Kampus Merdeka dan Inovasi Pendidikan

Kampus Merdeka dan Inovasi Pendidikan

Ilustrasi ruang perkuliahan. Foto: Pixabay.com

Suaramuslim.net – Mendikbud meluncurkan empat kebijakan Merdeka Belajar : Kampus Merdeka. Dalam siaran pers yang tertuang dalam surat nomor: 008/Sipres/A6/I/2020 itu Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa “Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar. Nadiem Makarim menegaskan bahwa pelaksanaannya segera dilangsungkan, hanya mengubah Peraturan Menteri, tidak sampai mengubah Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang. Empat kebijakan itu adalah adanya otonomi bagi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.”

Kedua, program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Keempat, memberi hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Gagasan kampus merdeka diharapkan bisa mendatangkan inovasi pendidikan, sehingga keluar dari belenggu rutinitas yang menekan dan menjemukan. Namun risiko tidak yang ditanggung tidak sedikit, di antaranya muncul perlawanan dari pihak-pihak yang selama ini mengalami kemapanan dan sulitnya merumuskan konsep dan aplikasi dari kampus merdeka ini.

Kampus Merdeka dan Pemberdayaan SDM

Apa yang disampaikan Mendikbud bisa jadi mengejutkan dunia kampus. Kebijakan pertama yang memberi otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) guna melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru merupakan satu terobosan baru. Dikatakan baru karena selama ini keleluasaan pembukaan prodi baru demikian sulit. Entah karena sudah terlalu banyak prodi yang sama maupun alasan akademik yang lain. Dasar pemikiran kebijakan baru ini didasarkan pada penilaian pasar.

Silakan buka prodi apa saja nanti masyarakat (pasar) yang akan menilai. Bila tak berkualitas, maka akan tutup dengan sendirinya karena sedikit peminat. Konsep tinggi rendahnya minat pasar sangat bergantung pada sejauh mana PT bisa menyajikan kurikulum yang baik, adanya praktik kerja atau magang, serta penempatan kerja bagi para lulusan. Di sinilah pentingnya kerjasama PT dan mitra prodi serta pihak-pihak yang menampung lulusannya.

Kebijakan kampus merdeka yang cukup mengagetkan yakni program re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat. Re-akreditasi ini bersifat sukarela, sehingga bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap saja yang akan mengajukan akreditasi. Kalau selama ini akreditasi ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan berlaku selama lima tahun, maka nanti akan ada perubahan. Kalau selama ini pengajuan re-akreditasi PT dan prodi dibatasi paling cepat dua tahun, maka saat ini PT yang berakreditasi B dan C bisa mengajukan peningkatan akreditasi kapanpun. Evaluasi akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas. Penurunan kualitas itu didasarkan oleh adanya pengaduan masyarakat dengan disertai bukti yang konkrit, serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar.

Adapun kebijakan Kampus Merdeka yang terkait kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH) juga menjadi tantangan. Meskipun Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi, namun realisasinya masih belum seperti yang dibayangkan. Bagi PT yang tinggi peminat, maka persoalan biaya yang tinggi tidak menjadi persoalan. Sementara bagi PT yang sedikit peminat, maka akan kesulitan mendapatkan kemandirian karena sedikitya dana yang bisa dikelola.

Sementara itu, kebijakan Kampus Merdeka yang keempat akan memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela ketika akan mengambil SKS di luar kampusnya. Adapun jumlahnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Ditambah, mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh.  Gagasan ini didasarkan oleh adanya realitas bahwa kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru. Terlebih di banyak kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa. 

Dengan demikian, terdapat perubahan pengertian mengenai SKS. Setiap SKS diartikan sebagai ‘jam kegiatan’, bukan lagi ‘jam belajar’. Kegiatan di sini berarti belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil. Setiap kegiatan yang dipilih mahasiswa harus dibimbing oleh seorang dosen yang ditentukan kampusnya.

Gagasan Mendikbud dengan paket kebijakan ‘Kampus Merdeka’ ini memang bisa menjadi langkah awal untuk melepaskan belenggu agar output PT lebih mudah bergerak. Tujuan dicanangkannya Kampus Merdeka bertujuan untuk mempercepat inovasi di bidang Pendidikan tinggi. Empat kebijakan berupa, otonomi untuk membuka prodi baru, re-akreditasi otomatis dan sukarela, mempermudah kampus menjadi PTN-BH, dan kebebasan untuk mahasiswa belajar lintas prodi, bisa jadi menjadi harapan baru tetapi di sisi lain akan menimbulkan goncangan-goncangan baru karena masih belum tergambar dengan jelas langkah-langkah empiriknya. Maka di sinilah dibutuhkan terobosan-terobosan baru dari pimpinan PT sehingga bisa keluar dari belenggu birokrasi.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment