Suaramuslim.net – Shaum atau puasa adalah salah satu rukun Islam yang agung, yang tidak tegak kecuali dengannya dan tidak lengkap kecuali dengannya. Ketika kita sudah tahu betapa agungnya kedudukan puasa dalam Islam, apakah kita akan menodainya dengan tindakan sia-sia?
Mari kita lihat bagaimana hukum dusta, ghibah, mengumpat dan tindakan sia-sia khususnya ketika kita sedang puasa. Berikut ini kutipan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam karyanya Kitab Halal dan Haram dalam Islam.
Dusta
Dusta adalah memberitakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan, baik karena ketidaktahuan atau kesengajaan. Contoh dusta karena ketidaktahuan adalah kisah Abu Sanabil. Suatu saat Abu Sanabil telah berkata kepada Subai’ah Al Aslamiyah yang telah melahirkan beberapa malam setelah suaminya meninggal dunia.
Abu Sanabil melewatinya, sedangkan Subai’ah telah berhias untuk menerima pinangan. Lalu Abu Sanabil berkata kepadanya, “Kamu belum halal untuk menikah sampai lewat empat bulan sepuluh hari.” Ketika Subai’ah menceritakan perkataannya kepada Rasulullah saw. maka beliau bersabda,” “Abu Sanabil telah berkata dusta”. (HR. Ahmad)
Sedangkan contoh dusta yang disengaja adalah perkataan orang-orang munafik yang jika datang kepada Rasulullah saw. mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah”.
Ghibah
Ghibah adalah menyebutkan aib saudaramu yang dia tidak menyukainya, baik itu pada aib tubunya, aib akhlaknya, aib perbuatannya atau aib tata kramanya.
Mengumpat
Sementara itu penjelasan tentang mengumpat yaitu mencela orang lain ketika berada di hadapannya.
Hukumnya
Semua perbuatan diatas adalah haram bagi orang yang shaum (puasa) dan orang yang tidak shaum. Tetapi lebih ditegaskan lagi dalam bahasan orang-orang yang shaum. Sebab, sangat ditegaskan bagi orang yang shaum untuk melakukan amalan-amalan wajib dan meninggalkan perbuatan yang diharamkan, yang tidak ditegaskan bagi orang yang tidak shaum. Dalilnya adalah firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 183.
Inilah hikmah dari kewajiban berpuasa agar menjadi sarana mencapai ketakwaan kepada Allah swt. Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji, perbuatan keji dan kebodohan, maka Allah tidak butuh (amalannya) meskipun dia meninggalkan makanan dan minumannya”. (HR. Bukhori dari Abu Huroiroh ra.)
Maksudnya, Allah tidak menginginkan puasa dari kita hanya untuk meninggalkan makan dan minum saja. Karena jika hal ini adalah yang diinginkan oleh Allah, maka maknanya Allah hendak menyiksa kita. Padahal Allah telah berfirman,
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (An Nisa’ : 147)
Tetapi yang Allah inginkan dari shaum adalah agar kita bertakwa kepada-Nya.
Sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji,” maksudnya setiap perkataan yang diharamkan (karena menyimpang dari jalan yang lurus). Sementara maksud “perbuatan keji”, yaitu setiap perbuatan yang diharamkan. Sedangkan yang dimaksud “kebodohan”, adalah kedunguan, tidak sabar, seperti berteriak-teriak kasar di pasar, mencela banyak orang dan yang semisalnya. Karena ini Rasulullah saw. bersabda,
“Apabila salah seorang dari kalian berada pada hari shaum, maka ia tidak boleh melakukan kegaduhan atau berkata kotor. Bila ia dicaci seseorang atu diserang, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Aku sedang berpuasa’”. (HR. Abu Daud)
Maka selayaknya bagi orang yang berpuasa untuk menjaga tata karma. Dengan demikian, diketahuilah hikmah yang sangat tinggi dari pensyariatan shaum atau puasa. Karena kalau manusia terdidik dengan pendidikan yang agung ini dalam menjalani bulan Ramadhan, niscaya manusia akan memiliki tanggung jawab yang baik, akhlak mulia dan sopan santun, karena shaum adalah pendidikan dalam realita. Wallahu a’lam.
Kontributor: Aisy*
Editor: Oki Aryono
*Script writer dan audio editor