Ketika Kata Kehilangan Makna

Ketika Kata Kehilangan Makna

Ketika Kata Kehilangan Makna

Suaramuslim.net“Word doesn’t meant, People meants” satu bait kata bijak ini memberi banyak pemahaman bahwa kata tak akan pernah punya arti kalau manusianya tidak memberi arti. Minggu yang lalu saya juga sempat melihat sebuah pameran seni di Galeri Taman Budaya Gedung Cak Durasim Genteng Kali Surabaya yang bertajuk membaca makna dan disusul dengan perhelatan komposer muda tentang makna dalam bahasa nada.

Apa yang saya tangkap dari pagelaran tersebut adalah kedalaman makna yang bisa kita kembangkan berdasarkan kemampuan otak melihat sebuah teks dan mengembangkannya berdasar kedalaman pemahaman yang kita miliki. Dalam pameran itu, pengunjung diajak mengembara jalan pikirannya dengan dipandu oleh peta jalan pemikiran yang selama ini menjadi cara saya memahami sebuah persoalan, Mind mapping orang menyebutnya.

Sejarah pergerakan nasionalisme Indonesia pernah menorehkan sebuah cerita tentang berartinya sebuah kata karena mampu membangkitkan sebuah makna. Tengok saja bagaimana Soekarno dalam sejarah pergerakan kemerdekaan mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia dengan rangkaian kata-katanya.

Ada juga Bung Tomo yang mampu membangkitkan kembali semangat arek-arek Suroboyo melawan tentara sekutu ketika akan menduduki Surabaya. Pidato Bung Tomo mampu membangkitkan semangat perlawanan rakyat Surabaya melawan bombardir tentara sekutu. Pidato Bung Tomo pun mampu menggugah semangat jihad yang pada akhirnya Inggris harus kehilangan dua jendral terbaiknya di tangan arek-arek Suroboyo yang bersenjatakan bambu runcing.

Saat ini juga terjadi di Turkey, ketika negara digdaya Amerika dengan pongahnya akan melemahkan perekonomian Turkey dengan kebijakannya, Erdogan sebagai presiden yang dicintai rakyatnya, menyerukan kepada rakyatnya untuk melawan kepongahan Amerika.

Dengan senjatakah dia melawan? Ternyata tidak, Erdogan menyerukan kepada rakyatnya untuk mengganti Iphone yang buatan dengan produk produk lain yang bukan buatan Amerika. Seruan Erdoganpun disambut oleh rakyatnya tidak hanya mengganti Iphone dengan yang lain, bahkan juga menginjaknya sampai hancur, berhentikah disitu? Rakyatnyapun memberi bonus lebih kepada Sang Presiden dengan membakar uang dollar mereka.

Mengapa Kata Bisa Bermakna?

Kata akan bisa bermakna apabila penyampaian kata bisa dengan mudah dipahami oleh penerimanya. Tentu saja juga harus disertai dengan kemampuan mempercayai terhadap penyampai kata. Sehingga yang terjadi adalah kesamaan rasa dan kesesuain pikir dengan pemberi kata. “Trust” menjadi bagian penting bagaimana memberi makna terhadap sebuah kata.

Membangun kepercayaan merupakan sebuah proses alami yang bisa dengan mudah membangun kebersamaan dengan penerima penyampaian kata. Dibutuhkan proses panjang dan bersama agar terjadi kebersamaan memberi makna terhadap sebuah kata.

Kata akan kehilangan makna, manakala si pemberi kata memanipulasi kata, sehingga setiap rangkaian kata yang disampaikan tak ubahnya sebagai sekedar rangkaian kata yang tak mampu menggugah rasa. Kehilangan rasa dan makna terjadi karena sedang terjadi jarak rasa antara pemberi kata dan penerima kata. Mengapa bisa terjadi? Karena penerima kata sudah kehilangan “Trust” pada pemberi kata.

Nah ditengah kekeringan makna dan kata akan kata “Merdeka”, nun jauh disana, seorang bocah SMP di Belu Nusa Tenggara Timur, mampu mebangkitkan makna sebuah kata merdeka. Joni Belu (13) sang bocah heroik ini memanjat tiang bendera dengan naluri kecintaannya terhadap Indonesia, tanpa peduli dengan resiko yang ada, dia panjat tiang untuk membetulkan pengait tali bendera. Yang ada dalam pikiran Joni Belu, Sang Saka harus berkibar. Joni Belu layak menjadi tauladan membangun nasionalisme, bukan hanya sekedar berteriak NKRI harga mati yang tak terbukti.

Hal lain yang tak terpuji terjadi di Surabaya, meski dengan menikmati fasilitas asrama yang disediakan oleh negara, Oknum mahasiswa dan pemuda Papua yang tinggal di asrama tak mampu memahami makna sebuah kata kemerdekaan Indonesia. Dengan alasan tak tahu dan tak paham tentang aturan pengibaran bendera, mereka melakukan aksi penolakan pengibaran bendera merah putih yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang tergabung di dalam Sekber Benteng NKRI.

Aksi seruan pengibaran bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pun berakhir dengan bentrok yang juga jatuh korban luka akibat sabetan parang si oknum mahasiswa separatis. Lebih menyedihkan lagi “aksi makar” penolakan pengibaran bendera merah putih mendapatkan dukungan kata-kata “sesat” tentang HAM dan Kebebasan berpendapat, merekapun mengaku sebagai bangsa Indonesia.

Lencana merah putih yang dikenakan tak mampu menghujam dalam sanubarinya untuk bersimpati pada para pejuang dan pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena memang ada ketidak jujuran dalam bernegara dan ber Indonesia.

Kata akan kehilangan maknanya, manakala ketidak jujuran menjadi hiasan rangkaian kata, sehingga kata yang terujar menjadi hambar.

Nah, di tengah kegersangan kata memuat makna ada baiknya kita merenungkan kembali peringatan Nabi Muhammad Sang Al Amin yang mengatakan kelak akan hadir suatu masa dimana kebenaran dan ketidak benaran sulit dibedakan, maka pada saat itu bagi mereka yang ingin selamat berpeganglah pada kitab kebenaran yang diturunkan Allah (Al Quran) dan Sunnah perjalanan yang dilakukan oleh Rasulullah.

Perhatikan apa yang dibicarakan dan bersikaplah adil terhadap siapa yang berbicara. Yang benar dari siapapun akan terlihat benar, meski itu terucap dari mulut si miskin. Salah akan tetap salah meski terucap dari mulut sang penguasa.

Tetap menjadi Indonesia bersama nilai-nilai keadilan dan kebersamaan

*Ditulis di Surabaya, 18 Agustus 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment