Suaramuslim.net – Berbicara tentang keluarga sebagai lembaga sosial terkecil, tidak bisa lepas dari konsep kepemimpinan dan model rekayasa keluarga. Artinya, hubungan laki-laki dan perempuan dalam segala aspeknya merupakan hubungan yang simetris dan harmonis, bagai dua mata uang dan saling ketergantungan. “Hunna libaasul lakum wa antum libaasul lahunna” (mereka, istri-istri kamu itu, adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka, lihat Q.S. 2: 187). Bukan semata hubungan atas bawah, sebagaimana pemahaman sebagian kalangan yang menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan sub-ordinat.
Faktanya, tata keluarga di akhir zaman mulai bergeser dari fitrahnya. Seolah ada kesepakatan tidak tertulis bahwa ayah mengkhususkan diri mencari uang, sementara ibu mendidik anak. “Kesepakatan” ini bisa jadi karena semakin beratnya kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga memaksa ayah pergi pagi pulang malam, untuk mengais rejeki, meski dengan hasil yang tidak kunjung memadai.
Pengalaman kami yang sudah 30 tahun berkeluarga, ternyata tidak mudah menemukan pola kepemimpinan keluarga yang dinamis tapi selaras-seimbang. Perlu sinkronisasi dan penyesuaian secara berkelanjutan. Sekalipun saya bekerja dan istri “bekerja” di rumah, belum pernah saya memisahkan peran secara spesifik dan pasrah “bongkokan” kepada istri untuk mengurus seluruh urusan rumah. Tak terkecuali untuk urusan pendidikan anak. Padahal saat awal meniti karier, saya tergolong workaholic, harus kerja malam mengawal cetak koran harian, lanjut bekerja siang hari ketika harus belanja spare part dan mereparasi mesin-mesin yang rusak di hampir semua grup percetakan Jawa Pos.
Terkait perdebatan peran istri, sektor publik atau domestik, semuanya merupakan pilihan cerdas masing-masing keluarga. Saya tidak pernah memaksa istri untuk memilih salah satu atau keduanya. Hanya ada satu prinsip yang bagi saya merupakan harga mati, yakni tetap terjaganya agama dan akhlak anak-anak.
Ketika kemudian istri mengambil peran publik, selama itu memiliki kandungan positif dan tetap terjaganya kehormatan diri dan keluarga, bagi saya bukan masalah. Toh, peran publik bukan selamanya “mencari uang”. Peran publik juga bisa diwujudkan dalam peran dakwah, sosial kemasyarakatan dan juga sosial keagamaan, yang tidak kalah besar manfaatnya. Dengan pertimbangan itulah saya mendorong istri untuk aktif menjadi pengurus PKK Surabaya, pengurus Komite Sekolah Al-Hikmah, Ketua Pembina Yayasan Yatim An-Nafilah dan mengurusi pengajian ibu-ibu tetangga.
Mengenai kewajiban ayah atau suami yang bekerja di luar, tidak kemudian membatalkan kewajibannya memperhatikan pendidikan, aktivitas ibadah dan akhlak putra-putrinya, sekalipun tenggat waktu dan kesempatan bertatap muka dengan mereka terbatas. Sebagai seorang ayah yang memiliki ruang waktu terbatas, satu hal yang senantiasa saya jaga adalah memperingatkan istri dan anak-anak untuk menjaga ibadahnya, khususnya shalat. Jika di rumah, diusahakan selalu shalat berjamaah di masjid.
Demikianlah, peran pendidik merupakan tanggung jawab bersama, suami istri. Tanpa memandang waktu dan tempat. Tanpa melihat siapa yang bekerja mencari uang dan siapa yang di rumah. Laki-laki yang bekerja tidak bisa serta merta menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab rumah tangganya kepada sang istri.
Harmoni kebersamaan inilah yang agaknya lebih proporsional dimunculkan ketimbang semangat persaingan atau saling melimpahkan. Sebab dengan semangat kebersamaan dalam harmoni kekeluargaan, kelemahan dan kekurangan satu pihak akan dilengkapi oleh pihak lain.
*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.