Suaramuslim.net – Hijrah itu bergerak menuju kepada keridaan Ilahi. Meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah kepada yang dicintai-Nya, itulah hijrah.
Diharapkan terutama di kalangan milenial, hidup itu selalu bernilai hijrah. Hijrah itu tidak boleh berhenti, hijrah forever. Karena menuju kebaikan harus terus berjalan seperti nafas yang tidak pernah berhenti kecuali mati.
Hijrah forever inilah yang disebut istiqamah dalam menjalankan prinsip hidup yang diyakini. Allah berfirman;
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud: 112).
Sekali beriman selamanya beriman, sekali berhijrah selamanya berhijrah pantang mundur.
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqamahlah.” (Muslim).
Karena Itulah Nabi bersabda;
الُمهَاجِرُ مَنْ هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT. (Ahmad).
Seorang yang sudah beriman atau yang baru beriman, atau seorang yang baru sadar dengan keislamannya, tetaplah terus dalam hijrah kesadarannya dalam berislam. Pertahankan hijrah itu dengan istiqamah melalui;
1. Alat yang terkait dengan ibadah, seperti jam weker.
2. Melalui orang terdekat dengan saling menasehati, seperti keluarga atau guru.
3. Melalui komunitas yang selalu mengajak kepada kebaikan.
Dan yang harus dipertahankan dalam hijrah milenial ini adalah;
1. Ibadahnya kepada Allah dan selalu bersemangat mengamalkan kewajiban dan sunnah
Misal salat dan tilawah Al Qurannya ditingkatkan, salatnya lebih khusyu dan berjamaah di masjid dan ngaji Qurannya lebih baik. Jangan merasa sudah bisa, teruslah belajar dan belajar untuk meningkatkan diri.
2. Adabnya dengan orang lain
Godaan yang besar bagi penghijrah adalah merasa paling benar dan paling sunnah. Menganggap yang lain yang berbeda dengannya adalah di luar sunnah dan ahli atau tukang bid’ah.
Hijrah yang benar adalah tetap menjaga adab berinteraksi dengan orang lain dan jangan merasa paling benar dan sunnah. Bukankah Allah berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS. An Najm: 32).
Nabi bersabda:
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
Janganlah kalian merasa diri kalian suci, Allah lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik di antara kalian. (Muslim).
Dan bukankah kita diminta untuk selalu bermuka yang menyenangkan saat bertemu orang lain.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri. (Muslim).
So, hijrrah milenial adalah hijrah sikap yang semakin menyenangkan orang lain.
Perbedaan itu keniscayaan, sikap dewasa dalam menghadapi perbedaan itulah sebuah keharusan pula.
Padahal, teladan abadi kita yang abadi Nabi Muhammad begitu bijak dalam melihat perbedaan di kalangan sahabatnya, lihatlah dua kasus berikut.
1. Kasus perang Bani Quraidzhah
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
Janganlah ada satu pun yang salat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah (Al Bukhari).
2. Kasus dua sahabat yang salat dengan tayammum, dan setelah selesai salat menemukan air.
Abu Sa’id Al-Khudri bercerita.
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ، فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Ada dua orang lelaki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu salat, sementara tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan tanah yang suci, lalu keduanya salat. Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu salat masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi salatnya, sedangkan satunya tidak mengulangi salatnya. Keduanya lalu menemui Nabi dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi salatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan salatmu sah.” Kemudian beliau mengatakan kepada yang mengulangi salatnya, “Untukmu dua pahala. (Abu Dawud).
Perhatikan, betapa bijaknya Nabi dalam menyikapi perbedaan di kalangan sahabatnya.
Perhatikan, ternyata di zaman Nabi hidup saja sudah terjadi perbedaan, bayangkan di saat beliau sudah tiada.
Para ulama mazhab pun begitu bijak.
1. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam karyanya, kitab at-Tibyan, mengisahkan, suatu kali Imam Syafi’i berziarah ke kuburan Abu Hanifah. Tak seperti peziarah pada umumnya, Imam Syafi’i rela menginap di area makam hingga tujuh hari.
Selama tinggal di area makam tersebut, Imam Syafi’i tak henti-hentinya membaca Al-Qur’an. Tiap kali khatam, ia selalu menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an itu kepada Imam Abu Hanifah.
Yang unik tentu saja adalah tata cara salat Imam Syafi’i yang lain dari biasanya. Pengarang kitab induk ushul fikih ar-Risalah ini tak membaca qunut tiap salat Subuh selama mukim di qubbah makam Imam Abu Hanifah.
Padahal dalam mazhab Syafi’i, qunut hukumnya sunnah ab’ad (kalau lupa/tertinggal disunatkan sujud sahwi).
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah tidak pernah meninggalkan qunut Subuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat).
Mengapa Imam Syafi’i tidak berqunut?
لأن الإمام أبا حنيفة لا يقول بندب القنوت في صلاة الصبح، فتركته تأدبا معه
Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam salat subuh. Saya tak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau.
2. Karena amat cinta terhadap guru, Imam Ahmad selalu mendoakan Imam As Syafi’i setelah salat dalam waktu 40 tahun. (Manaqib Imam As Syafi’i, Al Baihaqi, 2/254)
Antara Ibnu Rojab Al Hambali dan Ibnu Hajar Al Asqolani
Ibnu Rojab Al Hambali adalah pakar hadis yang lahir di Bagdad tahun 736 H. Beliau menulis sebuah kitab Fathul Bari yang mensyarah (menjelaskan) hadis dalam kitab Sahih Al Bukhari. Namun sayang, belum tuntas beliau menulis kitab tersebut, beliau keburu meninggal dunia.
Sekitar dua puluh tahun berikutnya Imam Ibn Hajar (lahir di Mesir thn 773 H) menulis kitab yang mensyarah hadis yang tercantum dalam kitab Sahih Al Bukhari.
Dan yang luar biasa, sebagai penghormatan kepada Ibn Rajab, maka Ibn Hajar menulis judul kitabnya Fathul Bari, sama seperti yang ditulis oleh Ibn Rajab (dan belum selesai).
Ini sungguh hebat,karena kita tahu Ibn Hajar itu bermazhab Syafi’i tapi tetap menghormati Ibn Rajab yang bermazhab Hanbali.
Ibnu Taimiyyah pun berusaha menggapai ukhuwwah ini, dengan ingin menyatukan kelompok Hanabilah dan kelompok Asy’ariyyah.
Padahal beliau banyak mengkritik akidah Asy’ariyyah, namun dengan tawadhunya beliau mengatakan dengan istilah ‘pengikut Asy’ariyyah’ dan pengikut ‘pengikut Hanabilah’ untuk menyatukan mereka bukan dengan istilah “kelompok sunnah.”
Karena konsekuensinya kalau menyebut salah satu dengan ‘kelompok sunnah’ maka seolah mengeluarkan kelompok lainnya dari sunnah dan itu fatal.
Itu terungkap dalam Majmu’ Al-Fatawa jilid 3 hal. 227:
وَالنَّاسُ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ كَانَ بَيْنَ الْحَنْبَلِيَّةِ وَالْأَشْعَرِيَّةِ وَحْشَةٌ وَمُنَافَرَةٌ. وَأَنَا كُنْت مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ تَأْلِيفًا لِقُلُوبِ الْمُسْلِمِينَ وَطَلَبًا لِاتِّفَاقِ كَلِمَتِهِمْ وَاتِّبَاعًا لِمَا أُمِرْنَا بِهِ مِنْ الِاعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللَّهِ وَأَزَلْت عَامَّةَ مَا كَانَ فِي النُّفُوسِ مِنْ الْوَحْشَةِ وَبَيَّنْت لَهُمْ أَنَّ الْأَشْعَرِيَّ كَانَ مِنْ أَجَلِّ الْمُتَكَلِّمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى الْإِمَامِ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ وَنَحْوِهِ الْمُنْتَصِرِينَ لِطَرِيقِهِ كَمَا يَذْكُرُ الْأَشْعَرِيُّ ذَلِكَ فِي كُتُبِهِ.
Orang-orang pada tahu bahwa terjadi pertikaian sengit antara Hanbaliyyah dan Asy’ariyyah, dan saya adalah salah satu yg sangat berperan menyatukan hati kaum muslimin dan menuntut kesamaan kalimat mereka serta mematuhi perintah Allah untuk berpegang pada tali agama-Nya.
Saya juga menghilangkan kebencian yang ada dalam jiwa dan saya terangkan kepada mereka bahwa Asy’ariyyah itu termasuk ahli kalam yang paling dekat penisbahannya kepada Imam Ahmad dan semisalnya serta sangat membela metode beliau sebagaimana yang diakui oleh Al-Asy’ari sendiri dalam buku-bukunya.
Lihat pula dua tokoh besar antara KH Hasyim Asy’ari dengan KH Amad Dahlan.
Beliau berdua memiliki keturunan yang sama yang bernasab ke Sunan Giri, cuma bedanya kalau KH Hasyim dari jalur Kiai Abdurrahman (Jaka Tingkir), sedang KH Ahmad Dahlan itu dari jalur Sunan Prapen.
Guru mereka pun sama, baik di Indonesia yaitu KH Sholeh Darat dan di Mekah dengan Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi.
3. Syukurnya terhadap nikmat Allah
Karena jiwa-jiwa yang bersyukur adalah jiwa-jiwa yang tenang dan dekat dengan Allah serta mau berbagi kepada orang lain.
Inilah karakter hijrah para milenial di era sekarang yang semestinya dimiliki oleh para penggiat hijrah. Dan saatnya momentum Muharram ini sebagai momentum perubahan diri kepada yang lebih baik. Tetap semangat untuk selalu berhijrah agar meraih berkah.
Wallahu A’lam