Jelaskan Peta Konflik Suriah, Pakar Internasional UI Desak Indonesia Berperan

Jelaskan Peta Konflik Suriah, Pakar Internasional UI Desak Indonesia Berperan

Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna, Ph.D (foto: jmmi)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Konflik Suriah kembali mengemuka akibat serangan Rezim Bashar Assad dibantu Rusia ke wilayah Ghouta Timur sejak 18 Februari 2018 yang menewaskan lebih dari 620 korban jiwa.

Konflik di Suriah berawal dengan gelombang demonstrasi pada Maret 2011 yang terinspirasi gerakan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah yang disebut Musim Semi Arab. Berbeda dengan negara lain, seperti rakyat Mesir yang berhasil menggulingkan Husni Mubarok, rakyat Tunisia yang menggulingkan Zainal Abidin bin Ali atau rakyat Libya yang menggulingkan kepemimpinan Muammar Qadafi, Rezim Bashar Assad tidak berhasil digulingkan.

Menurut Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad Ph.D dalam keterangannya kepada Suaramuslim.net , Bashar Assad belajar dari jatuhnya diktator di negara-negara timur tengah lain, maka pada akhirnya ia memilih menggunakan kekerasan bersenjata untuk menghabisi gelombang demonstrasi.

Shofwan menyebut konflik di Suriah yang berawal dari konflik domestik, kemudian meluas menjadi konflik di tingkat regional di Timur Tengah lalu kini menjadi konflik kekuatan global.

“Konflik di Suriah sangat rumit karena masuknya berbagai kepentingan regional hingga global, mengingat posisinya secara geopolitik yang strategis, namun jika disederhanakan peta konflik di Suriah terjadi di skala lokal, regional hingga global” jelas Shofwan yang juga Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Di skala lokal konflik terjadi antara kubu oposisi yang cukup banyak faksinya dengan Rezim Bashar Assad, kemudian di skala regional Turki, Israel, Iran, Irak, Etnis Kurdi hingga Arab Saudi memiliki kepentingan karena dekat secara geopolitik dengan Suriah. Sementara di skala global kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat, Rusia dan China pun turut berperan agar Suriah tidak menjadi kartu bagi satu negara untuk menyerang negara lainnya.

“Suriah menjadi tempat yang akan menentukan wajah Timur Tengah, jadi sekarang banyak kelompok dan negara menjadikan Suriah sebagai medan pertarungan, sehingga tidak ada tekanan kuat dari komunitas Internasional karena kekuatan-kekuatan besar ikut berkepentingan” ungkap Shofwan.

Maka ketika kekuatan-kekuatan besar dunia internasional tidak bisa melakukan tindakan, Shofwan menilai Indonesia yang sejauh ini tidak punya kepentingan pragmatis terhadap Suriah harus segera melakukan tindakan.

“Kalau negara besar tidak bisa diharapkan, Indonesia harus bangun aliansi kemanusiaan internasional, pun jika negara tidak mampu maka tugas kita masyarakat sipil untuk bergerak menggalang protes dan bantuan kemanusiaan” pungkas Shofwan.

Reporter/Editor: Ahmad Jilul Qur’ani Farid

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment