Judul Buku : Karni Ilyas Lahir untuk Berita
Penulis : Fenty Effendy
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2012
Tebal : xx + 396 hlm
Suaramuslim.net – “Saya bukan anak siapa-siapa. Umur 7 tahun ibu saya meninggal, abis itu saya jadi anak jalanan di kota Padang. Apapun pernah saya lakukan, apapun pernah saya jual untuk menyambung hidup dan pendidikan, akan tetapi ada mimpi yang saya canangkan dari kecil. Mimpi ingin jadi wartawan. Kenapa ingin jadi wartawan? Karena saya ingin terkenal, saya bukan ingin kaya tapi ingin terkenal. Ternyata itu doa, sekarang saya justru capek sekali karena semua orang kenal saya. Mau makan di mana saja dikenal orang. Mereka mau berfoto dengan saya. Bayangkan kalau hati saya sedang capek atau sedang susah, sedang mumet kepala, kita harus tetap tertawa. Tetapi saya tetap bersyukur, karena itu pesan saya kepada adik-adik di sini, mulailah bermimpi, syaratnya harus kerja keras, kerja keras dan kerja keras.”
Kutipan di atas adalah penutup dari buku “40 Tahun Jadi Wartawan: Karni Ilyas Lahir untuk Berita” yang ditulis Fenty Effendy.
40 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menekuni profesi wartawan seperti yang dilakukan Karni, bahkan 20 tahun di antaranya adalah sebagai pimpinan redaksi. Pria yang lahir di kampung Balingka di kaki Gunung Singgalang Sumatera Barat tahun 1952 ini nama asalnya adalah Sukarni.
Buku ini memotret perjalanan Karni dari paling awal mencari uang dengan mengumpulkan debu emas dari trotoar di depan toko emas di Padang, menjadi loper koran, reporter, sampai seperti saat ini. Menyusuri 396 halaman buku ini, seperti paket komplet dari perjalanan karir Karni, termasuk bagaimana dia bisa selamat meniti buih di jaman Orde Baru dan intervensi media.
Karni menyebut, intervensi bisa macam-macam, dari pemerintah, pemilik, temannya pemilik, teman sendiri bahkan dari lingkungan tempat tinggal sebagai wartawan.
Apa enggak intervensi itu namanya kalau ketua RT minta agar kegiatan di lingkungannya diliput padahal enggak layak jadi berita? Kesimpulannya, di mana pun Anda, intervensi itu ada. Sekarang adalah bagaimana seorang jurnalis melakukan tawar menawar untuk itu. Jangan bermimpi media itu bisa steril dari intervensi.
Bicara tentang kerja keras, di halaman 346 penulis menuturkan pengakuan Karni. “Effort itu bagi saya bukan dua tiga kali lipat, tapi lebih dari itu. Saya membuang tenaga, membuang pikiran, membuang waktu, itu lebih dari wartawan lain. Waktu tangan patah di Wonosobo (penggrebekan Nordin M. Top), kalau mau pulang, saya bisa. Saya pemred. Saya direktur. Saya mau lapor siapa lagi? Nggak ada yang memerintah saya, nggak ada pula yang menyuruh saya, nggak ada bonus gara-gara keberhasilan itu. Akhirnya saya mendapat jawaban bahwa semua itu panggilan profesi saya sebagai pemburu berita dan dedikasi kepada profesi”.
Karni Ilyas, penerima kartu pers nomor satu, Number One Press Card dari Persatuan Wartawan Indonesia tahun 2010 dan Lifetime Achievement Award dari Panasonic Gobel Award tahun 2012, pada akhirnya tetap konsisten dengan cita-citanya, menjadi wartawan.
Ditawari menjadi Jaksa Agung, ia menolak. Diusulkan sebagai salah satu menteri, ia tak tertarik. Tak sedikit yang memintanya maju sebagai gubernur, bahkan agar ikut pemilihan presiden, karena popularitas ada di tangannya. Pun, tawaran menduduki kursi direktur utama perusahaan pernah diterimanya, namun bagi Karni, memimpin divisi pemberitaan sudah cukup. Ia tetap bekerja hingga larut malam. Berteman dengan beragam kalangan. Mendengarkan informasi dari berbagai pihak dan mewawancarai siapa saja, dari golongan mana pun, karena menurutnya, itulah pekerjaan seorang wartawan.
Pelajaran dari Buku Ini
Pepatah Arab mengatakan, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh dia akan mendapatkan apa yang diinginkan. Karni Ilyas menunjukkan konsistensi dan sungguh-sungguh yang luar biasa dalam menggapai dan mempertahankan apa yang menjadi profesinya, termasuk kegigihan dalam mencari berita eksklusif. “Kalian jangan kayak menunggu tahi hanyut,” ucapan yang sering ia lontarkan kalau staf redaksi membuat berita seadanya.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan wartawan junior tentu belum apa-apa dibandingkan apa yang sudah didedikasikan Karni. Ketika wartawan baru banyak yang mengeluh dengan jam kerja dan posisi liputan yang tidak enak, Karni malah pernah mengalami lebih buruk dari itu. Namun tentu ada hal yang harusnya menjadi motivasi lebih besar dari seorang muslim dibanding jargon kerja keras, kerja keras, kerja kerasnya Karni.
Seorang jurnalis muslim selain berdedikasi untuk pemberitaan, keadilan dan kemanusiaan, mereka harus sadar bahwa yang dilakukan adalah bagian dari perjuangan seorang hamba meniti jalan menuju Sang Pencipta. Menjadi jurnalis muslim adalah bentuk jihad melalui ketikan jari jemari di keyboard komputer, laptop, layar smartphone dan suara di depan mikrofon. Semua ini memerlukan bukan hanya niat kuat, tapi pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan lingkungan yang kondusif untuk senantiasa mengingatkan pada tujuan awal.
Peresensi: Muhammad Nashir
Editor: Oki Aryono