. Beliau memang tokoh kontroversial, ada yang memasukkan beliau pada deretan pemberontak negara (bughot), namun ada pula yang menempatkannya sebagai mujahid. Di awal kiprahnya, beliau sempat berguru kepada Raja Jawa tanpa mahkota yaitu H.O.S. Cokroaminoto bersama Soekarno yang selanjutnya menjadi presiden Republik Indonesia.
Ketidaksepahamannya tentang ideologi negara dan juga kekecewaannya pada rentetan proses diplomasi (perjanjian) antara Belanda dan Indonesia yang hasilnya merugikan Indonesia, menjadikannya perlu untuk mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII), Daroel Islam juga sekaligus perangkat militernya, Tentara Islam Indonesia (TII). Sepak terjang Kartosuwiryo bersama DI/TII berakhir pada tanggal 4 Juni 1962 oleh operasi pagar betis TNI (PAsukan GAbungan Rakyat BErantas Tentara ISlam).
Konteks risalah singkat ini ditulis oleh Kartosuwiryo pra-NII, kendati demikian akan ditemukan bibit ideologi yang beliau yakini tentang Darul Islam. Saya dan pembaca sekalian boleh tak bersepakat tentang ideologinya, tetapi mengenal pemikiran pak Kartosuwiryo tak ada salahnya.
Pada permulaan bab, beliau menjelaskan tentang pengertian dari politik yaitu “Cara-cara mengatur dan memerintah sesuatu negara”. Masih dalam bab pertama, beliau menyoroti sekaligus mengkritik buruknya sistem politik kolinialisme-imperialisme Belanda dan juga fasisme ala Jepang. Menurutnya, Belanda dan Jepang sama saja. Sama-sama menjadikan rakyat Indonesia sebagai budak tertindas.
Rakyat hanya punya satu kewajiban; diperintah, hanya punya satu hak; menjadi hamba-sahaya. Pak Kartosuwiryo menyerukan, “Lenyapkanlah segala macam sifat kolonialisme atau sisa-sisa belandaisme daripada tubuhnya masyarakat Indonesia dan daripada diri kita masing-masing. Dan basmilah pula semua sifat jepangisme, ialah jalan-jalan yang membawa kesengsaraan dunia dan akhirat!”. Di akhir bab pertama, Ia menganjurkan kepada umat Islam supaya berpartisipasi aktif di lapangan politik bahkan wajib berpolitik sebagai suatu kewajiban suci.
Di bab dua, penulis memaparkan pentingnya ideologi bagi negara secara umum, belum spesifik mengarah kepada ideologi Islam. Ideologi berfungsi sebagai cita-cita sekaligus arah yang wajib dicapai dari tiap-tiap usaha dan amal politik betapa pun rintangan dan tantangan yang harus dihadapi besar. Penulis juga mengingatkan akan bahaya fanatisme.
Tuturnya, “Penyakit fanatisme yang serupa inilah yang mudah sekali membahayakan persatuan bangsa dan persatuan perjuangan, yang kesudahannya bernatijahkan (berakibat) kepada perpecahan dan percideraan yang tidak diharapkan. Terutama sekali pada masa genting-runting seperti sekarang ini, di mana tiap-tiap warga Negara seharusnya merasa wajib ikut serta menyempurnakan perjalanan revolusi nasional, yang lagi tengah kita hadapi bersama. Lebih-lebih lagi, kalau kita yakin, bahwa tiap-tiap perpecahan antara kita dengan kita, adalah satu keuntungan bagi musuh.”
Bahasan selanjutnya berkenaan dengan corak perjuangan yang ditempuh untuk mewujudkan cita-cita negara. Penulis menghendaki perubahan masyarakat yang mendasar dan cepat (revolusi). Ada dua macam revolusi yang beliau tawarkan, ditambah satu revolusi kecil.
Pertama, revolusi nasional. Revolusi ini terkait dengan interaksi bangsa dengan pihak luar (eksternal), yaitu menolak setiap bentuk penjajahan dan menuntut pihak dunia internasional mengakui kemerdekaan. Ada dua pendekatan dalam revolusi ini yaitu jalan diplomasi melalui perundingan dan jihad dengan makna perang (ghazwah).
Kedua, Revolusi sosial merupakan perwujudan perjuangan ke dalam (internal) yang bermaksud menyelesaikan dan menyempurnakan segala urusan dalam negeri sehingga tercapai pemerintahan yang stabil (stable government).
Ada empat metode yang beliau sampaikan untuk berperan dalam revolusi sosial. Rinciannya, dua usaha dari “atas ke bawah” dan dua usaha dari “bawah ke atas”. Dua usaha dari “atas ke bawah” meliputi sebagian orang yang masuk ke legislatif (pembuat hukum) dan juga eksekutif (pelaksana hukum). Sedangkan dua usaha dari “bawah ke atas” mencakup kepatuhan umat Islam terhadap hukum undang-undang dan pemerintah, juga mendidik, mencerdaskan umat agar cakap dan kuasa untuk menjalankan hukum.
Mana yang lebih didahulukan antara revolusi nasional atau nasional? menurut beliau, jika kondisi negara belum merdeka 100% secara de facto dan secara de jure pun masih belum stabil, maka perjuangan revolusi nasional lebih diprioritaskan. Satu tambahan berupa revolusi kecil adalah revolusi diri atau revolusi pribadi (revolusi syakhsy). Maksudnya ialah perubahan diri, perubahan sifat dan tabiat, perubahan himmah (kemauan) dan semangat, perubahan kehendak dan cita-cita.
Tegasnya perubahan jiwa, perubahan manusia dalam arti maknawi dan hissy, dhohir dan batin menjadikan jiwa merdeka. Usaha mengubah diri menjadi “jiwa merdeka” adalah kewajiban. Dalam Pandangan Agama Islam, tiadalah mungkin dibentuk jiwa merdeka, melainkan berdasarkan atas sesuci-suci iman kepada Allah dan sebersih-bersih Tauhid, sepanjang (sesuai) ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun yang dimaksud dengan ideologi Islam ringkasnya ialah cita-cita yang hendak ditempuh dalam membangun dunia baru, dunia Islam, dan darul Islam. Beda ideologi Islam dengan ideologi yang lain adalah bahwa ideologi Islam menuju kepada keselamatan dunia juga menuju keselamatan akhirat.
Hal yang bisa dijadikan contoh kongkrit menurut penulis adalah hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik yang berdasar Islam. Hendaklah pemerintah dapat menjamin berlakunya hukum-hukum syariat Agama Islam; dalam arti yang seluas-luasnya; dan sesempurna-sempurnanya. Kiranya tiap-tiap muslim dapat kesempatan dan lapangan usaha, untuk melakukan kewajibannya, baik dalam bagian duniawi maupun dalam urusan ukhrowi. Kiranya rakyat Indonesia, teristimewa sekali umat Islam. Terlepaslah daripada tiap-tiap penghambaan yang manapun jua (kecuali hanya Allah).
Tujuan dari ideologi Islam adalah menuju dan memperoleh mardhatillah (ridha Allah) dan rahmatillah (rahmat Allah). Mardhatillah dan rahmatillah di dunia merupakan Darul Islam. Sedang Mardhatillah dan rahmatillah di akhirat mewujudkan Darus Salam.
Dalam risalah ini penulis tidak menukil dalil ayat dari Al Quran maupun Hadis untuk menjelaskan ushul (pokok) idelogi Islam mungkin dengan maksud menyederhanakan risalah. Demikian, semoga bisa diambil pelajaran.
Kontributor: Muhammad Fisabilillah
Editor: Jilul Farid