Hubungan Sosial antara Pribumi, Keturunan Arab dan Keturunan Tionghoa di Indonesia

Hubungan Sosial antara Pribumi, Keturunan Arab dan Keturunan Tionghoa di Indonesia

Hubungan Sosial antara Pribumi, Keturunan Arab dan Keturunan Tionghoa di Indonesia

Suaramuslim.net – Belakangan ramai dibicarakan tentang pelarangan kepemilikan tanah bagi warga non pribumi di DIY,  Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hal itu termaktub dalam peraturan daerah yang mengikut pada Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY nomor 898/I/A/1975 dan sudah diterapkan sejak sebelum zaman kemerdekaan.

Tentu saja dengan hanya satu alasan “diskriminatif” isu ini menjadi hangat diangkat lagi di era sekarang seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, hingga pada perguliran kekuasan dan konstelasi politik nasional atau bahkan international.

Yang menarik untuk kita kaji, bangsa Indonesia bukan hanya memiliki satu etnis pendatang atau non pribumi. Tercatat beberapa etnis yang tetap eksis di bumi Nusantara hingga saat ini selain pribumi, yakni: Arab, China, India, Turki, bahkan Eropa.

Tentu dari semua etnis di atas, hanya China dan Arab yang secara langsung terasa keberadaannya dengan jumlah populasi yang bisa dibilang tak sedikit.

Memang keberadaan mereka memiliki latar belakang yang erat hubungannya dengan sejarah bangsa kita. Bahkan sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di kampung halaman saya, Madura, Arab dan China sudah turun temurun hidup bersama. Bahkan mereka dapat gelar/julukan masing-masing, untuk Arab kami biasa panggil “Yek”, untuk China kami panggil “Yok”. Mereka juga pandai berbahasa Madura.

Memang profesi Yek dan Yok kebanyakan pengusaha, sedangkan kami adalah pekerjanya. Pabrik-pabrik tembakau kebanyakan milik Yok, kami petaninya. Begitulah gambaran keramahan dan kesabaran kami bangsa pribumi. Saya yakin hal ini juga terjadi di kota-kota dan kampung-kampung lainnya.

Sejak dulu, saya tidak pernah perhatian kenapa Yogyakarta memiliki julukan daerah istimewa, bahkan saya baru tahu jika Yogyakarta punya aturan non pribumi tidak boleh memiliki “hak milik” tanah di sana.

Masalah bertambah pelik dan menasional sejak perubahan kekuasaan setelah periode Susilo Bambang Yudhoyono, seakan pelan tapi pasti, warga pendatang Tionghoa terus mengangkat isu ini ke tingkat nasional dengan berbagai dukungan termasuk media mainstream.

Satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya, mengapa mereka ngotot ingin punya tanah di Yogya? Aturan daerah disahkan tentu ada latar belakang dan alasannya. Ditimbang dan diputuskan dengan sebaik-baiknya. Selaku pendatang, sudah selayaknya mereka tahu diri dan tunduk pada aturan yang berlaku.

Sebenarnya simple saja, jika tak dapat memiliki tanah di Yogyakarta, kenapa harus bersusah payah “berjuang” untuk mendapat sesuatu yang memang bukan haknya? Bukannya tanah Indonesia itu luas? Mereka masih bisa memiliki tanah di Solo, Jepara, Surabaya, bahkan juga di pulau Madura. Kenapa harus menggugat pemerintah daerah yang sudah jelas memiliki hak istimewa bagi negara Indonesia?

Indonesia itu luas, masyarakatnya juga ramah-ramah, “maksa” nuntut hak yang bukan haknya itu justru bukan hanya menodai keistimewaan hak daerah kesultanan Yogyakarta, namun juga merongrong kedaulatan bangsa Indonesia seluruhnya.

Berbeda halnya dengan etnis-etnis pendatang lain, katakanlah etnis keturunan Arab yang justru lebih banyak mendapat simpati kebanyakan pribumi. Mereka justru memiliki kedudukan sendiri di masyarakat pada umumnya. Tentu setiap etnis memiliki oknum-oknum yang baik dan buruk, namun tanpa menutup mata dari kebaikan-kebaikan etnis keturunan Tionghoa, seakan keburukan-keburukan individu tak bertanggung jawab dan tak tahu malu mereka lebih menonjol dari kebaikan-kebaikannya. Terbukti dengan sejumlah kejahatan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh segelintir mereka yang bahkan merugikan bangsa dan negara.

Di sisi lain, muamalah atau interaksi kebanyakan antara warga Arab dan warga Tionghoa dengan pribumi yang juga jauh berbeda. Warga Arab biasanya berbaur dan bergaul dengan pribumi tanpa sekat dan merasa berbeda, seakan mereka lahir dari rahim-rahim yang sama. Bahkan tidak jarang mereka mengadakan santunan-santunan untuk membantu dan memajukan kehidupan warga. Sedangkan kebanyakan dari warga keturunan Tionghoa hanya akan berbaur dan membantu sesama etnis mereka. Inilah yang barangkali menjadi salah satu sebab terbesar yang menimbulkan kecemburuan sosial bagi penduduk pribumi.

Jadi, logikanya tentu jika kita kembalikan pada alasan “diskriminatif” tadi, bukanlah Sultan atau Wakil Gubernur yang mengeluarkan larangan kepemilikan tanah di DIY yang diskriminatif, namun cara mereka bergaul dan bermasyarakat sendiri yang kurang diperbaiki.

Memang latar belakang geologis, psikologi, budaya, bahkan kepercayaan sangat berperan dalam hal ini, namun di zaman yang sudah serba terbuka seperti sekarang, mereka seharusnya bisa membuka akal dan pikiran untuk peradaban dan budaya yang lebih baik demi harmoni kehidupan dan keseimbangan sosial antar etnis di negara multi kultural sepeti Indonesia.

Kedepannya, dengan mencuatnya isu sengketa pelarangan kepemilikan tanah di Yogyakarta, justru dikhawatirkan bisa menjadi “inspirasi” bagi daerah-daerah lain untuk menerapkan aturan yang sama. Tentu hal ini bukan hal yang mustahil mengingat saat ini setiap daerah juga memiliki hak otonom.

Semoga kemajmukan dan keberbedaan di negara kita tetap terjaga sebaik-baiknya dalam bingkai butir ketiga Pancasila; Persatuan Indonesia. (Ditulis di Makkah, 5 Maret 2018)

Oleh: Imam Gazali*
Editor: Oki Aryono

*Pribumi Madura

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment