Stigma buruk dan marginalisasi umat Islam

Stigma buruk dan marginalisasi umat Islam

Suaramuslim.net – Stigma buruk dan marginalisasi pada umat Islam belum ada tanda-tanda terhenti hingga akhir tahun 2022. Islam dianggap sebagai ancaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena ketakutan terhadap isu khilafah. Islam juga dipandang sebagai sumber ajaran dan akar terorisme, radikalisme, dan intoleran.

Marginalisasi politik dan ekonomi pun juga terjadi secara massif. Secara politik, kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas dicurigai sebagai kelompok yang membahayakan tatanan kehidupan bernegara sehingga harus disingkirkan.

Secara ekonomi, sebagai kaum mayoritas terus mengalami penyingkiran. Hal itu disebabkan para pelaku dan pengambil kebijakan ekonomi dikuasai oleh kaum minoritas, sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir menjadi ancaman bagi umat Islam.

Tersebarnya Islamphobia

Umat Islam Indonesia mengalami tekanan besar. Dituding sebagai sumber yang mengacaukan ideologi negara, sehingga terus mengalami stigma dan marginalisasi. Kelompok Islamphobia (pembenci Islam) terus menebarkan stigma buruk bahwa umat Islam sedang berjuang menegakkan khilafah sehingga menjadi ancaman bagi Pancasila. Oleh karenanya, sebelum tumbuh besar, gerakan khilafah ini harus dilibas sejak dini.

Berbagai peristiwa buruk senantiasa dialamatkan pada Islam. Kasus pengeboman dan tindakan kekerasan, serta intoleransi selalu dikaitkan dengan Islam. Sementara pembunuhan tentara dan polisi yang dilakukan oleh kelompok bersenjata di Papua tidak pernah disebut sebagai gerakan terorisme dan ancaman bagi negara. Bahkan mereka mendeklarasikan kemerdekaannya namun negara tidak pernah menganggapnya sebagai ancaman serius.

Narasi-narasi buruk tentang Islam justru beredar. Misalnya berbagai protes umat Islam terhadap kebijakan negara yang memenjarakan tokoh dan ulama Islam, dipandang sebagai menentang kebijakan negara. Islam juga dituduh sebagai agama intoleran karena melarang mengucapkan selamat natal bagi pemeluknya. Termasuk melarang kelompok LGBT yang ingin mengekspresikan kebebasan seksualnya.

Muara dari semua itu, karena orang kafir memandang Islam sebagai agama sumber kekacauan. Mereka pada akhirnya memandang kaum muslimin sebagai manusia yang rendah dan hina. Padahal di balik itu, mereka tergiur oleh kekayaan alam Indonesia, dan tidak ingin umat Islam menikmatinya. Untuk memberikan ilustrasi watak dasar orang kafir, Allah menggambarkan secara detail tentang mereka, sebagaimana firman-Nya:

زُيِّنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۘ وَا لَّذِيْنَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَا للّٰهُ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَآءُ بِغَيْرِ حِسَا بٍ

“Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka menghina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari Kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (Q.S. Al-Baqarah: 212).

Orientasi dan fokus mereka adalah untuk menguasai negara mayoritas muslim ini. Orang-orang kafir bersinergi untuk menyisihkan potensi umat Islam dengan memanfaatkan orang-orang yang bisa diajak bersinergi untuk menumpulkan peran umat Islam. Bukannya memberantas korupsi dan menuntaskan pelaku serta penyebar narkoba, tetapi justru sibuk menyingkirkan umat Islam dengan memproduksi rancangan UU yang menguntungkan mereka.

Menggencarkan moderasi beragama untuk mendapatkan pengakuan publik bahwa terjadi ancaman terhadap ideologi negara. Menggelorakan kebebasan beragama seolah-olah terjadi pemaksaan untuk memeluk satu agama. Bahkan hancurnya kekuatan ekonomi dengan menumpuknya utang tidak menjadi bahan renungan untuk melahirkan kebijakan supaya bebas dari jeratan utang.

Menghilangkan politik identitas

Agenda besar untuk memarginalisasi umat Islam adalah dengan melarang menggunakan agama sebagai identitas politik. Umat Islam dilarang menggunakan atribut atau simbol agama dalam berkampanye. Mereka berharap dalam berpolitik harus steril dari identitas agama. Tidak menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dalam menentukan pilihan politik.

Dalam memilih presiden misalnya tidak diperkenankan mensyaratkan agama. Menurut mereka, memilih presiden harus didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas serta prestasi yang pernah ditorehkan. Namun dalam kenyataan, merekalah yang pertama melanggar, orang non-Islam pun memakai simbol agama, seperti jilbab atau serban, mengucapkan salam.

Dalam kenyataan empirik prestasi yang ditorehkan oleh pemerintahan bukan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan kepolisian bukan bersinergi untuk menegakkan keadilan tetapi dimanfaatkan untuk menjerat lawan politik yang mengkritik pemerintah.

Kekuatan partai politik yang ada di DPR dan MPR bukan memperkuat aparatur pemerintahan untuk menegakkan keadilan dan terwujudkan kesejahteraan sosial, tetapi eksistensi justru menjadi pembenar atas tindakan presiden.

Bahkan keberadaan DPR bukan sebagai wakil rakyat yang berjuang untuk kepentingan rakyat, tetapi menjadi stempel rezim yang menindas konstituennya. Naiknya harga barang, utang negara yang melangit tidak bisa dikontrol. Lahirnya Undang-Undang yang banyak diprotes masyarakat mencerminkan rendahnya kinerja DPR dalam memperjuangan aspirasi rakyat.

Lahirnya berbagai kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan aspirasi rakyat, justru mendapat dukungan dari DPR, sehingga lahirlah pasal-pasal yang bertentangan dengan UU. Keinginan memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode tidak lepas dari rendahnya kinerja wakil rakyat.

Hal ini bisa dilihat dari ketidaksetujuan rakyat yang secara massif menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Alih-alih merespons aspirasi rakyatnya, sebagian besar DPR justru bersekongkol untuk membenarkan keinginan rezim.

Warga masyarakat telah mencatat dan merekam bahwa para elite politik telah diperalat oleh kekuatan asing dan aseng untuk menguasai Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, mereka memarginalisasi yang beridentitas Islam. Rancangan benar-benar tersusun rapi, sistematis, dan terstruktur. Namun rencana busuk yang melahirkan kezaliman pada umat Islam itu, Allah tidak lengah dan akan membalasnya sesuai dengan niat jahatnya. Allah merekam hal itu sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَا فِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَ بْصَا رُ

“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,” (Q.S. Ibrahim: 42).

Desain besar yang dilakukan oleh elite politik tidak lain untuk menguasai negeri ini dan melakukan apa saja untuk mengeruk keuntungan ekonomi dan politik. Sebagian besar umat Islam menyadari hal ini sehingga melakukan perlawanan.

Rezim ini menyadari betul bahwa menguasai negara ini tidak mungkin berhasil kecuali dimulai dari menyingkirkan umat Islam yang beridentitas Islam, bukan mereka yang memperalat Islam untuk mencari keuntungan dan kekayaan.

Surabaya 31 Desember 2022

Dr. Slamet Muliono R.
Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment