Suaramuslim.net – Mohammad Natsir (1908-1993) merupakan pahlawan yang kaya keteladanan. Dari beliau, pembaca bisa meneladani banyak hal, seperti: hidup bersahaja. Sosok yang dikenal santun ini –selama hidupnya- walaupun pernah menjadi Menteri Penerangan bahkan Perdana Menteri, memilih hidup bersahaja daripada mewah.
Menariknya, dengan jabatan yang dimiliki, bisa saja –dan itu masih dalam batas wajar- beliau menggunakan fasilitas yang ada. Namun, murid A. Hassan ini tetap mempertahankan gaya hidup sederhana. Dalam bahasa kalangan ahli suluk, lelaku Natsir ini bisa dikategorikan zuhud.
Mengenai kesederhanaan Pendiri DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) ini, George Mc Turnan Kahin, seorang sejarawan berkebangsaan Amerika, pernah menyaksikan secara langsung kebersahajaan sang maestro dakwah saat di Yogyakarta pada tahun 1948.
Betapa terkejutnya Kahin ketika melihat Mohammad Natsir memakai kemeja yang ada tambalannya. Padahal, saat itu beliau menjabat sebagai Menteri Penerangan (Republika, 100 Tahun Muhammad Natsir, 118-119). Pola hidup sederhana dan bersahaja ini juga diceritakan oleh Sitti Muchliesah, anak sulung Natsir.
Suatu hari, ayahnya pernah menolak sumbangan mobil Chevrolet Impala dari tamu yang berasal dari Medan. Rupanya Natsir menolaknya dengan halus, dan merasa cukup dengan mobil DeSoto kusam miliknya sendiri. Bagi Natsir –yang saat itu masih menjadi anggota parlemen dan pemimpin fraksi Masyumi- dirinya tak berhak menerimanya. Di samping itu, mobil yang dipunya masih bisa dikendarai (Majalah Tempo, Volume 37, hal. 65).
Saat Natsir mundur dari jabatan Perdana Menteri tahun 1951, ia tidak mau menerima sisa dana taktis hak Perdana Menteri yang disodorkan oleh sekretarisnya, Maria Ulfa. Akhirnya dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan. Bahkan, beliau pernah meninggalkan mobil dinas di istana presiden dan pulang dengan mengendarai sepeda ontel dengan sopirnya (Artawijaya, 2014: 145).
Saat mendapat Jaizat Al-Malik Faisal Al-‘Alamiyat (The King Faisal Award), beliau memperoleh piagam, medali emas, dan uang sebesar 100 ribu riyal. Menariknya, uang sebanyak itu tidak dipakai sendiri. Tapi, diserahkan ke kasir DDII untuk dibagikan ke seluruh karyawan di setiap biro dan unit DDII. (M. Dzulfikriddin, M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, 2010). Demikian salah satu potret kesederhanaan Natsir.
Amin Rais, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah (1995-2000), juga mendapat cerita dari Khusni Muis (saat itu Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan) tentang kesederhanaan Natsir. Saat hendak meminjam ongkos untuk pulang ke Banjarmasin kepada Natsir, beliau tidak memiliki uang. Akhirnya dihutangkan dulu dari kas majalah Hikmah yang beliau pimpin. Menurut Amin ini aneh, seorang Perdana Menteri tidak punya uang. (Majalah Tempo, Volume 37, hal. 65).
Kisah lain yang tak kalah mengharukan, pada tahun 1966, pasca bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta, Natsir membeli rumah temannya di Jalan Jawa 46, Jakarta Pusat. Meski dijual dengan harga teman, tetap saja Natsir tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya. Karena itulah, Natsir harus meminjam uang dan mencicilnya selama bertahaun-tahun. Lihat berapa bersahajanya hidup beliau.
Yusril Ihza Mahendra, yang pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan bahwa atasannya ini ke kantor memakai baju yang sama. Kalau tidak baju putih yang ada bekas tinta pulpen di kantongnya atau batik berwarna biru. Masih menutut Yusril, sewaktu mau diangkat menjadi Menteri Penerangan Pertama di Yogyakarta, beliau sampai dibelikan sepasang baju jas karena begitu bersahajanya. (Republika, 100 Tahun Muhammad Natsir, 212).
Menutur Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Prof Dr Ahmad Suhelmi, kesederhanaan beliau bukan hanya saat sudah sepuh. Ketika beliau memimpin Masyumi di tahun 50-an, gaya hidup beliau sederhana. (Bastoni, M. Natsir, sang maestro dakwah, 2008). Hidup sederhana ini seolah tak bisa dilepas dari prinsip kehidupannya. Kita tentu bermimpi akan lahir pemimpin-pemimpin baru yang meneladani kesederhanaan Natsir.
Itulah sepercik kisah tentang kesederhanaan Natsir. Semoga, kebersahajaan beliau dapat diteladani oleh penulis dan para pembaca, khususnya para pejabat yang sedang menjalankan amanah mengelola negeri ini.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono