Suaramuslim.net – Keagungan suku Quraisy tercatat dalam lembaran sejarah ketika berhasil merumuskan sebuah jaminan keamanan bagi siapa pun yang berada di tanah Haram (Makkah). Perjanjian para pembesar Quraisy yang pernah dihadiri Nabi, pada saat itu belum diangkat menjadi rasul. Peristiwa itu benar-benar kejadian agung dan menyejarah.
Kesepakatan itu melahirkan butir bahwa orang yang berbuat kejam dan bengis bisa patuh hingga tunduk mengikut kesepakatan itu. Al-Ash ibnu Wail As-Sahmi tercatat sebagai orang zalim yang bisa mematuhi kesepakatan bersama para pembesar Quraisy itu.
Al-Ash bin Wail merupakan tokoh Quraisy yang sangat besar permusuhannya pada agama Islam dan sering menghina Nabi. Dia orang kaya dan berpengaruh, namun bisa tunduk pada aturan yang dirumuskan para pembesar yang berhati mulia.
Al-Ash bin Wail dan permusuhannya pada Islam
Al-Ash bin Wail dikaruniahi Allah harta melimpah dan memiliki kedudukan tinggi di dunia. Dia masih saudara ipar Abu Jahal karena istrinya, Ummu Hirmalah, merupakan saudara kandungnya. Dia memiliki dua putra, Hisyam dan Amr, keduanya masuk Islam.
Al-Ash menyiksa Hisyam setiap hari sejak mendengar anaknya masuk Islam. Sejarah mencatat bahwa begitu mengetahui keislaman anaknya, Al-Ash menyiksanya hampir setiap hari. Dia justru merasa bangga karena dipuji-puji para pemimpin Quraisy karena dinilai lebih melindungi agama nenek moyangnya daripada nyawa anaknya sendiri.
Dia gemar mendebat Rasulullah di depan khalayak umum guna mempermalukan beliau sehingga orang tidak mau mendengar dakwah Islam.
Suatu saat ia mendatangi Nabi Muhammad dengan membawa sepotong tulang kering sambil meremas-remas dan meniupnya. Sambil mengatakan “Wahai Muhammad, apakah kamu mengira Tuhanmu sanggup mengembalikan tulang-tulang ini setelah mematikannya.”
Akhir hidup Al-Ash tragis ketika mengalami kecelakaan dalam perjalanan keThaif. Kakinya tertusuk duri, karena keledai yang dikendarainya menerabas semak berduri. Duri itu menancap di telapak kakinya, hingga kedua kakinya membengkak sebesar leher unta. Sejak saat dia hanya bisa tergeletak tak berdaya di atas dipan. Tidak hanya kakinya, seluruh tubuhnya kemudian membusuk sehingga orang-orang tak sudi mendekatinya. Demikian keadaannya sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Al-Wail merupakan sosok yang tak percaya akhirat. Suatu saat ada seorang laki-laki yang bekerja padanya. Orang tersebut tergolong fakir miskin di antara kaum muslimin, dan pernah berkata, “Wahal Al-Wail, berikan upahku.
Al-Wail menjawab, “Apakah engkau percaya bahwa Allah akan membangkitkan di hari kiamat?”.
“Ya.” Kata orang muslim itu.
Mendengar itu, Al-Wail tertawa sambil mengejek. “Jika Allah bisa menghidupkan kita kembali, maka Tuhanku akan membangkitkan aku dari kubur nanti. Aku punya banyak gudang simpanan kekayaan. Saat itu aku akan membayar upahmu.”
Keagungan Quraisy dan kezaliman Al Ash bin Wail
Kezaliman terbesar yang pernah dia lakukan ketika ada seorang pedagang dari kabilah Zabid, dari Yaman yang datang ke Makkah dengan membawa barang dagangan. Al-Ash bin Wail datang dan mengambil barang itu tanpa mau membayar. Pedagang itu berusaha minta tolong kepada penduduk dan pembesar Quraisy untuk membantunya. Namun usahanya sia-sia. Setelah putus asa, ia pergi ke tengah-tengah Masjidil Haram di samping Kabah lalu bersyair:
“Wahai keturunan Fihr, tolonglah orang yang perdagangannya dizalimi. Di tengah kota Makkah, sementara ia jauh dari rumah dan sanak keluarganya. Wahai para pembesar di antara dua batu (Hajar Ismail dan Hajar Aswad), sesungguhnya Baitullah ini hanya pantas untuk orang yang sempurna kehormatannya, bukan orang yang jahat dan suka berkhianat.”
Pada saat itu, salah seorang pemuka bani Abdil Muthalib pun datang. Namanya Az-Zubair. Ia berkata kepada pedagang. “Aku penuhi panggilanmu dengan membawa solusi. Sungguh kezaliman ini sudah tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa dibiarkan lagi.”
Kemudan Az-Zubair mendatangi rumah salah seorang pembesar Quraisy bernama Abdullah ibnu Jud’an. Abdullah ibnu Jud’an terkenal dengan kemuliaan dan kedermawanannya. Dia pun bangkit dan bertindak. Dia memanggil penduduk Quraisy dan sekitarnya, “Ayolah para pemuka kota Makkah, datanglah ke rumahku, kita buat perjanjian yang dapat menolong orang yang dizalimi dan menghentikan perbuatan orang zalim.”
Waktu itu diamini oleh banyak orang termasuk bani Hasyim, bani Abdul Muthalib, bani Asad, bani Zahrah, bani Tamimi. Pertemuan dihadiri oleh Rasulullah yang saat itu belum diutus menjadi Rasul, dan beliau memiliki reputasi sebagai orang yang digelari Al-Amin.
Nabi pernah memuji pertemuan itu dan pernah berkata: “Aku menghadiri perjanjian di rumah Abdullah ibnu Jud’an. Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali perjanjian ini. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa silam, aku pun akan mendatanginya daripada memilih unta merah.”
Isi perjanjian itu berbunyi, “Di Makkah tidak boleh ada orang yang dizalimi, baik penduduk Makkah sendiri maupun pendatang. Kecuali pasti akan dibantu dan dikembalikan haknya dari pihak yang menzalimi.”
Lalu orang-orang Quraisy menamai perjanjian itu dengan Hilful Fudhul, karena disepakati oleh afadhil (orang-orang yang memiliki keutamaan).
Pasca kesepakatan perjanjian itu, orang-orang yang hadir pada perjanjian mendatangi rumah Al-Ash lalu meminta memenuhi hak si pedagang dari Yaman tadi. Sejak itu orang-orang yang berada di Makkah dijamin keamanannya oleh penduduk Makkah dari segala bentuk kezaliman.
Orang Quraisy sebelum Islam datang terkenal dengan kemuliaannya, hingga ada undang-undang yang menjamin tidak akan ada kezaliman di tengah masyarakatnya.
Sementara saat ini kita hidup di tengah masyarakat modern yang justru membiarkan kezaliman, seperti membiarkan ancaman fisik dan psikis pada anggota masyarakatnya, membiarkan kemiskinan dan kesengsaraan menyebar, menipu dan menekan orang lain, membiarkan konflik dan kekerasan, tak berharganya manusia hingga hak-haknya termutilasi. Apakah era jahiliyah lebih mulia daripada era modern?