Koloni Prasangka

Koloni Prasangka

Oleh: Yusuf Maulana (penulis “Mufakat Firasat”)

Sangkaan yang mengawali verifikasi fakta amatlah rentan menyesatkan. Bila penyesatannya tidak berimbas pada kenyamanan warga, bukan masalah. Apalagi diiringi pencabutan pernyataan sangkaan sesat tadi oleh pelaku. Nah, yang merepotkan justru penyesatan yang berkelindan ke mana-mana sebagai (seakan) kebenaran yang valid hingga menjadi acuan menghakimi pihak yang tidak disukai.

Kenyataan terakhir itulah yang belakangan hadir ketika kasus-kasus kekerasan memakan korban jiwa diarahkan sebagai hasil kerja kalangan tertentu. Aksi pengganas dengan bom bunuh diri sering kali jadi isu liar justru di luar persoalan inti yang telah merenggut nyawa publik. Aksi pelaku disangkakan sebagai tindakan pihak lain walau tanpa mengecek kebenaran yang diproduksinya. Bahkan kebenaran seakan tak lagi penting lantaran kecepatan menuding jadi prioritas. Sebab, menuding telanjur diposisikan sebagai upaya gigih mempertahankan eksistensi tertentu seperti nasionalisme.

Teror yang terjadi justru dalam beberapa hari, bahkan kadang jam atau malah menit, menjadi ancaman pada pihak lain. Prasangka meliar ke segala penjuru disebabkan ketegasan menegakkan hukum secara adil dirasa begitu sukar. Yang ada perlakuan membeda ketika kelompok warga berbeda bertindak. Ketika kalangan A jadi korban, aparat seolah apriori; tak peduli berapa banyak korban jatuh. Sebaliknya, ketika beberapa gelintir orang dari kalangan B hilang nyawa, aparat cekatan bergerak. Retorika aparat bahwa semua diperlakukan adil, hanya menguatkan asumsi sebagian publik yang berkali-kali mendapatkan situasi diskriminatif.

Faktor lain adalah determinasi sejarah. Menyalahkan warga untuk berkesimpulan “nakal” dan mengulang senandung konspirasi sbenarnya bukan semata kekanakan mereka. Menuangkan ada aktor hitam disebalik kejadian, silakan saja selagi ada sokongan data dan hujjah yang kuat. Bukan semata benci aparat atau mencuci salah kelompok.

Tapi mengabaikan kans adanya konspirasi jelas keliru. Ada ulangan sejarah di negeri ini ketika para militan berubah jadi pengganas karena ada stimulasi agen tertentu. Apa pun motif dan kepentingan akhirnya. Terlalu naif memang selalu mengalihkan saban ada kejadian teror sebagai konspirasi. Akan tetapi, terlalu dungu pula abai pada fakta bahwa situasi adanya ruang intervensi “pemain” penikmat teror. Dan sejarah tak sepi dari soal ini. Periode ketika intelijen dipegang kalangan fobia Islam tandaskan fakta ini.

Menyangka liar sejatinya bisa diempaskan seketika dengan keseriusan menjunjung kebenaran. Tanpa pilih kasih dan tendensi menyudutkan. Sangkaan yang tetap eksis walau sudah disodori fakta otentik harusnya didekati dengan lebih adil dan tegas. Tak selalu berujung pembuian. Sayangnya, hari ini ketika sebagian warga menaruh syak pada kerja aparat dalam bab teror, justru diatasi dengan penangkapan. Seakan publik tak boleh berbeda bersuara. Alasan memunculkan hasutan ternyata hanya pembingkaian kepentingan yang diukur dengan afiliasi dan emosi publik tersebut pada kekuasaan. Di sini kesalahan mendasarnya. Sebab akan ada kejadian yang lebih memilukan lagi bila mitigasi opini sering memilah latar penyampainya.

Prasangka bukanlah kebenaran. Ia bisa benar, bisa juga salah. Kekerasan dengan prasangka niscaya dicegah agar jangan jadi koloni. Tak jarang koloni prasangka itu melahirkan intervensi dan persekusi yang membiaskan dari kejadian sbenarnya yang hendak dicegah. Orang yang lambat atau enggan mengucap dukacita atas teror langsung dicap teroris. Orang yang diam tak mengamini simpulan aparat dituding mendukung teroris. Publik yang memakai atribut serupa tersangka pengganas serta-merta diperlakukan sebagai bagian kelompok teror!

Sebagian orang menyebut perlunya menindak ekosistem teroris. Tapi mereka abai ada peluang peneroran pasca-kejadian. Peneroran atas nama patriotisme yang tak memandang logika waras. Semua dihantam memakai dalil mencegah kejadian berulang. Kecurigaan memang wajar. Tapi kalau kecurigaan itu lebih diinspirasi dendam politik ini yang lahirkan koloni prasangka. Sebab koloni prasangka akan tumbuh berpisah dengan pendakuan kebenaran diri. Tanpa sadar malah merawat kebencian pada simbol. Padahal simbolik tetanda acap mereka cemooh, semisal dalam kasus beragama.

Koloni prasangka hadir mengawali ekosistem teroris. Teroris ada kalanya masih benih. Hanya karena publik menuding dan melabel, hak kemanusiaan si tertuduh dimatikan hingga mengabaikan kemungkinan menjadi teroris sebenarnya. Ekosistem terorisme hanya slogan untuk menggaungkan sesuatu yang masih bisa ditangkal dan dicegah dengan pendekatan keilmuan. Adapun koloni prasangka, ia hadir melesat dalam persepsi yang dimainkan lewat simbol. Kemiripan simbol identitas dengan gesit ditangkap untuk megafirmaai suatu tudingan.

Begitulah yang terjadi. Partai yang tak tahu menahu soal terorisme disangkutkan hanya karena ada “penanda” rujukan sama, misalnya karya tertentu tokoh Timur Tengah. Cadar dan celana di atas mata kaki divonis artefak teroris yang kudu ditindak. Korbannya sebenarnya publik pula. Mereka diperalat aktor koloni prasangka untuk hadirnya ketakutan yang ajeg. Ketakutan publik yang mudah disulut ingin dijaga betul, terutama untuk menyingkirkan kesumat pihak “sebelah”.

Terbelahnya masyarakat sebagaimana ditemui di warga maya tanah air amat mudah memupuk kelangsungan politik ketakutan. Dengan demikian, koloni prasangka memang satu proyek sendiri bagi elit kuasa tertentu dalam menyingkirkan kekuatan pesaing. Tak peduli nalar publik terus diperbodoh. []

 

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment