Suaramuslim.net – Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama Ibnu Aqil? Boleh jadi, ingatan kita langsung mengarah kepada Ahli Nahwu dari Andalusia (Spanyol), penulis syarah Alfiyah Ibnu Malik yang populer itu. Boleh jadi juga pemahaman kita kepada makna nama tersebut, yaitu anak yang sangat cerdas. Ya, dua-duanya bisa jadi benar. Namun, kali ini yang kami maksud di sini adalah Abul Wafa Ibnu Aqil (431-415 H), salah seorang ahli fikih ternama dari mazhab Hanbali.
Ada kisah yang sangat menarik dari Ibnu Aqil. Ia dikenal sebagai ahli fikih (faqih) sejati. Pasalnya, ia tidak hanya sekedar mengetahui kasus-kasus hukum Islam saja, atau pendapat para ulama fikih saja. Melainkan ia juga mampu mengolah sendiri dalil-dalil syar’i, dari Al Quran dan hadits dengan sangat cerdas.
Suatu hari, ia kedatangan seorang tamu di kelasnya. Tamu itu tampaknya sedang dihinggapi menyakit hati, berupa syakk (waswas). Ia selalu ragu terhadap apapun yang telah ia lakukan. Penyakit ini memang sangat mengganggu hati dan pikiran seseorang. Ia tidak akan pernah tenang dalam setiap perbuatannya, terutama dalam hal ibadah. Biasanya, orang yang terkena penyakit demikian itu untuk memulai salat saja, butuh puluhan kali percobaan takbiratul ihram, dan belum juga mantap. Saat berwudlu, butuh puluhan kali membasuh muka, dan belum juga merasa cukup.
Tujuan kehadirannya ke kelas Ibnu Aqil itu tak lain adalah untuk meminta fatwa. Ia ingin dengar pendapat Ibnu Aqil, siapa tahu pendapatnya itu dapat menyembuhkan penyakitnya. Benar saja, ketika ia mengajukan sebuah pertanyaan, ia pun mendapatkan sebuah jawaban yang sangat singkat, dan cukup ampuh menyembuhkan penyakit syakk-nya itu. Boleh dibilang, jawaban Ibnu Aqil, benar-benar cerdas. Persis, dapat disebut sebagai shok therapy.
إني أنغمس في الماء مرات كثيرة، ومع ذلك أشك، هل تطهرت أم لا، فما رأيك في ذلك؟
“Tuan, saya ini sudah berkali-kali nyebur, menyelam di air. Tapi saya masih juga ragu-ragu, apakah aku sudah bersuci (dari hadas besar) atau belum. Bagaimana menurut Anda?” Katanya memulai curhat ke Ibnu Aqil.
اذهب، فقد سقطت عنك الصلاة!
“Sudah…sudah…! Pergi kamu! Tak usah risau soal mandi atau belum. Kamu itu sudah tidak wajib lagi salat.” Jawab Ibnu Aqil cerdas, singkat, padat dan sangat mengena.
Mendengar jawaban itu, sang penanya itupun semakin bingung, keheranan. Jawaban Ibnu Aqil yang sangat ia hormati sungguh membingungkannya. Jawabannya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan, menurutnya. Ia pun segera berseloroh, “Maksudnya, Tuan?”
لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: رفع القلم عن ثلاثة: المجنون حتى يفيق، والنائم حتى يستيقظ، والصبي حتى يبلغ.
“Ya… karena Baginda Nabi Muhammad saw bersabda, ‘Pena [pencatat amal] diangkat [sehingga tidak ada amal baik atau buruk yang dicatat] dari tiga orang; yaitu orang gila sampai ia sadar atau sembuh, orang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil sampai ia dewasa.” Tuturnya menjelaskan argumentasi pendapatnya yang belum jelas itu dengan mengutip sebuah hadis populer.
Medengar hadis itu, sang penanya makin bingung lagi. Lebih tidak nyambung lagi hadis yang disampaikan Ibnu Aqil itu dengan kasus yang merundungnya. Belum sempat bertanya lagi, Ibnu Aqil segera menjelaskan maksudnya mengutip hadis tersebut.
فمن ينغمس في الماء مرارا، مثلك، ويشك هل اغتسل أم لا، فهو بلا شك مجنون.
“Siapa yang menyelam di air berkali-kali, sepertimu, namun masih juga ragu-ragu apakah sudah mandi atau belum, maka tak diragukan lagi bahwa ia sudah gila.” Tegas Ibnu Aqil memuaskan sang penanya itu.
Mendengar jawaban itu, barulah sang penanya itu menjadi paham. Ia pun dapat menyambungkan dengan baik antara kasus yang menimpanya, dengan jawaban singkat Ibnu Aqil berikut hadis yang dikutipnya. Ia pun sadar, bahwa dirinya tidak gila, karena masih mampu menangkap pesan hadis yang secara zahir sama sekali tidak berkenaan dengan kasusnya, namun secara iqtidla’ dapat bertalian erat.
Ia pun langsung sembuh dari penyakit syakk-nya itu, karena jawaban itu benar-benar memuaskan dirinya. Di situlah pentingnya cerdas dalam beretorika dan memilih diksi untuk menjawab pertanyaan. Di situ pulalah seorang faqih dituntut cerdas memilih dalil ketika dimintai fatwa. Dalil yang dipilih tidak harus yang sama persis dengan kasusnya, melainkan boleh jadi sama sekali tampak tidak nyambung.
Memahami hadis juga demikian. Makna hadis sebuah hadis tidak hanya terbatas pada makna dzahir saja, melainkan masih ada makna lain yang juga benar dikandungnya, yaitu ada makna isyarat, ada pula makna iqtidla’. Masing-masing adalah makna yang sah dan benar secara ilmiah. Jadi, cerdaslah dalam memahami hadis, niscaya akan bijak dan tepat dalam menyikapi berbagai permasalahan.
Terakhir, seorang faqih harus cerdas dan pandai beristidlal dan beristinbath secara sahih. Wallahu a’lam.
Sumber: wikihadis.id