Laa ilaha illallah penentu kemuliaan dan kehinaan hamba

Laa ilaha illallah penentu kemuliaan dan kehinaan hamba

Kalimat Tauhid: Antara Faedah dan Ghirah

Suaramuslim.net – Menegakkan kalimat tauhid (Laa ilaha illallah) merupakan misi terdepan dan paling utama dari para nabi dan rasul. Namun memperjuangkan tegaknya kalimat ini dipastikan akan mendapatkan konsekuensi-konsekuensi, seperti gangguan, teror, ancaman, dan pembunuhan.

Sebagai buahnya, kemuliaan dan keagungan akan mereka terima baik di dunia maupun akhirat. Sebaliknya kehinaan dan kebinasaan akan mereka petik ketika mengabaikan tegaknya kalimat tauhid ini.

Khadijah dan Abu Thalib merupakan dua sosok manusia yang memperoleh kedudukan yang berbeda di akhirat. Khadijah sosok tegar yang mendampingi Nabi dalam memperjuangkan kalimat ini, sehingga diganjar surga. Sementara Abu Thalib juga teguh membela keponakannya (Muhammad) hingga rela menghadang perlawanan kolektif orang kafir Quraisy. Namun tidak sempat berucap dengan kalimat tauhid, sehingga diganjar ke neraka.

Hal ini menunjukkan bahwa kalimat tauhid membuat hamba mulia atau hina. Mulia dan berujung masuk surga ketika berdiri membelanya, sebaliknya terhina dan berakhir penyesalan di neraka ketika menolak kalimat mulia itu.

Perjuangan tegaknya tauhid

Nabi Muhammad tidak berhenti berjuang menegakkan tauhid hingga pemuka kafir Quraisy melakukan berbagai strategi untuk menghentikan dakwahnya. Strategi beragam mulai dari teror yang bersifat psikologis maupun fisik.

Teror psikologis dan ancaman tidak berhasil menghentikan dakwah Nabi. Bahkan mereka membujuk dengan memberi iming-iming duniawi. Namun berbagai tekanan dan cobaan itu tidak berhasil menghentikan semangat Nabi Muhammad dalam mendakwahkan tauhid.

Utbah bin Rabi’ah, seorang yang cerdas, pintar, kaya, dan disegani kaum Quraisy, pernah mendatangi Nabi guna menghentikan dakwah Islam. Utbah menawarkan harta, wanita, kekuasaan, dan tukang sihir.

Utbah memastikan akan mengumpulkan harta sesuai yang diminta Nabi Muhammad, dan akan memberikannya. Mereka juga siap memilih wanita-wanita terbaik, cantik rupawan untuk dipersembahkan. Kekuasaan juga disiapkan dengan menjadikan pemimpin di Quraisy, serta menyiapkan tukang sihir guna mengobati Nabi Muhammad yang dipandang sakit.

Alih-alih berhasil menghentikan dakwah Islam, Utbah justru putus asa dan meminta tokoh kaum kafir Quraisy untuk membiarkan Nabi Muhammad berdakwah. Semua tawaran itu tidak digubris, dan Nabi pun berbalik dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

Nabi membacakan surat Fushshilat: 1-37. Setelah dibacakan ayat itu hingga tuntas, Utbah langsung terdiam dan memegang mulut agar menghentikan bacaannya. Setelah kejadian itu, Utbah kembali kepada teman-temannya dalam keadaan lemas dan pucat sehingga dia dituduh terkena sihir Nabi Muhammad.

Ketidakberhasilan menghentikan dakwah tauhid, membuat mereka melakukan aksi boikot. Aksi boikot berlangsung 3 tahun, namun Allah menolong sehingga batal aksi boikot itu.

Terhentinya aksi boikot itu tidak lepas dari  peran lima orang, Hisyam bin Amr dari Bani Luhay, Muth’im bin Adi dari Bani Naufal, Zuhair bin Abi Umayyah, Al Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin Al-Aswad bin Muthalib. Mereka bersimpati dan kasihan membiarkan Bani Hasyim menderita hingga banyak sakit dan bahkan meninggal.

Batalnya boikot itu tidak lepas dari kedatangan Abu Thalib yang mengabarkan bahwa keponakannya (Muhammad) mengatakan bahwa kertas yang berisi butir-butir pelarangan itu dimakan rayap, kecuali kalimat Bismika Allohumma.

Mereka pun memasuki Ka’bah dan ingin membuktikannya. Mereka semua terperanjat karena apa yang disampaikan Abu Thalib benar-benar terjadi.

Peristiwa besar itu tidak membuat tokoh-tokoh kafir Quraisy masuk Islam. Nabi Muhammad saat diboikot ada di suatu lembah yang jauh dari Ka’bah dan tidak mungkin mengetahui termakannya rayap kertas perjanjian itu, kecuali dapat berita dari Allah.

Aksi boikot semakin mengokohkan kegigihan Nabi untuk berdakwah dalam menegakkan tauhid, meskipun banyak pemuka Quraisy tetap kokoh melakukan perlawanan.

Tauhid dan kemuliaan

Khadijah merupakan sosok yang membela dan mendampingi sang suami (Nabi Muhammad) dalam memperjuangkan tegaknya kalimat tauhid. Seluruh tenaga, pikiran, dan harta kekayaannya digunakan untuk menopang dakwah Nabi.

Khadijah memfokuskan multi talentanya untuk menolong Nabi dalam berdakwah. Atas jerih payahnya, Jibril pun mengabarkan Allah mengirim salam kepadanya. Jibril juga mengabarkan bahwa Allah menyiapkan rumah di surga yang di dalamnya tidak ada kebisingan atau kegaduhan.

Atas usaha maksimal untuk ikut bersinergi menegakkan bersama Rasulullah, Khadijah memperoleh jaminan kehidupan yang tenang dan aman di surga.

Berbeda dengan nasib Abu Thalib yang kehidupannya dimanfaatkan untuk menolong dan mendampingi Nabi. Beliau sangat mencintai Nabi hingga menghabiskan hidupnya untuk melindungi Nabi Muhammad dari tekanan, ancaman, dan gangguan orang kafir Quraisy. Beliau sangat mencintai dan mendidik penuh kasih. Bahkan seluruh energinya dipergunakan untuk menolong anak saudaranya ini.

Perjuangan Abu Thalib yang berkorban untuk membela Nabi Muhammad tidak membuatnya masuk ke dalam surga. Hal ini karena ketika menjelang ajal, Nabi mengajaknya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Beliau tidak bisa mengucapkan kalimat itu, karena di sampingnya ada kawan dekat, Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah.

Mereka berdua mengawal agar detik-detik kematian Abu Thalib tetap berpegang teguh dengan agama Abdul Muthalib. Padahal Nabi meyakinkan berkali-kali agar mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah.”

Namun keberadaan Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menjadi penghalang keislamannya

Nabi pun bersedih hingga terus berdoa kepada Allah agar pamannya diampuni. Namun Allah pun menurunkan ayat yang artinya:

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat-(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah: 113).

Begitu tingginya kalimat tauhid sehingga bisa menempatkan seseorang di tempat yang mulia dan hina.

Khadijah memperoleh jaminan surga karena hidupnya dipertaruhkan untuk tegaknya tauhid, sementara Abu Thalib tetap berpegang pada agama nenek moyangnya, dan tidak bisa mengucapkan kalimat tauhid, sehingga menempatkan dirinya masuk neraka.

Surabaya, 18 Nopember 2021

Dr. Slamet Muliono R.
Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya (2018-2022)
Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan, dapat memberikan hak jawabnya. Redaksi Suara Muslim akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment