Suaramuslim.net – Hal menarik yang terjadi ketika diskusi tentang pendidikan dalam forum kebangsaan yang diadakan oleh Kang Mas Suparto Wijoyo, adalah sebuah pernyataan dari mbak Dita, seorang psikolog, bahwa mendidik itu seni. Mengapa? Sebagai orang tua, tentu kita tidak pernah dipersiapkan sebagai orang tua, kita menjadi orang tua karena memang terpaksa, sehingga bekal untuk menjadi orang tua sangat minim sekali. Bekal kita menjadi orang tua kadangkala berasal dari pengalaman yang kita dapatkan dari bagaimana orang tua mendidik kita.
Tantangan yang dihadapi anak-anak kita sewaktu kecil tentu berbeda dengan yang kita hadapi, ketika kita seusia mereka. Karena tantangan yang berbeda itulah, maka sebagai orang tua, kita tak boleh berhenti mendidik anak seperti orang tua mendidik kita. Orang tua perlu belajar bagaimana mendidik anak-anaknya.
Mendidik adalah seni begitu pesan pengajian kebangsaan siang ini (Minggu, 29 April 2018). Karena seni, maka mendidik itu merupakan cara menyampaikan pesan agar sampai kepada penerima pesan. Agar pesan itu sampai kepada penerima pesan, maka diperlukan kemampuan bagi penyampai pesan agar bisa memahami karakter penerima pesan. Sehingga dalam pendidikan tidak hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga terjadi transfer perasaan dan kemenyatuan perasaan. Di dalam pendidikan itulah akan terjadi transaksi rasa dan ilmu pengetahuan oleh guru kepada murid, oleh orang tua kepada anak.
Ibu Adalah Madrasah
Peran ibu memegang kunci penting dalam mewarnai dan melukiskan harapan bagi pura putrinya. Sebagai madrasah tentu seorang ibu tidak boleh kosong tanpa isi ilmu, baik itu ilmu pengetahuan maupun ilmu agama. Ibu mesti harus berisi, ibu mesti harus pintar, ibu harus mampu memahami. Sehingga ketika ibu menjadi madrasah bagi anak-anaknya, mereka tidak merasa kering dari sentuhan seorang ibu yang penuh isi.
Tugas pendidikan sebagaimana yang dipesankan oleh kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah mengembangkan kecerdasan anak melalui pengembangan metode mendengar, melihat dan berfikir. Sebagai “madrasah” ibu dituntut dapat melakukannya kepada anak-anaknya. Sehingga ibu harus memahami bagaimana cara memasukkan pesan pengetahuan melalui pengembangan pendengaran, penglihatan dan pemikiran. Kemampuan memahami dan menyampaikan itulah merupakan seni yang mutlak dipahami orang tua terutama ibu.
Bagaimana ibu bisa menanamkan pengetahuan kalau ia tak punya ilmu? Bagaimana seorang ibu akan mampu mendidik anak-anaknya dengan baik, kalau pemahaman agamanya tidak ada? Ibu harus belajar agar bisa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Ibu Adalah Ruang Keteladan
Apa yang dilakukan oleh bayi ketika pertama kali lahir ke dunia? Hal yang pertama dilakukan adalah menyusu kepada ibunya. Proses menyusu merupakan gambaran pentingnya asupan yang baik dan kemenyatuan perasaan. Di dalam aktifitas menyusui, tidak hanya dapat dipahami sebagai pemberian asupan tapi ada hal jauh yang lebih bermakna dalam hubungan antara anak dan ibu, kemenyatuan rasa dan kemenyatuan kasih sayang.
Kemenyatuan rasa dan kasih sayang antara ibu dan anak itulah yang akan menjadi kekuatan dahsyat dalam menyiapkan anak-anak kita menghadapi zamannya. Anak-anakmu itu lahir pada zamannya, maka persiapkanlah mereka menghadapi zamannya.
Potret kemenyatuan rasa dan kasih sayang yang antara ibu dan anak dan menghasilkan sesuatu yang dahsyat, digambarkan dengan sangat indah oleh Allah pada sosok Siti Hajar dan Nabi Ismail.
Ibrahim kemudian pergi bersama Hajar dan anaknya yang masih disusui, lalu keduanya ditempatkan di dekat Baitullah, di dekat sebuah pohon besar, tepat di atas sumur Zamzam, di dataran atas Masjid. Saat itu Mekkah tidak dihuni seorang pun, juga tidak ada air disana. Ibrahim menempatkan Hajar dan Ismail disana dengan membekali sebuah ransel berisi kurma dan geriba air.
Setelah itu Ibrahim bergegas pergi, ibu Ismail mebuntuti lalu berkata, “Hai Ibrahim! Hendak kemana kau pergi dan meninggalkan kami di lembah tanpa teman atau apa pun disini?’ Hajar mengucapkannya hingga beberapa kali, namun Ibrahim tidak jua menoleh.
Akhirnya Hajar bertanya, ‘Allah-kah yang menyuruhmu untuk melakukan hal ini?’ ‘Ya,’ jawab Ibrahim. Hajar akhirnya mengatakan, ‘Kalau begitu, Ia tidak akan menelantarkan kami.’ Hajar kemudian kembali.
Ibrahim terus pergi, kemudian setelah tiba di bukti Tsaniyah, tempat dimana Hajar dan Ismail sudah tidak melihatnya.
Ibrahim memanjatkan doa berikut dengan mengangkat kedua tangan, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.
Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Ibrahim: 38).
Hajar kemudian menyusul Isma’il dan meminum air yang diberikan Ibrahim. Setelah persediaan air habis, Hajar kehausan, seperti itu juga anaknya. Hajar kemudian menatap anaknya yang tengah berbaring. Ia akhirnya pergi karena tidak tega melihat anaknya. Ia melihat bukit paling dekat di sekitarnya adalah bukit Shafa.
Lalu Ia kemudian berdiri di puncak bukit Shafa dan melihat kesana kemari apakah ada seseorang, namun ia tidak melihat siapa pun. Ia kemudian turun dari Shafa, setelah tiba di perut lembah, ia melipat pakaian hingga sebatas lengan, kemudian berlari-lari kecil layaknya orang yang sudah keletihan.
Setelah melaui lembah tersebut, ia menghampiri bukit Marwa, lalu berdiri di puncaknya, disana ia melihat menghampiri bukit Marwa, lalu berdiri di puncaknya, disana ia melihat apakah ada seseorang, namun ia tidak melihat siapa pun. Hajar melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.
Nah kawan… Sebagai ruang keteladanan, Hajar mengajarkan kepada kita bagaimana meneladankan sikap dan tanggung jawab melakui energi kemenyatuan rasa dan kasih sayang sehingga melahirkan pribadi yang hebat.