Kehujjahan hadits dhaif

Kehujjahan hadits dhaif

Kisah Hidup Abu Hurairah, Sang Perawi Hadits Terbanyak

Suaramuslim.net – Menarik banget diskusi hujiyah hadits dhaif. Pada mulanya ulama hanya membagi hadits menjadi dua, maqbul atau ma’mul dan mardud atau ghair ma’mul. Kemudian yang maqbul (ma’mul) dibedakan menjadi kuat dan dhaif (lemah).

Pemahaman hadits dhaif sebelum periode Tirmidzi (279H) masuk kategori hadits maqbul, seperti Malik (179H), Syafi’i (204H), Ahmad (240H), Bukhari (256), Muslim (261), Abu Dawud (275).

Seperti ucapan Ahmad (240H) “Hadits dhaif bagi saya lebih baik dari fatwa ulama.” Tentunya terminologi “hadits dhaif” dalam pernyataan ini masuk kategori hadits maqbul, yang pada periode Tirmidzi lazim dikenal dengan “hadits hasan.”

Berbeda dengan istilah “hadits dhaif” pasca Tirmidzi (279H), hadits dhaif merupakan lawan dari “hadits shahih” yang jenisnya bermacam-macam. Ulama hadits menilainya berdasarkan pada kualitas sanad, walaupun pada periode Ibnu Qayim al-Jauziyah (751H) menawarkan studi validitas teksnya juga sebagaimana berbagai teori yang ia paparkan dalam bukunya al-Manar al-Munif fi Shahih wa Dhaif.

Mengacu kepada studi sanad, perawi dibidik dua aspek. Yaitu kredibilitas, dan dhabt (kecermatan). Jika dhaifnya hadits lantaran cacat pada aspek kredibilitas maka sepakat tidak dapat dijadikan hujah.

Namun jika cacat pada aspek dhabt (kecermatan baik dhabt shadran maupun dhabt kitabatan), maka ada toleran berhujah dalam masalah targhib/tarhib dan fadhail a’mal. Itupun tidak secara mutlak, melainkan dengan persyaratan yang sangat ketat. Yaitu, dhaifnya tidak keterlaluan, tidak meyakini sebagai syariat Nabi.

Contoh-contoh hadits dhaif yang dapat dijadikan hujah dapat dicermati dalam karya al-Mundziri (565H) dalam bukunya al-Targhib wa al-Tarhib, rata-rata nilai jarh kedhaifan perawi pada batas thabaqat kedua versi Ibnu Hajar al-Asqalani (852H), bukan versi Syamsuddin al-Dzahabi (748H). Itulah yang dimaksudkan “dhaifnya tidak keterlaluan.” Maka menggeneralisasikan kehujahan hadits dhaif perlu ditinjau kembali.

Jika meneliti lebih lanjut sesungguhnya hadits-hadits dhaif yang dijadikan hujah oleh para kodifikator referensi tipologi fadhail a’mal dan targhib, selalu memiliki payung hadits shahih, ambil contoh Bukhari (256H) dalam al-Adab al-Mufrad, hadits-hadits yang diverifikasi Albani dhaif, ternyata ada payung hadits shahih sebelum atau sesudahnya.

Zainuddin MZ
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment