Kegembiraan Semu dan Pujian Palsu

Kegembiraan Semu dan Pujian Palsu

Kegembiraan Semu dan Pujian Palsu

Suaramuslim.net – Kegembiraan dan pujian memang bagian yang tidak bisa dilepaskan dari karakter manusia. Namun apa jadinya jika kegembiraan yang timbul tidak pada tempatnya, dan suka dipuji padahal tidak berbuat apa-apa? Kajian tafsir berikut, akan mencoba menjawabnya dengan fokus bahasan Surah Ali Imran, ayat 188.

Allah ta’ala berfirman:

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا

Janganlah sekali-kali kamu menyangka,” wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang beriman, “bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan,” berupa perkataan dan perbuatan buruk serta batil. Orang bertipe semacam ini bangga, gembira dengan perbuatan buruk yang dilakukan. Yang menjadi pertanyaan, apa semua kegembiraan itu dilarang?

Syekh Sya’rawi dalam tafsirnya (III/1936), menyebutkan dua macam kegembiraan. Pertama, gembira dengan pekerjaan yang menentang kebenaran, sebagaimana orang munafik. Kegembiraan ini jelas tercela. Kedua,  gembira dengan pekerjaan yang menyokong dan membela dakwah kebenaran. Kegembiraan ini disyariatkan. Jadi, kegembiraan ada yang terpuji dan tercela.

Tak hanya itu, di samping kegembiraan yang batil, mereka juga melakukan perbuatan lain yang tercela:

وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا

Dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan,” maksudnya adalah dengan kebaikan yang tak dikerjakan dan kebenaran yang tidak diucapkan. Dengan demikian mereka telah menggabungkan perbuatan dan perkataan jahat.

Merujuk pada sebab turunnya ayat ini, ada dua tipe yang digambarkan pada ayat ini.
Pertama, orang Ahlul Kitab yang suka menyembunyikan kebenaran (kemudian gembira dengan perbuatannya) dan suka dipuji dengan kebaikan yang tidak dikerjakan.

Kedua, orang munafik yang suka membuat-buat alasan untuk menyelamatkan diri agar tak berperang (mereka gembira dengan itu), serta suka dipuji dengan perbuatan baik yang tak pernah dilakukan.

Meski ayat ini ditujukan kepada mereka, tapi pelajaran dari ayat ini adalah untuk semua kalangan yang memiliki sifat seperti mereka harus waspada. Dalam kaidah Ilmu Tafsir disebutkan: “Yang teranggap adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.” (Manna’ al-Qaththan, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur`ân, 82).

Terkait penggalan ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir (II/181) juga menafsirkan, ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang suka pamer dan merasa banyak memberi padahal tidak banyak memberi. Ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:

مَنِ ادَّعَى دَعْوى كَاذِبَةً لِيتَكَثَّر بِهَا لَمْ يَزِدْه اللَّهُ إِلَّا قِلَّة

Barang siapa mengaku pengakuan dusta untuk memperoleh banyak penilaian lebih yang tidak ada pada dirinya, maka Allah tidak menambah baginya kecuali kekurangan.”

Orang yang memiliki ciri demikian, baik itu orang yahudi, munafik atau orang yang melakukan perbuatan seperti mereka, maka perlu mencamkan baik-baik:

فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ

janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa,” yakni selamat dari siksaan. Mereka pasti mendapatkan siksa dan tempat kembali mereka adalah di sana. Karenanya Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

dan bagi mereka siksa yang pedih,”

Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi menafsirkan ayat ini sebagai berikut: Allah subhanahu wata’ala berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jangan mengira wahai Rasulullah, orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka perbuat baik kejahatan maupun kerusakan dengan merubah kalam Allah dan mengganti perintah-perintah-Nya, mengubah syari’at-syari’at-Nya, dan suka dipuji manusia terhadap kebaikan dan perbaikan yang tak mereka kerjakan, karena sebenarnya yang dilakukan mereka adalah kejahatan dan kerusakan (sebagaimana) dari kalangan orang Yahudi. Jangan menganggap mereka akan selamat dari siksaan, dan mereka akan mendapat azab yang pedih pada hari kiamat.” (Aisar Tafasir, I/423).

Dengan demikian, sebagai penutup tafsir ini, sebagai muslim, seyogianya tidak melakukan apa yang mereka lakukan: larut dalam kegembiraan semu dan tenggelam pada cinta  pujian yang sejatinya palsu. Wallâhu a’lam Bishawab.

Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment