Kalah Bahu Salah

Kalah Bahu Salah

Oleh: Yusuf Maulana (Penubir Bola Sepak)

Di posisi mana engkau berada, Kawan? Apakah sedih mendera karena si bangau tewas dari ambisi puasa juara di tingkat Eropa? Atau malah bungah tanpa kepalang karena rekor baru mantan kota mulia di masa Andalusia, Madrista, diciptakan di jelang paruh kedua Ramadhan?

Izinkan saya hanya fokus pada kegempitaan para sobat di kubu bangau, yang berujung antiklimaks.

Lekas euforia karena kesamaan identitas, percaya pada kekuatan doa yang (seakan) makbul,
diiringi pula produktivitas menyarangkan gol di arena, meyakinkan kita pada bahu Mohamed dari Mesir.

Ternyata belumlah cukup kalau fokus kita hanya pada kekuatan diri dan imajinasi kemenangan yang sepertinya ada pada diri kita, yang kononnya dipayungi ridha Ilahi. Mengapa? Kita berbangga pada kalkulasi kebesaran diri. Imbasnya, rentan teralihkan dari para perusak, bisa dari lawan atau malah kadang kawan sendiri. Kita tak menempatkan itu hanya karena jumlah kans kemenangan besar di kita. Serupa medan Hunain tatkala statistik kemenangan dan jumlah pasukan unggul di pihak kita.

Tapi Kiev, tanah yang oleh Manshur Abdul Hakim (peneliti soal akhir zaman asal Mesir), dinisbatkan sebagai “Romawi yang bakal ditaklukkan Muslimin kelak sebagaimana nubuwat Rasululah”, membuktikan kekuatan kasatmata dan optimisme belaka kadang berisiko.

Mohamed dari Mesir harus melenggang dari lapangan hijau hanya karena bahunya diciderai pengganas serupa Ximenez de Cisneros. Aklamasi pertarungan fair play hanya manis di kepala, bila tindakan di lapangan bak matador tanpa adab. Semua demi kemenangan, sebagaimana Ximenez tafsirkan titah sang junjungan, Ferdinand dari Aragon.

Mohamed dari Mesir lupa untuk berlaku ugahari, dan ini boleh jadi sudah dilakukannya. Hanya, kita selaku penonton bergaduh sangat hingga seorang Sergio Ramos berlaku culas, mengerti apa yang bisa diperbuat serupa moyangnya mematikan keberanian Muhammad XI yang bergelar al-Zaghall alias pemberani. Benar saja, tiadanya al-Zaghal, kekuasaan diserahkan pada saudaranya Muhammad XII (Boabdil, dalam lafal lokal) yang kurang perhitungan. Penetrasi dan determinasinya berujung jatuhnya Granada 1492.

Skor 1-3 memang tak sekejam terusirnya Muslimin dari bumi Andalusia terakhir. Atau kandasnya impian merengkuh trofi tak seperih pembantaian nyawa Muslimin akibat siasat kotor lawan dan lengahnya penguasa umat.

Pelajaran 1-3 tak semuanya meninggalkan luka. Ada pengharapan, sebagaimana jadi “ciri” umat ini yang ketika terempas dari pertarungan selalu ada argumentasi untuk optimis esok hari. Bahu Mohamed dari Mesir yang dirusak lawan bisa jadi “kebaikan” agar ia tidak larut dalam sanjungan. Berikutnya, kalaulah ia tidak keluar dari arena pertandingan, bisa saja ia tak tampil prima.

Ketimbang salahkan ia yang berani berpuasa tapi bermain tidak optimal, duduknya ia di bangku penonton boleh jadi “hadiah” bagi kita. Tentang merawat imajinasi dan impian. Kalau ia main prima dan timnya kalah, siapa jamin tidak ada sebutan “menyakitkan” pada ia dan timnya? Bukanlah kekalahan minus hadirnya ia malah sebuah anugerah? Ya, bahwa esok memang bisa lebih baik dengan hadirnya ia. Ia yang lebih mawas pada perusak dari dalam dan luar.

Itulah pelajaran bagi pengagum Mohamed dari Mesir: Salah. Agar Ramadhan kembali ke sajadah dan menatap makna kemenangan disebalik kekalahan. Bahwa ada harapan bila Salah, pahlawan sanjungan belakangan di hati kita, terawat dalam kemawasan dan keprimaan.

Ikhlaskanlah kawan, hari ini Salah kalah hanya karena seutas bahu tersakiti. Jangan biarkan jiwanya rusak pada pertandingan esok; karena jiwa yang rusak lebih berlipat kekalahan di depan mata hilirnya.[]

 

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment