Keganasan manusia

Keganasan manusia

Belajar dari Kaum Nabi yang Durhaka
Ilustrasi bencana alam (Ils: Alexandre B/Dribbble)

Suaramuslim.net – Ketika manusia berbuat zalim, akal sehatnya tersisih, sehingga tersebar kerusakan di muka bumi ini. Melihat hal itu Allah tidak serta merta menurunkan azabnya. Dengan penuh kasih sayang, Allah mengutus para nabi dan rasul untuk mengajak kembali ke jalan yang benar dan lurus.

Ketika utusan datang, manusia justru melakukan persekongkolan untuk menentang dan kalau perlu membunuh sang utusan. Allah mengajak kaum muslimin untuk merenungkan hal itu dan memerintahkan untuk mengambil hikmah dan pelajaran atas kesudahan umat yang mendapatkan musibah karena menentang perintah Allah dan rasul-Nya.

Penjagaan Allah

Allah menciptakan manusia dengan menyediakan berbagai fasilitas duniawinya agar menjalani hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Untuk mengarahkan hal itu, Allah mengutus seorang rasul istiqamah di jalan yang benar. Namun kebanyakan manusia justru menciptakan kerusakan di muka bumi ini.

Melihat kezaliman yang dilakukan manusia sehingga terlihat kerusakan berbagai tatanan yang baik. Manusia melakukan kemaksiatan sehingga tersebar kejahatan seperti penyembahan berhala, pergaulan bebas dan perzinahan, pembunuhan, penganiayaan, korupsi. Namun Allah masih menjaga dan menahan amarah-Nya. Sehingga tidak hancur rusak bumi ini.

وَلَوْ يُـؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّا سَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَآ بَّةٍ وَّلٰـكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ فَاِ ذَا جَآءَ اَجَلُهُمْ فَاِ نَّ اللّٰهَ كَا نَ بِعِبَا دِهٖ بَصِيْرًا

“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)Nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fatir: 45).

Allah tidak serta merta menghukum manusia atas tindak kejahatannya, namun masih memberi kasih sayang dengan memberi peringatan melalui utusan-Nya. Allah mengisahkan adanya satu komunitas yang melakukan kezaliman, sehingga tiga rasul secara bergelombang. Utusan itu didatangkan satu persatu untuk saling menguatkan. Hal itu diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:

اِذْ اَرْسَلْنَاۤ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَا لِثٍ فَقَا لُـوْۤا اِنَّاۤ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ

“(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.” (Q.S. Yasin: 14).

Bentuk kasih sayang Allah kepada komunitas itu, dengan mendatangkan utusan dengan penuh kesabaran. Alih-alih taat dan kembali ke jalan yang benar, masyarakat itu justru mendustakannya. Utusan itu dipandang sebagai manusia biasa seperti mereka yang mungkin salah dan mungkin benar, sehingga tidak harus patuh kepadanya. Kecintaan Allah pada mereka denga mengutus para rasul justru dibalas dengan pendustaan dan pelecehan.

قَا لُوْا مَاۤ اَنْـتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُـنَا  ۙ وَمَاۤ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍ ۙ اِنْ اَنْـتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ

“Mereka (penduduk negeri) menjawab, “Kamu ini hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu hanyalah pendusta belaka.” (Q.S. Yasin: 15).

Tidak menempatkan dan memuliakan utusan Allah secara tepat itulah bentuk rendahnya akhlak mereka terhadap utusan yang dikirim Allah secara khusus. Sebagai Maha Pencipta dan Pemelihara menginginkan manusia terjaga kehormatannya, kebanyakan manusia justru menistakan rasul-rasul itu, sehingga Allah bertindak langsung dengan menghinakan mereka.

Hikmah atas musibah  

Allah mengajak manusia untuk menjaga tatanan dengan mematuhi aturan bersama. Manusia dianugerahi akal dan hawa nafsu untuk mengendalikan tatanan dan menjaganya. Namun manusia pada umumnya tak mampu memanfaatkan akal sehatnya, dan justru dikendalikan oleh hawa nafsunya. Di sinilah awal terjadi penyimpangan, sehingga berujung hancurnya tatanan yang baik.

Diperintahkan untuk menikah justru melakukan perzinahan. Disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan menyembah-Nya justru mengagungkan berhala. Diperintahkan hidup berumah tangga dengan lawan jenis, justru memilih sesama jenis. Dianjurkan untuk berdagang dengan jujur justru mencuri timbangan. Disugesti untuk memilih pemimpin sesama muslim justru memilih pemimpin kafir. Diperintahkan untuk berkasih sayang pada sesama makhluk tetapi justru garang dan ganas pada manusia.

Bahkan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, manusia justru melakukan tindakan yang mendatangkan azab secara cepat. Perilaku zalim pemimpin yang meluas, di mana hidup mewah dan glamor mewabah di lingkungan pejabat negara, sementara rakyatnya harus menanggung beban tanpa arahan meraka. Kesusahan dan kesengsaraan rakyat merata di mana-mana sementara eksploitasi alam dinikmati oleh segelintir orang.

Realitas inilah yang membuat musibah dan bencana datang secara bergelombang. Bencana seperti gempa, tanah longsor, angin puting beliung yang merusak bangunan dan fasilitas umum, tidak lain karena hukuman atas tersebarnya kezaliman.

Alih-alih menyadari kezaliman yang mereka lakukan, mereka justru menganggap bahwa musibah dan bencana itu sebagai gejala alam yang datang sesuai dengan musim. Mereka tak mengaitkan dengan perbuatan mereka yang lekat dengan kezaliman. Allah memerintahkan manusia untuk berjalan di muka bumi dan memerintahkan untuk merenungkannya. Hal ini sebagaimana narasi Al-Qur’an berikut:

اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَ رْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَا نَ عَا قِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَكَا نُوْۤا اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَمَا كَا نَ اللّٰهُ لِيُعْجِزَهٗ مِنْ شَيْءٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَ رْضِ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا

“Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul), padahal orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (Q.S. Fatir: 44)

Surabaya, 27 Desember 2022

Dr. Slamet Muliono R.
Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment