SURABAYA (Suaramuslim.net) – Kenaikan harga BBM yang telah tiga kali dilakukan Pemerintah dan Pertamina selama tahun 2018 merupakan penyesuaian harga akibat harga minyak dunia yang meningkat drastis naik sebesar 20% dari USD 40 per barel menjadi USD 67 per barel bahkan bisa menyentuh harga tertinggi pada angka USD 80 per barel.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira kepada Suaramuslim.net mengatakan meski kenaikan terjadi pada BBM Non Subsidi namun sangat berpotensi memperburuk kondisi ekonomi dengan meningkatnya inflasi, menurunnya daya beli hingga meningkatnya angka kemiskinan.
“Pemerintah tak bisa berdalih tak ada masalah kalau BBM Non Subsidi yang naik, sebab saat ini jumlah BBM non subsidi penggunaannya makin dominan, dan masyarakat dipaksa beralih dari Premium ke Pertalite, Pertalite sudah naik Rp 100,- bulan Januari, pemerintah harus hati-hati, karena 40% total konsumsi BBM menggunakan pertalite” kata Bhima.
Bhima menyebut kenaikan harga BBM non subsidi tak hanya akan berpengaruh ke kelas menengah namun juga ke kelas bawah.
“Pengaruhnya ke daya beli masyarakat, pendapatan masyarakat akan berkurang untuk membeli BBM yang harganya naik, efek snowball-nya akan berpengaruh ke ritel yang akan makin banyak tutup dan akhirnya angka kemiskinan akan naik” jelas Bhima.
Selain itu pengaruh lainnya adalah pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja akan tidak optimal. “Yakni perusahaan UMKM tak mungkin meningkatkan harga di tengah daya beli yang menurun, maka untuk efisiensi dilakukanlah PHK kepada karyawan-karyawannya” tutur Bhima.
Pihaknya memprediksi pada bulan Maret dan sepanjang 2018 akan ada kenaikan harga Pertalite.
“Resikonya akan langsung terasa, seperti tahun 2014 ketika kenaikan harga premium langsung inflasi luar biasa, harga pangan akan naik, meski itu premium namun sekarang transportasi sudah bergantung ke Pertalite” kata Bhima.
Bhima menyebut akan terjadi inflasi ganda di tahun 2018, sekarang harga minyak dunia naik, dan harga bahan pangan yang sudah mahal juga akan naik. “Target inflasi Pemerintah sebesar 3,5% di tahun 2018 akan naik 3,7% bahkan sampai 4%” kata Bhima.
Upaya Mitigasi Pemerintah
Dalam rangka memitigasi kenaikan harga BBM non subsidi yang tidak dapat diprediksi, Bhima menyebut pemerintah menggunakan jaminan sosial sebagai buffer zone atau jaring pengaman bagaimana masyarakat tidak langsung jatuh miskin ketika ada kenaikan harga BBM. Saat ini anggaran perlindungan sosial naik 77% sejumlah Rp 283 Triliun, dengan jumlah 10 juta penerima Program Keluarga Harapan.
Namun menurut Bhima, anggaran perlindungan sosial sebesar apapun tidak akan bisa mengantisipasi jika berdampak pada meningkatnya ongkos produksi yang pada akhirnya berdampak pada PHK.
“Maka solusinya ada di Pertalite karena total konsumsinya terbesar sejumlah 40%, meski tidak disubsidi harus dilakukan efisiensi dalam distribusi atau pengelolaan kilang misalkan, agar pertamina bisa memainkan harga tidak terlalu tinggi” kata Bhima.
Bhima juga menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM yang mengikuti mekanisme pasar sangat berpengaruh ke APBN. “Dari anggaran untuk pos energi yang diketok sejumlah Rp 94,5 Triliun, harga minyak dunia tercantum USD 48 per barel, sementara saat ini sudah USD 67 per barel” kata Bhima.
Saat ini harga premium jika mengikuti mekanisme pasar harusnya Rp 8900,- namun harga jualnya Rp 6.550,- sehingga selisih harganya akan ditanggung subsidi.
“Ini tidak akan cukup, maka pemerintah akan memotong pos anggaran lain, yang paling mungkin adalah anggaran Rp 400 Triliun untuk infrastruktur yang akan masuk ke pos subsidi energi, itu pun masih belum cukup dan jelas Pertamina akan menanggung selisihnya, dan hutang Pemerintah ke Pertamina akan bertambah, padahal saat ini pemerintah berhutang ke pertamina sebanyak Rp 40 Triliun” pungkas Bhima.
Reporter/Editor: Ahmad Jilul Qur’ani Farid