Mengkritisi Pemahaman Agama Dr. Haidar Bagir MA

Mengkritisi Pemahaman Agama Dr. Haidar Bagir MA

Mengkritisi Pemahaman Agama Dr. Haidar Bagir MA (2)

Suaramuslim.net – Dr. Haidar Bagir adalah salah satu dari deretan tokoh Liberal yang perlu dikritisi terkait pernyataan-pernyataan kontroversialnya tentang Islam. Contohnya di dalam dialog “Reformulasi integrasi Islam dan Sains” di gedung Rektorat UIN Malang, menurut kesaksian Fadh Ahmad Arifan, beliau berkata di hadapan peserta dialog: “Saya tidak percaya semua agama sama. Tapi saya percaya semua orang dari agama apapun yang beriman dan beramal sholeh akan selamat”. Pernyataannya sangat tidak masuk akal! Bagaimana mungkin agama selain Islam yang ritualnya tidak mengikuti tuntunan Rasulullah saw bisa selamat? Jangankan selamat dan masuk surga, menjawab pertanyaan Malaikat di alam barzah pasti tidak sanggup.

Bukunya yang terbit tahun lalu, “Islam Tuhan Islam Manusia” dibedah di berbagai tempat. Kampus IAIN Ponorogo merupakan salah satunya. Meski penulisnya menyatakan bahwa judul di atas tidaklah istimewa dan paling masuk akal diantara judul-judul lain yang mungkin ia gunakan, tetapi kontroversi bukanlah semata terkait keistimewaan atau tidaknya sebuah judul, melainkan muatan yang terdapat di dalamnya. Tulisan kali ini hanya ingin mengambil beberapa contoh saja dari banyak persoalan dalam bukunya, sebagai bukti bahwa buah pemikiran Bung Haidar layak dikritisi dan disanggah.

Pertama, adalah dikotomi pengertian Islam sebagai judul besar bukunya. Bung Haidar mengasumsikan bahwa Islam sebenarnya ada 2 (dua) versi, Tuhan dan Manusia. Menurutnya, Islam Tuhan adalah islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan itu sendiri, sedangkan Islam Manusia adalah pemahaman manusia terhadap Islam Tuhan itu sendiri, nah karena manusia hanya mempunyai akal yang terbatas, maka tidak mungkin seseorang itu mampu menemukan Islam “yang sesuai dengan” Kehendak Tuhan. Ini pada akhirnya akan mengantarkan seseorang pada pada pemahamanan relativisme terkait agama. Akhirnya, tidak ada tafsir agama yang absolut, semua serba relatif, bahkan lebih jauh, baginya non muslim pun tidak boleh disebut kafir, hal ini karena masing-masing agama mempunyai kemungkinan benar dan salah.

Bung Haidar di posisi ini sebenarnya melakukan “kecerobohan yang serius”, sebab mendikotomi pengertian agama tanpa menggunakan sandaran naqli maupun aqli yang sahih. Pasalnya, tidak ada satupun nash yang tertulis (Al Quran & Al Hadis) baik secara tersurat maupun tersirat menyinggung adanya dikotomi antara Islam Tuhan dan Manusia. Di titik lain, klaim atas adanya pembedaan agama melalui 2 (dua) versi adalah kecacatan logika, sebab seolah-olah dia sudah mengetahui bahwa ada Islam versi Tuhan itu dan versi manusia. Kemudian keduanya menjadi berbeda sebab tidak ada manusia yang mampu mengerti kehendak Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Persoalannya adalah ketika bung Haidar mengklaim segenap manusia sebagai makhluk yang tidak tahu akan kehendak Tuhan, lalu darimana dirinya tahu bahwa Tuhan berkehendak A tetapi manusia berkehendak B. Bukankah itu kecerobohan, sebab menghukumi semua manusia tidak tahu menahu tentang kehendak Tuhan, tetapi justru memposisikan dirinya mengetahui kehendak Tuhan, padahal bukankah bung Haidar juga manusia dan bukan Tuhan?. Lebih baik manakala bung Haidar sekedar memunculkan judul buku “Buku saku Tasawuf” atau judul-judul lainnya yang tidak mengandung sisi kontroversial.

Apa yang saya sampaikan ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan Haidar sendiri terkait “Islam Cinta” yang diusungnya. Dimana “islam cinta” menurutnya adalah merupakan pengejawantahan dari Islam versi Tuhan dan Islam versi Manusia. Pengusung paham relativisme ini dengan piawainya menyalahkan pemahaman agama para manusia selain dirinya sebagai pemahaman yang salah, sebab bagi Haidar mereka masih ber-Islam ala Manusia, bukan Islamnya Tuhan. Maka tidak heran dalam bukunya tersebut ia tanpa malu-malu menyematkan gelar-gelar yang bernuansa negatif pada sebagian umat islam, seperti kaum takfir, radikal, maupun sejenisnya. Hal ini tentu saja mengherankan, sebab kontradiksi dengan pernyataannya sendiri yang melarang untuk merasa paling benar. Bukankah ini merupakan bentuk kesombongan yang sempurna, dimana menyalahkan pemahaman orang lain terkait Islam hanya karena mereka tidak sesuai dengan Islam versi dirinya. Kesombongan yang dibalut dengan kata-kata ilmiah dan dalil dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya.

Terkecuali daripada itu, jika Bung Haidar konsisten dengan buah pemikirannya yang menyatakan betapapun akal mempunyai posisi penting bagi manusia, tetapi ia mempunyai kelemahan, diantara contohnya adalah tidak mampu mengetahui Islam yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka seharusnya tokoh Liberal jebolan Harvard ini tunduk pada wahyu atau manusia yang dipilih Tuhan untuk menjelaskan kehendak-Nya kepada manusia, dan mereka adalah para Nabi/ rasul. Mengikuti mereka, mentaati ajaran-ajaran mereka adalah bentuk dari menjalankan kehendak Tuhan itu sendiri, dan ini adalah kesimpulan yang sangat logis.

Sayangnya bung Haidar melupakan peran para utusan dan menggunakan akalnya (yang ia yakini mempunyai kelemahan) untuk menerka-nerka kehendak Tuhan terkait Islam, sehingga munculah gagasannya dengan ISLAM CINTA, sebuah istilah yang bukan hanya aneh, seperti halnya istilah ISLAM HUMANISTIK, tetapi sekaligus bisa menjadi alasan untuk bersedih, meratapi adanya seorang manusia yang begitu anehnya berpendapat tentang agama lalu dikampanyekan kepada publik. Namun demikian, terlepas daripada itu semua, niatnya untuk mendamaikan antar pemeluk agama patut diapresiasi meskipun metode yang ia gunakan dengan “menghajar” pemahaman agama orang lain tidak bisa ditoleransi.

Kedua, Pernyataan Bung Haidar terkait cinta sebagai basis agama. Bahkan lebih jauh, agama tanpa basis cinta akan menghasilkan sikap yang justru negatif atau bertentangan dengan maslahat manusia. Hal ini sejalan dengan apa yang ia sampaikan dalam bedah bukunya di IAIN Ponorogo, bahwa sikap beragama yang baik adalah manakala seorang  manusia memanusiakan manusia, atau kalau perlu membuat orang lain bahagia sebagai puncak kebaikan beragama itu sendiri, sehingga aneh jika ada orang yang beragama justru menyusahkan orang lain.

Bahwa muslim yang baik adalah mereka yang memanusiakan manusia lainnya kita sepakat. Tetapi menjadikan kebahagiaan manusia sebagai semata-mata tolok ukur kebaikan beragama adalah sesuatu yang tidak bisa disepakati. Karena menjadikan manusia sebagai  “sumber atau pokok kebaikan” akan menjerumuskan pada penghambaan manusia kepada manusia lainnya, padahal agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhan, bukan manusia kepada manusia, ini jelas. Terkecuali daripada itu, memposisikan cinta sebagai asas agama agar manusia terhindar dari sikap beragama yang negatif adalah kecerobohan. Sebab justru cinta-lah yang harus dibangun berdasar asas agama. Betapa banyak kehancuran peradaban manusia yang disebabkan cinta tanpa kontrol agama. Cinta harta sebagaimana yang dilakukan Qarun dan cinta sesama jenis yang dilakukan kaum Nabi Luth itu adalah contoh nyata ekspresi cinta tanpa disandarkan pada nash-nash agama?.

Ketiga, Bung Haidar memalingkan makna ihsan (dalam hadis yang menceritakan dialog antara Jibril dan Muhammad saw) menjadi “cinta”, sehingga cinta adalah ihsan dan ihsan adalah cinta, maka tingkatan tertinggi seseorang yang telah berislam dan beriman adalah cinta. Ini tentu saja tidak fair, sebab ta’rif dari lafadz ihsan sudah dijelaskan dalam hadis itu sendiri, yaitu “Penyembahan hamba kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, atau jika tidak mampu, maka sesungguhnya Ia selalu melihatnya”, jadi ihsan adalah sampainya posisi seorang manusia dalam penghambaannya kepada Allah swt sudah sampai ke level muraqabah.

Terakhir, bung Haidar juga tidak konsisten dengan pernyatannya bahwa ihsan adalah cinta, sebab ternyata di halaman yang lain beliau menegaskan bahwa ihsan harus berdasarkan cinta. Ini tentu saja kerancuan berfikir, sebab bagaimana mungkin di satu tempat keduanya adalah satu dan kemudian ia ceraikan di tempat yang lain. Maka tidak heran jika beliau menggagas bahwa cinta adalah tingkatan tertinggi dalam beragama.

Demikianlah koreksi atas pemahaman agama Haidar Bagir dalam “Buku Islam Tuhan Islam Manusia”. Perlu dipahami para pembaca bahwa ini adalah semata-mata untuk kebenaran, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan unsur-unsur kebencian ataupun permusuhan. Walaupun banyak hal yang menjadi persoalan, saya kira cukup sampai di sini, tidak elok memperpanjang kata. Wallahu’allam.

Oleh: Umarwan sutopo, Lc M.Hi*
Editor: Oki Aryono

*Alumnus Al-Azhar University Kairo-Mesir dan kini menjadi Dosen di IAIN Ponorogo

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment