Idul Fitri, Antara Tradisi dan Syar’i

Idul Fitri, Antara Tradisi dan Syar’i

ucapan idul fitri taqabbalallahu minna wa minkum

Suaramuslim.net – Hari Raya Idul Fitri adalah hari-hari ibadah sekaligus muamalah ma’an naas (pergaulan dengan sesama manusia). Menjadi hari rayanya seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada, dan apapun profesinya mulai dari mereka yang mendapat amanah sebagai penguasa sampai rakyat jelata, baik yang miskin maupun yang kaya. Hari rayanya seluruh lapisan sosial atau kelas eselon. Kebesaran hari raya Idulfitri melampaui batas-batas kemegahan atau kemeriahan hari-hari raya nasional dan hari-hari besar lainnya.

Hal ini benar-benar sangat terasa terlebih-lebih oleh lapisan masyarakat seperti; pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, tukang-tukang becak, para pembantu rumah tangga dan masyarakat marginal yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Makna Idul Fitri begitu sungguh terasakan oleh kaum dhuafa, fakir, miskin yang tidak mendapat kesempatan memperoleh distribusi pendapatan secara adil, kaum tertindas yang tidak mendapat kesempatan meraih hak-hak asasinya dan kaum pengangguran yang tidak mendapat kesempatan bekerja sesuai dengan keahliannya.

Bagi bangsa Indonesia, hari raya Idul Fitri sudah menjadi tradisi umat, sebagai hari berbelanja maaf. Mereka sudah terbiasa latah mengucapkan “minal aidin wal faizin mohon maaf lahir dan batin,” sambil berjabat-tangan dan berciuman.

Para istri yang dalam kesehariannya hampir tidak pernah mengucapkan kata maaf kepada suaminya, maka selepas salat, langsung sungkem. Mohon maaf setahun sekali istri kepada suami. Sebaliknya suami kepada istri, juga anak-anak kepada kedua orang tuanya, menantu kepada mertua, atasan kepada bawahannya, majikan kepada pembantunya.

Mereka sadar dan yakin bahwa “maaf” tidak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional atau toko-toko swalayan atau bahkan di hyper market yang bertebaran di kota-kota metropolitan. Maaf hanya terdapat di dalam hati seorang insan. Dan hati seorang insan, jelas tidak mungkin dapat diperjualbelikan, seperti makanan, minuman atau pakaian lebaran.

Dengan berbagai sarana media mereka berupaya untuk mengungkapkan permohonan maafnya. Yang di kota berbondong-bondong mudik ke desa tidak peduli dengan meroketnya harga tiket transportasi umum. Ada yang sekadar kirim Kartu Pos atau SMS dan bahkan ada pula yang silaturrahim melalui dunia maya Facebook, WhatsApp, Telegram, kepada sanak famili dan handai taulan yang nan jauh di sana.

Kalau untuk satu hari Idulfitri rata-rata dibelanjakan Rp250.000,00 perkapita dengan jumlah umat Islam Indonesia yang diperkirakan mudik mencapai 17 juta, berarti dana segar yang dibelanjakan oleh para pemudik 17.000.000 x Rp250.000 = 4.250.000.000.000 (empat triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah) untuk sekedar makan, minum khas, gebyar busana, biaya transport mudik dan lain sebagainya.

Belanjaan sebesar itu dengan ikhlas mereka keluarkan dari kantong tipisnya, tanpa berpikir panjang siapa sebenarnya yang berhari raya dan mengeruk keuntungan besar dari belanja umat Islam.

Memetik Makna Idul Fitri

Untuk memperoleh atau memetik makna Idul Fitri bukan sekadar makna duniawi dengan berbusana yang masih berbau toko, tapi lebih penting dari itu adalah untuk mendapatkan makna ukhrawi, yakni kembali bertauhid kepada Allah yang hampir terlupakan dalam kesehariannya.

Hari raya Idul Fitri bukanlah semata-mata sebagai hari komoditi, akan tetapi lebih dari itu merupakan hari persaudaraan dan ukhuwah. Hari untuk kembali memihak dan menegakkan keadilan, kebenaran perdamaian, persamaan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat dan umat manusia.

Untuk sampai kepada makna Idul Fitri dan hikmahnya, memang kita perlu merenung kembali. Merenung dan bertanya lalu mengambil jarak antara posisi kita yang beridulfitri dengan segala makna yang telah terlanjur menyimpang dan mentradisi.

Kita sudah terlalu zalim kepada diri sendiri ketika menyambut Idulfitri yang mulia ini dengan sekadar latah berbusana baru yang masih berbau toko, atau melakukan “open house,” atau bahkan nyekar dan menangis di kuburan orang tua, atau berduyun-duyun memenuhi berbagai tempat hiburan yang bercampur-baur laki-laki dan perempuan.

Idul Fitri menjadi tidak bermakna sama sekali bila hanya ditandai dengan reuni keluarga, atau mudik dengan kendaraan mewah, pakaian baru yang mahal, dan hidangan opor ayam, ketupat dan segala macam jenis kue kering atau basah.

Idul Fitri akan kehilangan makna bila sekadar dimeriahkan oleh pameran dada atau paha terbuka, wajah berbedak atau bibir bergincu tebal, rambut bersasak dan parfum mahal ketika hadir dalam acara halalbihalal atau reuni keluarga yang bercampur laki-perempuan dan saling berjabat tangan atau bahkan dengan berciuman, tidak peduli apakah yang dilakukan itu halal atau haram.

Kita harus mengambil jarak dan meninggalkan tradisi lebaran keindonesiaan semacam itu, karena hari Idul Fitri adalah hari ibadah dan muamalah, jangan dikotori dengan kemaksiatan dan kemusyrikan. Karena kemusyrikan hanya akan menghapuskan segala (pahala) amal. Firman Allah Ta’ala artinya:

“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, niscaya terhapuslah dari mereka (pahala) amalan yang telah mereka kerjakan.” Q.S. Al-An’am: 88.”

Idul Fitri tidak identik dengan hiburan, permainan dan penghambur-hamburan (harta), tetapi hari raya adalah hari untuk berzikir, bertakbir dan bersyukur atas segala nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kita dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya sesui dengan sunnah Rasul-Nya. Firman Allah yang artinya:

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” Q.S. Al-Baqarah: 185.

Dalam posisi yang berjarak inilah kita harus mulai mentradisikan hidup dengan berpegang kepada syariat (Islam) yang benar. Syariat Islam menempatkan Idul Fitri sebagai hari raya yang terselenggara sebagai pelengkap puasa Ramadan, yang merupakan rukun dan asas Islam keempat.

Apabila kaum muslimin telah merampungkan puasa wajibnya, maka mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah dan terbebas dari siksa api neraka, sebab puasa Ramadan mendatangkan ampunan atas dosa-dosa yang telah lalu dan pada akhirnya terbebas dari siksa api neraka. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya:

“Barangsiapa berpuasa bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah Ta’ala) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” H.R. Bukhari dan Muslim.

“Barangsiapa salat malam pada bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah Ta’ala) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” H.R. Bukhari dan Muslim.

Shaum dan Qiyam Ramadan yang dilandasi dengan iman adalah shaum dan qiyam yang ditegakkan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, tanpa dikurangi atau ditambah dengan alasan apapun, karena setiap penambahan dengan alasan apapun berarti mengurangi keimanan kita kepada Rasul.

Orang yang berpuasa Ramadan akan mendapatkan pahalanya pada hari raya Idulfitri yang merupakan hari pembagian nikmat. Sungguh tiada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, Rasulullah memberikan tauladan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya:

“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu mengikutkannya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.”

Kebahagian dan kegembiraan kaum mukminin di dunia adalah karena Rabb-nya, yaitu apabila mereka berhasil menyempurnakan ibadahnya dan memperoleh pahala amalnya dengan kepercayaan terhadap janji-Nya kepada mereka untuk mendapatkan anugerah dan ampunan-Nya. Firman Allah Ta’ala:

Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” Q.S. Yunus: 58.

Pada saat Nabi Muhammad tiba di Madinah, kaum Anshar memiliki dua hari istimewa, mereka bermain-main di dalamnya, maka Rasulullah bersabda:

“Sungguh Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu); Idulfitri dan Iduladha.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad hasan.

Hadis ini menunjukkan bahwa menampakkan rasa suka-cita di hari raya adalah sunnah dan disyariatkan. Oleh karena diperkenankan memperluas hari raya tersebut secara menyeluruh kepada segenap kerabat dengan berbagai hal yang bisa mendatangkan kesegaran badan dan melegakan jiwa, tetapi tidak menjadikannya lupa untuk taat kepada Allah SWT.

Lanjut ke Halaman 2

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment