Hukum Mempelajari Filsafat

Hukum Mempelajari Filsafat

Hukum Mempelajari Filsafat

Suaramuslim.net – Filsafat. Ilmu ini baru kita kenal saat di bangku kuliah. Di kalangan pesantren hanya dikenal Mantiq. Perlu disadari, filsafat ini merupakan ilmu yang cukup rumit. Jika tanpa dibekali dasar ilmu mantiq, pengetahuan syariah dan dipandu oleh seorang guru bisa saja terjadi dua hal: pertama, belajarnya tidak maksimal. Kedua, bukan kebenaran yang akan kita temukan melainkan keruwetan bahkan kesesatan yang bisa mengancam keyakinan atau akidah. Setidaknya ada tiga pandangan mengenai hukumnya mempelajari ilmu filsafat. Di antaranya:

  1. Menolak sepenuhnya (Konservatif)
  2. Selektif (Moderat)
  3. Menerima sepenuhnya (Liberal)

Pandangan yang menolak alias yang mengharamkan filsafat berpandangan bahwa tempat asal lahirnya kata itu adalah negeri Yunani. Sudah cukup bagi kaum muslimin untuk berhati-hati dan mengesampingkannya dari tengah umat, karena berasal dari negeri dan kaum yang tidak beriman kepada Allah (Baca: kaum yang menyembah para dewa). Kecurigaan terhadap output filsafat mesti dikedepankan. Ilmu filsafat tidak dikenal dalam generasi salafus sholeh. Pandangan ini diwakili oleh aliran Salafi. Mereka melihat filsafat sebagai ilmu yang merusak akidah dan sumbernya kebingungan (Majalah As-Sunnah, edisi 1 th 2010).

Pandangan berikutnya adalah moderat. Diwakili kaum Ikhwan al-Shafa. Ikhwan al-Shafa ini sebuah perkumpulan rahasia yang muncul pada abad ke-10 M di kota Bashrah, Irak telah memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Sebuah karya ensiklopedi Rasâil Ikhwan al-Shafa yang terdiri dari 51 risalah (epistels) yang mereka tulis masih  bisa dibaca sampai saat ini. Di dalamnya berisi berbagai ragam cabang keilmuan yang populer pada masanya termasuk tentang etika.

Ikhwan al-Shafa sebagaimana yang dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, berpendapat, hukum mempelajarinya adalah makruh bagi orang kebanyakan (awam). Tetapi bagi orang tertentu (khusus) yang sungguh-sungguh ingin mengerti filsafat dan punya kapasitas intelektual dan spiritual yang cukup, maka hukumnya sunnah, bahkan sampai taraf tertentu, seperti dikatakan Ibn Rusyd adalah wajib. Alasannya adalah Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh umat manusia untuk memikirkan ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan serius dan sistematis, sebagai upaya untuk mengenal-Nya. Tetapi upaya untuk memahami ciptaan dengan sistematis dan teliti, hanya bisa dilakukan melalui metode logik-rasional yang dipelajari dan dilakukan oleh para filosof dan ilmuwan.

Dengan demikian, mempelajari filsafat dan metode berpikir, yang disebut logika, menjadi perlu, sebagai syarat untuk bisa mempelajari ciptaan Allah dengan benar. Dari sini kita paham bahwa kalangan yang berpandangan moderat ini berangkat dari titik tolak kapasitas keilmuwan seseorang ketika belajar filsafat dan untuk apa orientasinya (Kuliah Filsafat dan Tasawuf bersama Mulyadhi Kartanegara, 2012).

Pandangan terakhir, menerima sepenuhnya. Diwakili kaum liberal. Mereka mempelajari aneka macam aliran filsafat baik dari Barat, Islam hingga filsafat Persia. Biasanya dalam mengkaji filsafat Islam, mereka gandrung terhadap pemikiran al-Hallaj dan Ibn Arabi sebagai tokoh sentralnya. Saat ini ada tiga topik yang mereka pelajari di antaranya : hermeneutika, filsafat perenial dan hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transenden).

Istilah filsafat perenial baru muncul pada abad 16. Filsafat ini bermakna sebuah filsafat yang akan bertahan terus sepanjang zaman dan kesejatiannya dapat diwariskan dari generasi ke generasi serta dapat melampaui kecenderungan corak filsafat yang dari zaman ke zaman berganti aliran/corak (Emmanuel wora, 2006). Perlu pembaca tahu, sebetulnya Filsafat Perenial merupakan ide pokok dari ajaran Kristen pada masa sekarang. Huston Smith melihat bahwa ajaran Kristen yang otentik sebenarnya berserakan dalam tradisi Filsafat Perenial. Filsafat Perenial dalam perkembangannya telah memunculkan gerakan-gerakan keagamaan semacam Gnostisisme, Theosofi, Spiritualisme dan aliran-aliran lain yang berasal dari Timur. Salah satu pemikir yang dianggap sebagai tokoh Filsafat Perenial adalah Frithjof Schuon.

Terakhir sebelum menutup tulisan ini, saya singgung sedikit tentang hikmah Muta’aliyyah yang dipopulerkan filosof Iran seperti Mulla Sadra. Di kalangan Syiah sangat populer dan menjadi bahan pembicaraan dalam seminar, jurnal hingga riset penelitian sekelas disertasi. Menurut Haidar Bagir, Filsafat hikmah muta’aliyyah ini diyakini masih berkembang di Persia dan anak benua India. Filsafat ini bersinggungan dengan penggunaan intuisi (dzauq) sebagai alat untuk mencapai kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi pada saat yang sama aliran filsafat ini beranggapan bahwa kebenaran tersebut harus dapat diungkapkan melalui suatu perumusan diskursif-demonstrasional (burhani). Wallahu’allam bishowwab.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment