Kisah Ibrahim dan Ismail: Sejarah Perintah Kurban

Kisah Ibrahim dan Ismail: Sejarah Perintah Kurban

Meneladani Kesuksesan Nabi Ibrahim dalam Menghadapi Ujian iman
Ilustrasi domba putih.

Suaramuslim.net – Sejarah tentang kurban dalam Islam, tidak bisa dilepas dari kisah Nabi Ibrahim bersama Ismail. Suatu saat, para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kurban, beliau menjawab, “Ini adalah sunah bapak kalian, Ibrahim.” (HR Ibnu Majah). Selain menjelaskan hal itu, Nabi juga memberi tahu keutamaannya, di antaranya: pada setiap helai bulu kurban, ada kebaikan yang diterima oleh orang yang berkurban.

Kisah itu –di antaranya– bisa dibaca dalam surah Ash-Shaffaat [37]: 100-111. Pada awalnya, Ibrahim berdoa kepada Tuhannya agar dikaruniai anak. Seperti diketahui, sudah lama Ibrahim mendambakan seorang penerus, namun tak kunjung dikaruniai. Keinginan yang begitu menggebu itu akhirnya terbayar sudah dengan lahirnya Ismail. Seorang putra yang digambarkan Al Quran dengan istilah “ghulam haliim” (anak yang santun dan sabar).

Bisa dibayangkan. Orang yang sangat lama tidak punya anak, kemudian diberi buah hati. Pembaca bisa mengimajinasikan betapa bahagia dan senangnya Ibrahim kala itu.  Rupanya, dalam kegembiraan mengandung cobaan. Memang demikian, ujian Allah itu bukan terletak pada yang susah-susah saja; dalam kegembiraan pun terhadap ujian yang mesti dilampaui sebagai batu uji bagi orang beriman jika diuji dengan kesusahan dia bersabar dan diuji dengan kesenangan dia bersyukur, maka akan lulus ujian.

Demikian halnya Ibrahim, menginjak Ismail berusia remaja dan baligh, suatu usia yang begitu energik dan siap untuk dikader menjadi penerus Ibrahim, justru beliau bermimpi menyembelih buah hatinya itu. Dalam tradisi kenabian, mimpi adalah bagian dari wahyu. Jadi, itu menjadi isyarat agar Ibrahim menyembelih anaknya.

Sebagai ayah yang bijak, Ibrahim menyampaikan perintah itu dengan pendekatan persuasif. Anak yang sangat disayanginya itu dipanggilnya dengan panggilan kasih sayang “ananda”. Diajaklah ia bermusyawarah dengan penuh kehangatan laiknya hubungan orang tua dan anak. Ketika sudah disampaikan perintah itu dengan bahasa yang lemah lembut, sang anak dengan panggilan kasih sayang “ayahanda” kepada Ibrahim dengan mantap menjawab, “Laksanakan apa yang diperintahkan. Insyaallah, Anda akan mendapatiku sebagai bagian dari orang-orang yang sabar.”

Keduanya sama-sama tidak menampik unsur manusiawi berupa rasa kasih sayang dan cinta antara keduanya. Namun,  ketaatan dan loyalitas maksimal kepada Allah, menjadikan keduanya rela mengorbankan dirinya. Segala jenis kepentingan disembelih demi merealisasikan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ketika keduanya sudah siap menjalankan perintah, Ibrahim sudah memegang alat sembelihan, Ismail pun sudah berbaring pasrah, di puncak kesedihan itu Allah memberikan kabar gembira.

Ibrahim dan Ismail dianggap lulus “balaaul-mubiin” (ujian nyata). Lalu, kemudian diganti oleh Allah dengan sembelihan yang besar. Perhatikan! Allah sejatinya tidak akan membebani seseorang diluar keseanggupannya. Allah juga pasti menguji iman dan ketaatan hamba pada diri-Nya. Ketika itu sudah dijalankan dengan sangat baik, istilahnya sudah lulus ujian, maka balasannya juga terbaik.

Ayat ini, dipungkasi dengan karakteristik keduanya. Bahwa Ibrahim dan Ismail yang lulus ujian ketaatan ini, dimasukkan sebagai bagian dari orang-orang yang muhsin dan mukmin sejati. Salah satu pengertian muhsin adalah orang yang sanggup memberikan yang terbaik diluar kewajibannya. Dengan ini bisa dikatakan, keduanya memiliki benteng iman yang tangguh dan kedermawanan yang adiluhung.

Bila kisah ini diringkas dalam bentuk pelajaran, menurut penulis –salah satu yang paling mencolok—dapat diungkapkan dengan diksi demikian: Ketaatan dan keimanan hamba kepada Allah akan diuji –di antaranya—dengan sesuatu yang paling dicintai. Jika dalam ujian itu iman seseorang masih teguh, kebaikannya masih berkesinambungan dan rela mengorbankan yang terbaik dari yang dimilikinya, maka layaklah dia mendapat sematan orang-orang mukmin dan muhsin sejati.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment