Lajur dan Jalur Perubahan Ulama

Lajur dan Jalur Perubahan Ulama

Lajur dan Jalur Perubahan Ulama | Suaramuslim.net
Fathi Yakan. (Foto: abunuha.wordpress.com)

Suaramuslim.net – Muhammad al-Ghazali, Said Hawwa, Fathi Yakan, Rachid Ghannouchi. Nama-nama ini alami menjadi sosok Ikhwan yang bersikeras menempuh jalan revolusi tinimbang masuk di sistem demokrasi. Memercayai perjuangan melawan sistem dibandingkan berjibaku gigih menyampaikan hujah di bangku parlemen. Pengalaman didera rezim bengis, bergugurannya para al-akh di medan penjara akibat siksaan bertubi-tubi, serta kokohnya teks para pengasas Ikhwan, semua ini menjadikan pilihan tepatlah dengan beroposisi abadi dari sistem thaghut bernama demokrasi dan turunan konsepsinya.

Tapi, pengalaman yang berkelindan dengan perihnya darah mengucur dan keringat berpayah menata jemaah, juga umur yang kian memaksa untuk lebih saksama membaca arus perubahan zaman, mengakibatkan perenungan harus diperbuat. Bukan kekerasan hati demi disebut istiqomah. Maka, seturut cibiran para al-akh yang mendakwa mereka berjatuhan hingga berlari dari jalan kebenaran Islam, nama-nama di atas menempuh risiko di lajur baru perjuangan.

Umur kadang memaksa untuk tetap berpikir dan bersikap “keras”. Banyak yang tempuh putusan demikian; tampaknya, umur memantapkan diri untuk stabil dan enggan berubah. Ada banyak alasan dan pembenaran yang bisa diterima nalar umat beragama. Di lain pihak, ada pula yang kian berumur kian melebar cara membaca perubahan. Perlu kejujuran dan keberanian mengubah arah dari pilihan lama. Karena akan ada cela dan hujan hinaan dari kawan sejawat di jemaah. Namun, inilah yang ditempuh sebagai risiko menyelamatkan jemaah dakwah: agar seruan menegakkan risalah Ilahi tak boleh padam.

Mereka yang berubah sering kali perubahannya dipandang mendadak dan seketika. Seolah-olah tanpa sebuah telaah, atau sikap bergegas. Padahal, perubahan itu hadir dari sebuah perenungan mendalam. Kumulasi membaca teks, pengalaman orang lain, dan menelisik tempaan diri berikut hasil yang diraih. Ringkasnya, perubahan itu sebenarnya lebih sebagai evolusi tapi di mata al-akh lain dinilai satu pembelokan perjalanan yang seketika tanpa rencana. Mode dan proses perubahan inilah yang membedakan dengan putusan para islamis yang berubah kiblat politik akibat tekanan atau impitan kasus yang mendera. Perubahan yang dihadirkan lebih karena keterpaksaan situasi. Bisa juga perubahan itu hanya taktik belaka, yang berdurasi pendek, sebagai kalkulasi politik belaka.

Mereka yang disebutkan namanya di atas: melakukan perubahan strategi perjuangan; hanya mengubah lajur di perjalanan dakwah. Mengejutkan tapi senyatanya hanya menempuh rute berbeda di objektif dakwah yang sama. Adapun kalangan yang membelok, atau—katakanlah dengan bahasa vulgar—membelot, di soal pertarungan politik, ia hanya representasikan kalkulasi taktik belaka. Kondisinya pun tidak seajek dan sekokoh jiwa nama-nama tadi. Sebab, yang ditarget memang penyelamatan nama dan kursi kekuasaan.

Dengan kata lain, bukan lajur yang diubah, melainkan sudah jalur yang diperhitungkan untuk diganti. Memang atas nama dakwah, namun konstruksi perenungan dan buah pemikirannya tidak sematang apa yang pernah ditempuh Muhammad al-Ghazali, Said Hawwa, Fathi Yakan, Rachid Ghannouchi—atau kalau di tanah air diperbuat Mohammad Natsir dalam “mengubah” strategi terhadap Pancasila.

Di sinilah kita, umat Islam, perlu matangkan sikap dalam menerima perubahan para ulama yang mendadak tampak “aneh”. Mengubah haluan menjadi pembenar argumentasi kekuasaan, bahkan tanpa tedeng eling-eling menerima sebagai juru bicara tindakan kekuasaan walau berasa di hati umat agar asing dengan perintah agama. Kematangan umat akan menempa bagaimana menghadirkan para ulama yang jujur dan tulus berjuang. Tidak sekadar simbolis dan retorika, melainkan yang lebih penting lagi kesungguhan dan istiqomah kendati berubah lajur yang ditempuh. Karena itu, umat perlu matang dan dewasa menerima perbedaan. Belajar melapangkan dada untuk tidak lekas-lekas menyimpulkan adanya perubahan. Siapa tahu perubahan itu hanya lajur, bukan jalur atau misi perjuangan dakwah.

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment