Suaramuslim.net – Bagaimana membangun kemandirian anak di sebuah keluarga? Harus dimulai dengan kesepakatan ayah-ibu tentang tata nilai kemandirian yang hendak ditegakkan di sebuah keluarga, baru kemudian disepakati strategi mengawal tata nilai tersebut dalam sebuah harmoni.
Ayah sebagai the founding father haruslah membuat kesepakatan bersama dengan angggota keluarga (terutama istri) tentang nilai-nilai unggul keluarga (family value) yang hendak dilaksanakan bersama-sama dengan anggota keluarga sehingga menjadi budaya keluarga (family culture). Tentu saja, ada beda penerapan budaya perusahaan di korporasi dengan budaya keluarga, terutama masalah teknis implementasinya.
Perbedaan itu lebih karena yang dikelola di keluarga adalah anak manusia, anak kita, bukan mesin atau barang. Anak-anak yang mempunyai keunikan dan perkembangan berbeda satu dengan yang lainnya, beda hormonal karena jenis kelamin, beda faktor bawaan (genetik), juga beda karena tuntutan faktor usia. Karena itulah diperlukan harmoni dan seni tersendiri untuk menegakkan budaya keluarga.
Sebagaimana sudah kami tuliskan sebelumnya, nilai-nilai luhur keluarga yang sepakat kami tegakkan. Sekadar contoh, beberapa hal misalnya adalah: 1. Keluarga, anak-istri dan harta adalah titipan, karenanya kita harus amanah dengan titipan itu 2. Keluarga bahagia itu hidup sederhana 3. Anak sukses itu mandiri di usia dini, baik spiritual, finansial maupun sosial, dan lain sebagainya.
Yang terpenting justru bagaimana seni implementasi dan harmoni menegakkan nilai-nilai keluarga tersebut, sebab tidak jarang ada penolakan dan perlawanan dari anak-anak terutama ketika memasuki masa pembangkangan. Perdebatan sengit yang mirip pertengkaran ibu-anak atau bapak-anak sering tak terelakkan. Bagaimana mengatasinya?
Ayah dan ibu harus tetap konsisten pada koridor penegakkan nilai-nilai keluarga yang telah disepakati, tidak boleh pendapatnya lalu saling berseberangan. Kontradiktif, saling melemahkan atau bahkan menegasikan satu dengan yang lainnya. Itu pamali.
Kalaupun terpaksa ada ‘perbedaan’ antara ayah dan ibu, hanya boleh terbatas pada intensitas atau gaya penerapan tata nilai dalam keluarga. Ketika ayah bernada tinggi agak emosi, ibu lah yang melunakkannya untuk bersabar. Demikian juga sebaliknya ketika ibu ngomel-ngomel karena beberapa hal terkait nilai tadi diabaikan anak-anak, maka ayah lah yang harus meredakan amarah si ibu.
“Sudahlah bu, tetaplah pada koridor nilai itu, tetapi jangan dengan amarah, harus sabar dan istiqamah, pada saatnya anak-anak nanti akan tahu diri.”
Kiat ini penting, terutama untuk ayah yang mempunyai anak kesayangan ‘anak papa’ atau ibu yang mempunyai kedekatan khusus dengan salah satu anak atau ‘anak mama.’ Tak bisa dipungkiri, hal itu sering terjadi di banyak keluarga meskipun kedua orang tua sudah berusaha untuk berbagi kasih sayang dan kecintaan yang sama.
Jika ayah tidak tega melihat anak kesayangannya dimarahi ibunya, atau ibu yang tidak tega melihat ‘anak mama’ dimarahi ayahnya, maka “menyingkirlah!” Lebih baik menyingkir atau pergi menghindar, dari pada ikut berkomentar yang pasti tanpa disadari akan membela kepentingan anak kesayangannya. Tidak sedikit justru ayah-ibu yang gantian bertengkar, karena salah satunya memarahi dan yang lain membelanya secara emosional.
Pertengkaran model ‘bela-membela’ anak kesayangan ini lebih potensial terjadi jika di rumah itu ada anak kandung dan anak tiri, karena itu orang tua harus mempunyai ‘hati ganda’, yaitu kesabaran ekstra. Karena pertengkaran orang tua apalagi menyangkut tata-nilai keluarga itu tidak baik bagi pembentukan pola pikir, sikap dan perilaku anak-anak.
Apalagi jika pertentangan itu diperdebatkan secara demonstratif di depan anak-anak. Persepsi nilai-nilai luhur keluarga di pikiran anak-anak akan rusak. Paling tidak anak-anak akan berkesimpulan bahwa keluarga menerapkan double standard. Khawatirnya kelak anak-anak menjadi bingung, ambivalen, tata nilai mana yang hendak dipatuhi dalam keluarga tersebut. Tidak tertutup kemungkinan anak-anak kelak akan menjadi sosok dengan pribadi ganda (split personality).
Nilai keluarga adalah harga mati, harus dipatuhi bersama. Tetapi intensitas atau cara implementasi nilai boleh berbeda gaya, disesuaikan dengan suasana dan kenyamanan berkeluarga. Jangan semuanya galak, dan jangan semuanya lunak, atur ritmenya sehingga ‘terdengar’ dan terasa enak seperti sebuah harmoni.