Suaramuslim.net – Ibu memang madrasah pertama (madrasatul ulaa) seorang anak, dan ayah menjadi kepala sekolahnya. Ayah adalah kepala sekolah yang bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak sekaligus mengevaluasinya.
Prof. Daniel M Rosyid, aktivis dunia pendidikan, menganalogikan pendidikan keluarga itu ibarat makan pagi, maka makan siangnya adalah pendidikan sekolah formal, dan makan malamnya kembali ke pendidikan rumah.
Berkaca pada analogi itu, mestinya anak-anak akan “baik-baik saja” jika sarapannya bermutu dan makan malamnya bergizi, meski tanpa makan siang. Sebaliknya akan menjadi masalah jika anak-anak makan siang, namun tidak sarapan juga tidak makan malam. Yang jauh lebih parah lagi adalah anak-anak tidak sarapan dan tidak tersedia makan malam. Hanya ada makan siang itu pun dengan menu asal-asalan.
Analogi makan siang itu adalah sekolah formal anak-anak, sedangkan makan pagi dan makan malam sekolah informal anak-anak kita yang guru utamanya adalah ibu dan kepala sekolahnya sang ayah. Untuk itu, sudah semestinya institusi keluarga lebih berdaya, lebih disiapkan dengan serius, punya visi misi, ada rencana strategis, punya SOP, punya kurikulum dan silabus, punya program pelatihan guru secara berkala, ada sistem evaluasi pencapaian pendidikan secara berkala.
Rumah harus menjadi penjaga idealisme yang tegas untuk melahirkan anak-anak yang memiliki kepribadian Islam; berpikir Islami dan berperilaku standar hukum-hukum Allah. Dengan itu, ia mampu mengarungi hidup dengan benar dan membawa kemaslahatan. Pribadi yang memiliki idealisme tata nilai tertentu adalah pribadi tangguh.
Keberhasilan membentuk idealisme pada diri anak haruslah menjadi cita-cita bagi setiap orang tua, terutama ayah. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh pada setiap keluarga muslim agar senantiasa mewarnai kehidupan keluarganya dengan warna Islam yang jelas. Dengan begitu, karakter anak yang terbentuk adalah karakter Islam yang jelas, tidak abu-abu, apalagi warna-warni.
Sikap ayah yang seperti ini bukan berarti dia mengajarkan anak untuk tidak memiliki toleransi terhadap agama lain atau bahkan dianggap menanamkan kebencian dan kekerasan pada anak. Tuduhan seperti ini tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Para orang tua muslim tidak boleh terjebak dengan tuduhan yang antara lain dilontarkan oleh kalangan liberal. Orang tua harus tetap istiqamah mengarahkan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya agar memiliki idealisme Islam sehingga terbentuk generasi Islam yang berkualitas pada masa yang akan datang.
*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.