Suaramuslim.net – Kalau ada yang lebih indah dari mutiara, maka kejujuran adalah perhiasan terindah dari segala keindahan. Ia memang susah dicari dan sukar didapatkan karena berharga. Untuk mendapatkannya perlu perjuangan dan pengorbanan. Karena sedemikian susah dan sukarnya, banyak sekali yang gagal menghadapi ujian kejujuran.
Meski demikian, perhatikan efek yang ditimbulkan dari kejujuran! Para nabi dipilih karena kejujuran. Abu Bakar menjadi sahabat yang tercinta di mata nabi, di antaranya karena kejujuran dan terdepan dalam membenarkan setiap apa saja yang dikatakan nabi. Para sahabat nabi itu mulia karena kejujuran mereka. Dari sejarah mereka, ada kenyataan yang tak terbantahkan: jujur berbuah mujur.
Dengan demikian, kejujuran merupakan salah satu kata kunci untuk menilai berharga tidaknya seseorang. Semakin jujur seseorang maka semakin besar pula peluangnya untuk menjadi orang mulia dan berkualitas tinggi.
Di samping itu kejujuran memang tak semudah yang dikatakan, meski tak mustahil dilakukan. Hanya orang-orang yang memiliki komitmen dan tekad baja yang mampu mendapat dan mempertahankan kejujuran. Nabi menegaskan bahwa kejujuran dapat memudahkan jalan seseorang menuju titian kebaikan hingga surga. Surga hanya bisa didapatkan bagi mereka yang mendapatkan tropi kejujuran dari Allah subhanahu wa ta`ala.
Untuk mendapatkan kejujuran individu, pada era digital seperti saat ini mungkin masih ada meski susah. Kini, orang jujur dianggap nyeleneh, asing dan tak wajar. Orang jujur diejek sedemikian rupa karena sama sekali bertentangan dengan berbagai kepentingan duniawi. Orang jujur dianggap merusak tatanan sosial. Kejujuran secara umum dianggap penghalang kesuksesan dan kemakmuran pribadi.
Lebih dari itu, menemukan kejujuran kolektif di zaman sekarang ini bahkan sangat-sangat susah –kalau bukan malah mustahil. Tapi ini sama sekali tidak susah jika kita mau membaca lembaran sejarah emas sahabat Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa salam. Beliau diutus di Jazirah Arab yang sangat mengindahkan kejujuran, oleh Dzat yang mengindahkan kejujuran, melaui Jibril, makhluk yang patuh dan penuh kejujuran. Sahabat yang mengitarinya digembleng dan dilatih sedemikian rupa agar senantiasa jujur dalam segala hal.
Tentu saja ada juga pengecualian-pengecualian seperti misalnya dalam konteks peperangan. Namun secara umum kejujuran benar-benar didalami secara sungguh-sungguh. Mereka sangat meneladani kejujuran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, karena itu mereka menapaktilasi jejak kejujuran beliau. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sari pati kekonsistenan dan ketaatan para sahabat terletak pada kejujuran yang mereka miliki. Mereka layak disebut pahlawan keujuran. Jujur dalam merasa, jujur dalam bersikap, jujur dalam bertindak. Kejujuran seolah bagai selimut yang melingkupi hati dan amal mereka.
Pernahkah Anda mendengar sahabat yang bernama Ka’ab bin Malik? Ia merupakan sahabat yang lulus dari ujian kejujuran ini. Kepahlawanannya bertolak dari peristiwa kejujuran yang ia pegang teguh. Ketika perang Tabuk terjadi, dia absen tidak ikut padahal ia mampu, akibat bujukan nafsu hingga menunda-nunda waktu. Perbuatan ini harus dibayar mahal berupa sanksi yang sangat-sangat berat.
Karena perbuatannya ini, dia diisolasi bicara selama 50 malam, bahkan isteri tercintanya yang halal baginya diperintah meninggalkannya ketika malam ke empat puluh. Menariknya dia tetap bisa teguh tegar memegang erat kejujuran. Ia menyadari betul sebenarnya ia mampu bersilat lidah, karena dia penyair Islam yang kondang. Tapi hati kecilnya menolak kebohongan itu. Kebohongan apapun akan nampak di mata Allah ta’ala. Kalau ia ngotot berbohong pasti akan turun wahyu yang akan membeberkan kedoknya.
Di sela-sela menjalani sanksinya, sebenarnya bukan hanya ia merasa sesak dadanya di tengah kelapangan bumi. Namun ia juga mendapat godaan lain berupa bujukan dan rayuan dari utusan penguasa Gassan untuk bergabung dengan mereka. Ia tetap teguh tegar, bahkan menyobek-nyobek surat ajakan mereka.
Pada akhirnya, Ka’ab bin Malik lulus dalam ujian kejujuran ini. Jujur pun berbuah mujur. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sampai mengatakan: “Selamat atas kebaikan di hari yang telah kamu lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”
Ka’ab gembira bukan main. Sejak saat itu pula ia berkomitmen pada Rasul: “Saya akan senantiasa memegang prinsip kejujuran selama nyawa ini masih bersemayam dalam raga.” Ia pun benar-benar membuktikan hingga akhir hayatnya.
Dirinya berangkat dari kejujuran hingga mati dalam kejujuran. Inilah kunci dari kepahlawanan Ka’ab bin Malik. Ia mampu mengolah dan mengelola hatinya untuk senantiasa jujur dalam berbuat dan bertutur. Cermin hatinya selalu memantulkan kejujuran. Kejujuran mengantarkan takdir kepahlawanannya menuju ridha Dzat Yang Menyukai Kejujuran hamba.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono