Suaramuslim.net – “Ayah pernah bilang, pakaiannya kok panjang – panjang gitu, mbok ya yang biasa saja, kayak anak umumnya, pakai celana, kan kayak ibuk-ibuk pengajian, kayak anak remaja seperti biasanya saja, pakai kaos kaki juga, kayak kedinginan saja”.
Hijrah bagi sebagian orang merupakan perjalanan yang tidak mudah, rintangan, cobaan, cacian biasanya menjadi hal lumrah. Apalagi cacian tersebut datang dari lingkungan terdekat, tidak jarang kembali seperti sedia kala menjadi pilihan tersulit di tengah pilihan lainnya.
IZ, 22, adalah satu contoh dari sekian pemudi lainnya dalam perjalanan hijrah yang mendapat hal tidak mengenakkan dengan kata-kata sindiran dari orang terdekat, pasalnya kebiasaan baru yang dibawah dalam lingkungan keluarga menjadi penyebabnya.
Meski beragama islam dan mengenal islam sejak dini, IZ memahami islam hanya sebatas rukun islam, yang juga jarang dilaksanakan sejak dini, terutama kewajiban shalat 5 waktu.
IZ yang juga menempuh pendidikan kuliah di salah satu perguruan tinggi Surabaya, Universitas Airlangga ini mulai memperdalam ajaran agama islam semenjak semester 2, tepatnya 2015, namun saat itu masih buka tutup hijab, masih bsering nongkrong bersama teman cowok, cewek, sering nonton dan kebiasaan makan bareng bersama teman-teman cowok.
Seiring waktu berjalan, kehidupan yang sedang dijalani membawanya terhadap satu kesimpulan: resah. Masih suka resah, susah gelisah, sering mengalami sumpek dan seperti terdapat sesuatu yang hilang.
“Semester 2, sering mengalami keresahan, beberapa kali gelisah, meski sudah sering main bersama teman-teman, hal itu tidak mengurangi rasa yang sama” ujarnya.
Keresahan itu membuatnya untuk mencari kedamaian, mencari sesuatu yang hilang, hingga menemukan salah satu jalan untuk merubahnya: Organisasi Islam (rohis) di fakultasnya.
Kehidupan Kecil dan kondisi orang tua
IZ tidaklah sebahagia perempuan lain yang terdidik dalam lingkungan keluarga islami, harmonis, dan saling menjaga dalam kebaikan. Sejak SMP dan SMA, tidak berhijab menjadi sebuah kebiasaan, kalaupun berhijab hanya dilingkungan sekolah, setelah keluar hijab adalah barang simpanan dilemari.
Hal yang sama dia lakukan adalah pacaran, seperti pemudi lainya, menikmati masa pacaran, hingga gonta-ganti berkali-kali merupakan hal wajar kala itu.
IZ bukan dari keluarga islami yang setiap hari orangtuanya menasehati untuk melaksanakan syariat islam, mungkin shalat beberapa kali, setelah itu hanya hal keduniawian yang menjadi nasehat kebiasaan. Begitupun saat memulai hijrah, IZ pernah di “guyoni” oleh orangtua dan keluarga terdekatnya, dua hal yang masih diingatnya menjadi kenangan tersendiri baginya.
“Ayah pernah bilang, pakaiannya kok panjang – panjang gitu, mbok ya yang biasa saja, kayak anak umumnya, pakai celana, kan kayak ibuk-ibuk pengajian, kayak anak remaja seperti biasanya saja, pakai kaos kaki kayak kedinginan saja”, ujar Ayahnya.
Begitupun keluarga terdekatnya pernah bilang hal yang sama.
“kok pakai kaos kaki, kayak orang sakit saja, biasa saja po’o, tidak usah pakai rok, pakai celana saja” ujarnya sembari menirukan gaya bicara saudaranya
IZ yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara ini memilih diam dari “guyonan” keluarganya, karena baginya itu hanya guyonan yang orangtuanya pun tidak melarang saat pakainnya lebih syar’i.
Setelah sering dibercandai, IZ pernah goyah ditengah jalan, pernah juga memakai celana lagi, namun setelah memakai masih ada rasa malu, sungkan terhadap dirinya sendiri, setelah itu memakai pakaian syar’i lagi.
Memantabkan Diri dalam Kebaikan
Hijrah bukan sekadar mengganti pakaian yang lebih tertutup, bukan pula mengganti pembicaraan yang kasar menjadi lembut bagi perempuan, namun hijrah mempunyai makna luas: berbuat lebih baik lagi.
Semester 3 dalam perkuliaan, sholat IZ masih sering telat, bolong-bolong, dan terkadang melupakannya, ganjaran yang dirasakan, hidupnya datar dan terasa hampa dalam keseharian. Bila sholatnya rutin, ada sebuah ketenangan yang mengalir dalam hatinya.
“Saat di masjid, kok kalau sehabis sholat saya ke masjid, kok berasa hati tenang gitu, kemudian kalau saya ada masalah sering ke masjid, pasti masalah akan selesai, hati tenang” kenangnya.
Selain hal tersebut, peran dari teman-teman rohis di fakultasnya sangat berpengaruh dalam masa pencarian hijrahnya, baginya teman-teman rohis bukan hanya memberikan nasehat, nmun juga selalu mengajak dalam kebaikan.
Ceritanya bermula saat IZ mengupload foto di BBM, 2015, setelah itu di balas oleh salah satu teman rohis seangkatannya, bahwa muslimah yang baik, juga satu paket dengan hijab dikepalanya (menutup aurat).
“Teman dari rohis memberikan nasehat tidak boleh kalau tidak pakai kerudung bagi seorang perempuan, diceramahi, dipinjami buku, kemudian saya diperkenalkan dengan teman-teman rohis lainnya” terangnya.
Dari situ pula, IZ menemukan teman-teman baru dalam kebaikan, juga mempunya teman perempuan baru yang sering mengjakanya kebaikan, ikut kajian, dan sharing-sharing tentang kebaikan dan menjadi salah satu pengurus rohis di fakultasnya.
Orang yang suka kajian kemuslimahan ini, perlahan sedikit demi sedikit, IZ menemukan dunia barunya, berkumpul teman baru, berbuat baik sedikit-demi sedikit, meski tidak jarang, ketidaksempurnaan sering melingkupi dirinya, dan lingkungan baru tersebut membuatnya untuk berbuat baik lagi
Untuk menguatkan lingkaran kebaikanya, IZ sering membaca quote islami, ceramah Ustaz Hanan Attaqi, Ustaz Syafiq Basalamah sebagai penunjang kajian-kajian yang dilakukan di berbagai masjid di Surabaya.
“Setelah hijrah, setelah saya rasakan, segala urusan itu kayak saya dipermudah, kayak pengin lulus cepat itu di kabulkan.” Pungkasnya.
*Saat wawancara ini dilakukan, IZ baru selesai lulus perkuliahan, sekarang IZ kembali kekotanya untuk merintis bisnis yang didirikan bersama Ayahnya