Lagi, Soal Ucapan Selamat Natal

Lagi, Soal Ucapan Selamat Natal

Lagi, Soal Ucapan Selamat Natal

Suaramuslim.net – Setiap menjelang Natal tentu akan selalu muncul perdebatan soal hukum mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita sebangsa yang beragama kristiani. Bahkan beberapa kalangan di Indonesia (seperti video pendek M. Quraish Shihab) membolehkan mengucapkan selamat Natal dengan dalih, bahwa ucapan selamat Natal juga dapat ditemui dalam Al Quran surah Maryam: 33. Benarkah demikian? Pendapat seperti ini perlu dikritisi lebih lanjut.

Pertama, redaksi “wassalamu” yang dinisbahkan kepada Nabi Isa ini diucapkan beliau sendiri ketika ibunda Maryam binti Imran dipojokkan dan dituduh para pemuka agama Yahudi bahwa Isa yang baru saja dilahirkan adalah hasil perzinahan. Maryam kemudian menunjuk Isa yang merupakan mukjizat dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk menepis tuduhan murahan itu (ayat 28-33). Yang perlu dicatat juga bahwa sebelumnya redaksi seperti ini ditujukan pula kepada Nabi Yahya ‘alaihissalam dengan redaksi wasalamun (ayat 13).

Para ulama menyatakan bahwa jenis redaksi seperti ini (salaam) sering diungkapkan pada saat dan situasi seorang hamba Allah dalam kondisi sangat lemah, tidak kuasa atas makar dan sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan-Nya (lihat, Tafsir al-Muharrar al-Wajiz; Ibnu ‘Athiyyah dikutip oleh al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani vol. 9 juz 16 hal.107). Karena keduanya, baik Yahya maupun Isa sama-sama dikejar dan ditindas Bani Israil, Yahya berhasil mereka bunuh sementara Isa diselamatkan Allah dan diangkat ke langit. Belum lagi peristiwa kelahirannya mengundang curiga luar biasa. Sehingga wajar keduanya menggunakan redaksi “salaam”.

Dengan perbandingan dua situasi ini pula Imam Hasan al-Bisri meriwayatkan dialog antara Isa dengan Yahya yang suatu saat keduanya bertemu, sebagaimana layaknya ikhwah fillah. Yahya bilang kepada Isa: “Akhi doakan saya ya sebab engkau lebih mulia dari aku”, Isa balas menjawab: “Akhi justru Anda yang harus mendoakan saya, Andalah yang lebih mulia dari saya sebab Allah yang menjamin keselamatan untuk Anda (menunjuk redaksi wassalamun alayhi, ayat 13) sedangkan sayalah yang menyatakan keselamatan atas diri saya sendiri bukan Allah yang menjaminnya (menunjuk redaksi wassalamu alayya, ayat 33)”.

Kedua, secara literal dan sepintas redaksi wassalamu diartikan dengan ucapan selamat, bahwa ucapan selamat Natal sudah dicontohkan sendiri oleh Nabi Isa ‘alaihissalam . Dengan asumsi ketika mengucapkannya kita berkeyakinan bahwa beliau adalah seorang nabi dan hamba Allah, meskipun pihak nasrani yang menerima ucapan itu memaknainya lain dengan persepsi kita.

Dalam ilmu bahasa Arab, jenis itu diistilahkan dengan Badi’ at-Tawriyyah, atau bisa juga disebut al-Iihaam, yaitu penyebutan lafaz yang mengandung dua arti. (lihat al-Qazwini dalam al-Idhah fi ‘ilm al-Balaghah, hlm. 331). Sehingga ada ahli tafsir yang berdalil dengan hadits Abu Talhah bersama istrinya yang menyembunyikan kabar kematian anaknya dengan pengucapan “qad hada’at nafsuh wa arju an yakuna qad istaraha” (tubuh si anak telah tenang tertidur, aku berharap ia bisa istirahat). Riwayat itu bisa kita baca dalam Shahih al-Bukhari, vol.1/438, juga di kitab Riyadh al-Shalihin karya Imam an-Nawawi, hal.19-20. Saya rutin mengajarkan kitab itu kepada jemaah pengajian. Beberapa pekan lalu saya ajarkan hadits ini kepada jemaah rutin malam Kamis.

Jika kita telusuri beberapa kitab tafsir otoritatif ternyata bukan seperti itu yang dimaksudkan rangkaian ayat ini. Justru dengan pengakuan tersebut Isa ‘alaihissalam telah menetapkan bahwa dirinya hanya sebagai hamba yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Dia juga sebagaimana makhluk Allah lainnya dilahirkan (hidup), mengalami kematian dan dibangkitkan kembali pada hari pembalasan. Hanya saja beliau akan memperoleh keselamatan sebagaimana para nabi dan rasul lainnya pada hari pembalasan yang keseluruhan manusia sangat sulit untuk memperoleh keselamatan hisab pada hari itu. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal.117-118).

Demikian pula, berdalil dengan hadits Abu Talhah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik untuk memperbolehkan ucapan selamat Natal oleh muslim kepada orang Kristen; dengan persepsi yang berbeda dengan persepsi Kristen, maka perlu ditinjau kembali. Karena apa yang terjadi pada Abu Talhah tidaklah berkaitan dengan permasalahan akidah. Perkataan tersebut tidak merusak agama dan akidah. Tindakan istri Abu Talhah bermaksud menenangkan hati suaminya yang baru datang dari luar rumah. Sikap itu diambil untuk menjaga keharmonisan, dan agar suami tidak terlalu bersedih karena kematian anaknya.

Adapun ucapan selamat Natal dari seorang muslim kepada Kristen merupakan permasalahan yang berkaitan dengan agama dan akidah. Ucapan itu bisa merusak akidah, meskipun tidak otomatis menyebabkan seorang muslim keluar dari Islam. Sementara kita diperintahkan untuk menjaga agama sebagai urutan tertinggi dalam maqashid syari’ah (lihat al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat, vol.2, hal.8-9). Tidak diragukan lagi, menjaga agama merupakan suatu kewajiban, dan merusak agama adalah suatu keharaman.

Seperti dimaklumi, pengucapan selamat Natal adalah penghormatan keagamaan dan bisa merusak akidah. Sedangkan ucapan ‘tawriyyah’ istri Abu Talhah kepada suaminya adalah persoalan muamalah duniawi. Sehingga penganalogian ucapan selamat Natal dengan ucapan istri Abu Talhah adalah merupakan analogi terhadap dua konteks yang berbeda, atau al-Qiyas ma’a al-Fariq yang itu tidak sah atau batil menurut para ulama. Oleh karena itu, argumentasi ahli tafsir tersebut menjadi gugur. (lihat Prof. Ali Mustofa Yakub, Toleransi Antar Umat Beragama, hlm.38).

Ketiga, sesuai konteks rangkaian ayat di atas dan korelasinya dengan rangkaian ayat selanjutnya (ayat 34-37) jelas sekali menolak persepsi kaum Nasrani yang mengangkat Isa al-Masih sebagai anak Tuhan yang patut diselamati.

Terjemahannya sebagai berikut:

“34. Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. 35. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia 36. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus. 37. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar”

Rangkaian ayat ini justru menepis kebolehan mengucapkan selamat Natal, seperti diyakini orang Nasrani, karena rangkaian ayat yang sebelum ini menjelaskan secara gamblang peristiwa kelahiran Isa dari rahim Maryam ibunya yang dirasa sangat tidak mungkin ia kemudian dinobatkan menjadi anak Tuhan. Isa sesungguhnya adalah anak manusia biasa yang dilahirkan melalui “proses yang diluar kebiasaan”. Isyarat itu terungkap dari ayat 35 surah Maryam. (lihat Fi Zhilal al-Qur’an, juz 4 hal. 2308).

Keempat, sesuai analisa bahasa dan sastra Arab, fungsi definitif dari ‘al’ pada kata assalamu adalah untuk semua jenis keselamatan (al lil jinsi). Maka jika digabungkan dengan konteks rangkaian ayat ini untuk pengingkaran dan penolakan akidah Nasrani, maka ia lebih merupakan sindiran (ta’ridl) untuk melaknat kaum Yahudi atas tuduhan zina kepada Maryam, dan juga kepada kaum Nasrani yang menjadikannya juru selamat. Seakan ayat ini memberi pesan bahwa Isa menyatakan semua keselamatan hanya untuk dirinya dan azab lah yang akan ditimpakan kepada para penentangnya.

Fungsi kebahasaan seperti ini sudah berlaku umum dan menjadi ‘urf pemakaian Al Quran, surah Thaha ayat 48 misalnya menyatakan: “wassalamu ala man ittaba’alhuda”. Selain makna aslinya ia juga mengandung pesan yang tidak diungkapkan bahwa azab lah yang akan didapat bagi orang yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk itu. (lihat al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, hal.131).

Jadi, saya tidak bisa mengerti hingga detik ini, mengapa orang Kristen perlu kita beri ucapan selamat, sementara Al Quran sendiri menyindir dan melaknat mereka karena persoalan Natal al-Masih.

Sebagai catatan akhir, para ulama menganggap hari raya non Muslim, bukan termasuk hari raya yang baik dan mendatangkan kebaikan bagi umat Islam. Dalam konteks ini al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘ani al-Ibtida’ sebagai berikut:

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو اكبر اعياد النصارى (الحافظ جلال الدين السيوطي، الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع ص 141).

“Termasuk di antara bid’ah dan kemunkaran adalah menyerupai orang-orang kafir dan menyetujui mereka dalam selebrasi hari raya mereka dan acara-acara mereka yang dilaknat Allah. Seperti yang latah dikerjakan oleh orang-orang bodoh umat Islam dalam ikut serta dan menyetujui apa yang mereka rayakan”. (hlm.141).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka selayaknya ucapan selamat Natal dihukumi haram dan harus dihindari oleh umat Islam. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali berkata:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه … وإن بلي الرجل بذلك فتعاطاه دفعا لشر يتوقعه منهم فمشى إليهم ولم يقل إلا خيرا ودعا لهم بالتوفيق والتسديد فلا بأس بذلك وبالله التوفيق. (ابن قيم الجوزية، أحكام أهل الذمة 1/442).

“Adapun ucapan selamat dengan simbol-simbol yang khusus dengan kekufuran maka adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama, seperti mengucapkan selamat kepada kafir dzimmi dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengatakan, hari raya berkah buat Anda, atau Anda selamat dengan hari raya ini dan semisalnya. Ini jika yang mengucapkan selamat dari kekufuran, maka ia termasuk perbuatan haram.

Ucapan tersebut sama dengan ucapan selamat kepada orang yang bersujud kepada salib. Bahkan demikian ini lebih agung dosanya menurut Allah dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khamr, membunuh seseorang, perbuatan zina yang haram dan semisalnya. Apabila seseorang memang diuji dengan demikian, lalu melakukannya agar terhindar dari keburukan yang dikhawatirkan dari mereka, lalu ia datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kata-kata baik dan mendoakan mereka agar memperoleh taufiq dan jalan benar, maka hal itu tidak lah apa-apa.” (lihat Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 1 hal. 442).

Jika ada orang berkata, tidak apa-apa mengucapkan selamat natal, dengan tujuan selamat atas lahirnya Nabi Isa ‘alaihissalam? Ucapan orang ini perlu dipertanyakan. Kepada siapa Anda memberikan fatwa tersebut? Kepada orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi-nabi lainnya yang diucapkan di rumahnya dan bukan pada hari natal 25 Desember? Secara jujur saja, kepada siapa dia mengucapkan selamat natal? Apakah kepada Isa ‘alaihissalam, secara khusus, tanpa diucapkan kepada non-Muslim? Atau selamat natal diucapkan kepada non-Muslim pada hari raya mereka?

Pernyataan di atas menyimpulkan bahwa ucapan selamat Natal, hukumnya haram dilakukan oleh seorang Muslim, karena termasuk mengagungkan simbol-simbol kekufuran menurut agamanya. Dan upaya untuk mengaitkan kebolehannya dengan konteks ayat 33 surah Maryam telah gugur karena tidak relevan sama sekali. Walhamdu li-Llaahi Rabb al-‘Alamin.**

Penulis: Fahmi Salim*

*Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, kandidat doktor bidang Tafsir Qur’an di Universitas Al-Azhar
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment