Kemuliaan dan Keagungan Karakter Utusan Allah

Kemuliaan dan Keagungan Karakter Utusan Allah

Kemuliaan dan Keagungan Karakter Utusan Allah
Ilustrasi sinar matahari saat senja.

Suaramuslim.net – Seolah menjadi sunnatullah bahwa utusan Allah memiliki sifat dan karakter mulia. Karakter mulia merupakan modal utama untuk dipercaya ketika menyampaikan ajaran yang telah diembankan kepadanya. Karakter mulia itu di antaranya jujur, amanah, penyantun, pemberani, serta memiliki kepekaan dan kecerdasan sosial. Karakter mulia yang demikian kuat dan kokoh pada diri nabi dan rasul itu sangat dikenal oleh masyarakatnya.

Kalau Nabi Shalih dikenal sebagai pribadi yang mengagumkan, dan Nabi Syu’aib dikenal penyantun dan cerdas. Sementara Nabi Luth dikenal sebagai utusan yang pandai dan berwibawa. Tercatat dalam sejarah bahwa Nabi Yusuf memiliki karakter pandai dan teguh memegang amanah sehingga dipercaya memegang jabatan penting di negerinya. Demikian pula yang terjadi pada Nabi Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Al-Amin (terpercaya), dan ucapannya bisa memikat hati manusia, sehingga membuat orang tertarik dengan budi pekertinya.

Keagungan Karakter Utusan Allah

Hampir menjadi kriteria utama bahwa seorang nabi dan rasul memiliki sifat yang mulia, dan karakter ini diketahui umatnya. Para pembesar atau tokoh masyarakat umumnya mengetahui dengan detail sifat dan karakter yang melekat pada diri utusan Allah. Di antara utusan Allah yang akan dijelaskan berikut memiliki karakter agung, dan kaumnya mengenalnya dengan jelas tentang sifat itu.

  1. Nabi Shalih dan keagungan pribadinya

Allah menarasikan karakter Nabi Shalih yang dikenal oleh kaumnya, sehingga menjadi kebanggaan para tokoh dan pembesarnya. Nabi Shalih bahkan dipersiapkan menjadi tokoh yang akan mengawal dan melanjutkan tradisi yang telah berjalan secara turun temurun. Hal ini dijelaskan Allah sebagai berikut:

 قَالُواْ يَٰصَٰلِحُ قَدۡ كُنتَ فِينَا مَرۡجُوّٗا قَبۡلَ هَٰذَآۖ أَتَنۡهَىٰنَآ أَن نَّعۡبُدَ مَا يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكّٖ مِّمَّا تَدۡعُونَآ إِلَيۡهِ مُرِيبٖ

Mereka (kaum Tsamud) berkata, “Wahai Shalih! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.” (Hud: 62).

Nabi Shalih merupakan generasi muda yang sangat digadang-gadang dan dipersiapkan akan menjadi penerus atau pelanjut tradisi yang turun-temurun. Tradisi menyembah berhala telah menjadi kebiasaan hampir semua komponen masyarakat, namun Nabi Shalih tak terpengaruh untuk mengikutinya. Bukannya mengikuti dan melestarikan tradisi itu, Nabi Shalih justru berupaya mengikis tradisi penyembahan berhala itu.

  1. Nabi Syu’aib yang penyantun

Allah juga menjelaskan karakter Nabi Syu’aib yang mulia, sehingga menjadi tolok ukur baik buruknya masyarakat. Allah menjelaskan watak dan karakter Nabi Syu’aib sebagai berikut:

قَالُواْ يَٰشُعَيۡبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأۡمُرُكَ أَن نَّتۡرُكَ مَا يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوۡ أَن نَّفۡعَلَ فِيٓ أَمۡوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُاْۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلۡحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.” (Hud: 87).

Kaum Nabi Syu’aib mengenal betul watak dan karakter agung Nabi Syu’aib. Terkenal memiliki jiwa penyantun, dan pikiran yang cerdas, sehingga beliau tidak terpengaruh oleh tradisi masyarakatnya. Masyarakatnya terbiasa dengan mencuri timbangan dan menyembah berhala, namun Nabi Syu’aib tak terpengaruh dan tetap hidup mulia dengan sifat dan karakter agung itu.

  1. Nabi Luth dan kepandaiannya

Allah sangat jelas menunjukkan karakter Nabi Luth yang agung. Nabi Luth tidak terpengaruh oleh perbuatan buruk kaumnya, yakni terbiasa dengan pergaulan sesama jenis. Perbuatan ini tak pernah dilakukan oleh manusia sebelumnya. Allah menjelaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:

وَجَآءَهُۥ قَوۡمُهُۥ يُهۡرَعُونَ إِلَيۡهِ وَمِن قَبۡلُ كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ هَٰٓؤُلَآءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطۡهَرُ لَكُمۡۖ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُخۡزُونِ فِي ضَيۡفِيٓۖ أَلَيۡسَ مِنكُمۡ رَجُلٞ رَّشِيدٞ

Dan kaumnya segera datang kepadanya. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan keji. Luth berkata, “Wahai kaumku! Inilah putri-putri (negeri)-ku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)-ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu orang yang pandai?” (Hud: 78).

Nabi Luth menjelaskan dengan bertanya kepada mereka “Tidak adakah di antaramu orang yang pandai?” Hal ini karena kaum Nabi Luth, yang laki-laki, tidak memiliki kecenderungan cinta terhadap lawan jenis, tetapi mereka justru senang dengan sesama jenis. Senang dan cinta terhadap sesama jenis, jelas sebuah kebodohan. Bukankah layak disebut bodoh ketika masyarakat tidak mengetahui dampak buruk perkawinan sesama jenis. Perkawinan sesama bukan hanya akan memutus generasi, tetapi akan membuat punah masyarakat dalam jangka panjang.

  1. Nabi Yusuf, kepandaian, dan sifat amanah

Nabi Yusuf dikenal dengan wawasan dan pengetahuan yang luas, memiliki sifat terpercaya, serta menjaga kehormatan diri. Dia tahan dan tak larut terhadap godaan terhadap wanita cantik yang sempat mengajaknya berzina. Keagungan sifat Nabi Yusuf inilah yang membuat seorang raja Mesir memercayakan jabatan penting padanya, sehingga rakyat Mesir makmur dan sejahtera.

Demikian pula yang dialami oleh Nabi Muhammad. Beliau dikenal sebagai orang yang terpercaya (Al-Amin), peduli terhadap orang yang membutuhkan, suka menolong dan peka terhadap keadaan masyarakatnya. Musuh-musuhnya pun sempat memercayakan untuk menitipkan barang kepada beliau, meskipun menolak dakwahnya.

Demikianlah keagungan sifat dan karakter para utusan Allah, dan masyarakatnya mengenal betul kepribadian yang agung itu. Oleh karena itu, penting untuk dicatat ketika kaum muslimin dekat dan mau mengikuti ajaran Al-Qur’an bisa dipastikan akan menempel pada dirinya karakter agung dan mulia. Inilah sebuah sunnatullah, betapa banyak sahabat nabi yang menundukkan hati dan pikirannya pada Al-Qur’an, sehingga terpancar keagungan dan kemuliaan.

Surabaya, 1 April 2020

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment